(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 22 Oktober 2017)
Kenakalan Lili belum sampai di vas bunga Oma yang pecah. Ia tidak juga berhenti setelah pembantu kami terpincang-pincang dengan kaki berlumur darah; berkat pecahan beling vas yang sengaja Lili pasang di bawah tempat tidur Bi Minah.
Anak itu anak setan, itu yang Mama bilang. Mulanya kukira aku salah dengar, tapi Mama mengulang lagi dan lagi, "Memang anak setan, ya." Selalu begitu. Dan anehnya, Lili tidak pernah merasa terganggu dengan ucapan ini, atau ia justru terlihat bahagia dan semakin menjadi-jadi.
Aku tujuh belas tahun, Lili empat tahun di atasku. Semua teman-teman Lili, tentu saja sibuk mengejar apa yang mereka cita-citakan, tapi tidak kakakku. Ia sibuk bermain bunga di teras rumah kami sejak putus sekolah beberapa tahun silam. Atau setengah hari ia habiskan waktu di halaman belakang untuk memberi makan ikan-ikan.
Lili seakan hidup di dunianya sendiri dan kami tidak bisa mencegahnya, atau tidak bisa memberinya batas antara nyata dan khayal, antara kebenaran dan fantasi. Lili tidak akan bisa sembuh, itulah yang Papa katakan.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku kurus dan Lili dua kali lipat dariku. Jika aku nekat, misalnya, menghentikannya memasang pecahan beling di bawah tempat tidur Bi Minah, sedang ia tiarap dan tertawa cekikikan di depan pintu kamar itu, mungkin ia sudah menindihku sampai remuk.
Aku tidak yakin bisa mengalahkan Lili dalam pertempuran fisik, apalagi menjadi obat baginya yang tersesat. Ia sering bicara sendiri pada ikan dan bunga-bunga tentang musim dan kekasih yang tak pernah ada. Kekasih itu kukira sesosok hantu yang muncul di saat tertentu. Hantu entah siapa dan bagaimana rupanya. Sekali waktu, pernah Lili bicara pada angin.
"Kapan kita nikah sih?"
Dan seakan jawaban itu ia dengar dari sudut dunia lain, ia mengangguk dan mulai tertawa cekikikan seperti biasa. Lili suka sekali tertawa diam-diam dan membuat suatu rencana untuk melukai siapa pun di rumah. Mama dan Bi Minah yang paling sering, tapi karena Mama agak emosional, beliau mulai menjauh dan menganggap seakan di rumah tidak ada perempuan muda bernama Lili.
"Setan jahat harusnya diusir. Tapi papamu keberatan. Dan Mama tidak bisa berbuat apa-apa," kata Mama selalu.
Sungguh kondisi keluarga yang tidak kuharapkan. Di sisi lain, Papa sama sekali tak merasa hidup di rumah ini. Ia selalu melayang ke tempat-tempat jauh, mungkin ke suatu jurang tempatnya bersenggama dengan pacar gelapnya, sehingga pembicaraan di rumah dengan Papa selalu tidak nyambung. Beliau cuma mengatakan, "Lili tetap di sini dan dia tidak boleh dibuang. Apa kata orang, Ma?" Tenang saja kalimat itu, tetapi tidak juga ada sikap nyata agar Lili bisa disembuhkan.
Di mataku, dulu, Lili kakak yang baik. Ia tidak banyak bicara seperti kakak-kakak lain, juga tidak pernah mengomeliku ini-itu. Ia malah mengajari beberapa hal yang tak dilakukan semua kakak di seluruh dunia, seperti bicara dengan hantu dan meramal nasib lewat batang lidi.
Hal semacam itu, jujur saja, tidak terlalu membuatku antusias, dan menjadi sesuatu yang paling konyol yang pernah kulakukan, tetapi hanya itu kenangan terbaikku dengan Lili. Aku melakukan itu lebih untuk lari dari rasa sepi, karena Papa dan Mama selalu sibuk kerja dan tidak ada saudara lain selain Lili yang manis.
Kenangan itu begitu awet terjaga sampai detik ini. Hari-hari di saat kami sembunyi berdua di kebun belakang dan mulai melakukan ritual khusus memanggil arwah dengan membedah beberapa kodok atau kadal sebagai sesembahan. Lili memberikan padaku seuntai kalung yang konon ia dapat dari kekasihnya yang ada di dunia lain.
"Pakai ini. Oleh-oleh dari pacarku," bisiknya.
Aku pun memakai kalung aneh itu. Kalung yang terbuat dari batu-batuan plastik yang dijalin dengan benang. Aku tidak yakin itu datang dari dunia roh tempat pacar tak dikenal Lili bersemayam, tetapi Lili mengatakannya seolah itu fakta dan bukan main- main. Ia tidak pernah tersenyum jika bicara soal sang pacar ini, yang tidak kuketahui di mana saja ia sering berkeliaran dan bagaimana rupanya. S
Sekali-kali Lili mengingatkan, kekasihnya yang tak kasat mata bermain di kamarku; melihat koleksi komikku yang selemari. "Jadi, kalau ada yang pindah, jangan takut," katanya. Memang, pernah juga kutemukan beberapa komik tidak pada posisi terakhir aku meninggalkannya.
Lili tidak suka bicara soal kekasih ini di depan Mama, karena beliau sejak awal tak rispek dan sudah menganggapnya 'anak setan'. Lili tidak protes dan bersikap seakan dia adalah malaikat. Begitu seseorang melihat kedua wanita ini duduk berjejeran, kekusutan di wajah Mama seakan menegaskan citra malaikat di jiwa Lili, dan Mamalah yang setan.
Aku benar-benar dibuat pusing. Ketika Bi Minah kubawa ke rumah sakit, di rumah cuma ada Mama dan Lili. Aku tidak pernah benar-benar meninggalkan kedua orang ini di rumah berdua saja, kecuali ada Bi Minah. Biasanya, Mama dan pembantu itu selalu dekat-dekat dalam melakukan aktivitas masing-masing, seakan hari itu semua berjalan normal, padahal keduanya takut oleh kenakalan Lili yang bisa datang sewaktu-waktu.
Pulang dari rumah sakit, rumah kosong. Mama menelepon dan berkata padaku ia ada di rumah tetangga. Katanya, Lili ngamuk dan nyaris menggoroknya. Aku panik dan menyuruh Bi Minah sembunyi di kamar. Kucari-cari Lili. Ia tidak pernah melukaiku. Ia kutemukan di tepi kolam dengan pisau berlumuran darah.
"Sudah saatnya," katanya berkali-kali.
Aku menangis. Teriakanku mungkin sampai ke ujung dunia, karena setelahnya ada begitu banyak manusia datang ke rumah dan melihat kondisi Lili. Kami membawanya ke rumah sakit, tetapi ia tidak bisa tertolong. Di akhir hayatnya, ia berbisik, bahwa komik-komikku aman sejak hari ini. Aku tidak perlu membedah kodok atau kadal untuk mengundangnya bicara, karena ia dan kekasihnya pergi ke surga. [ ]
Gempol, 2016 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).