Suatu
hari saya dan seorang teman pergi ke toko pakaian. Kami membeli kaos,
kemeja, jaket, dan celana panjang sesuai dengan selera masing-masing dan
tentu saja bayarnya sendiri-sendiri .
Sekembali ke tempat parkir, setelah membayar belanjaan di kasir
tentunya, teman saya terlihat sedih dan saya langsung tahu penyebabnya.
Pasalnya dia sok kenal sok dekat dengan mbak-mbak kasir yang lumayan
cantik, meski sudah bercincin (yang kemungkinan sudah punya pasangan),
dan saya tahu itu sebab kasir yang melayani saya hanya berjarak satu
kasir dari kasir cantik tadi.
Kepada saya, teman saya mengaku, "Seandainya tadi aku tahu kalau bakal begini."
"Lho, memangnya kenapa?" tanya saya. Dalam pikiran, saya sudah curiga bahwa teman saya keburu sakit hati bahkan sebelum pedekate, sebab mbak-mbak cantik itu bercincin dan cincinnya adalah pertanda dia sudah ada yang punya.
Rupanya, saya salah tebak.
Teman saya, dengan tampang sedih khasnya, menunjukkan dua bungkus permen Sugus kepada saya, dan dia bilang permen itu pemberian mbak-mbak kasir bukan hanya karena uang kembalian di register kurang, melainkan juga--menurut mbak kasir yang cantik sebagaimana kesaksian teman saya--bau napas teman saya ini perlu direvisi.
Betapa sulit saya menahan tawa detik itu sehingga saya pun tertawa sepuas-puasnya,
tetapi teman saya tetap tidak bisa lari dari kekecewaannya. Namun, saya
yakin, suatu hari nanti dia akan (dan harus belajar) bahwa sebelum
pedekate, terlebih dulu harus merawat diri, dan tentu saja harus
memastikan apakah perempuan cantik yang dituju sudah punya pasangan atau
belum.
Setelah teman saya agak mendingan, saya bilang sekali lagi padanya, "Pastikan dulu dia single atau enggak."
Teman saya dengan pedenya berkata, bahwa sekalipun si mbak kasir yang cantik jelita itu sudah berpasangan, bukan tidak mungkin dia mampu merebut hatinya.
Kali ini saya tidak lagi tertawa, tapi diam-diam mengambil ponsel dan menjepret wajahnya yang lumayan berantakan.
"Seenggaknya, Bro," kata saya padanya, sembari menyodorkan ponsel saya, "kalau mau jadi selingkuhan, menggantenglah secara maksimal."
Pada saat itu, saya tahu saya harus segera melarikan diri.
Kepada saya, teman saya mengaku, "Seandainya tadi aku tahu kalau bakal begini."
"Lho, memangnya kenapa?" tanya saya. Dalam pikiran, saya sudah curiga bahwa teman saya keburu sakit hati bahkan sebelum pedekate, sebab mbak-mbak cantik itu bercincin dan cincinnya adalah pertanda dia sudah ada yang punya.
Rupanya, saya salah tebak.
Teman saya, dengan tampang sedih khasnya, menunjukkan dua bungkus permen Sugus kepada saya, dan dia bilang permen itu pemberian mbak-mbak kasir bukan hanya karena uang kembalian di register kurang, melainkan juga--menurut mbak kasir yang cantik sebagaimana kesaksian teman saya--bau napas teman saya ini perlu direvisi.
Betapa sulit saya menahan tawa detik itu sehingga saya pun tertawa sepuas-puasnya,
Setelah teman saya agak mendingan, saya bilang sekali lagi padanya, "Pastikan dulu dia single atau enggak."
Teman saya dengan pedenya berkata, bahwa sekalipun si mbak kasir yang cantik jelita itu sudah berpasangan, bukan tidak mungkin dia mampu merebut hatinya.
Kali ini saya tidak lagi tertawa, tapi diam-diam mengambil ponsel dan menjepret wajahnya yang lumayan berantakan.
"Seenggaknya, Bro," kata saya padanya, sembari menyodorkan ponsel saya, "kalau mau jadi selingkuhan, menggantenglah secara maksimal."
Pada saat itu, saya tahu saya harus segera melarikan diri.