(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 20 Agustus 2017)
Mudakir berkenalan dengan seorang gadis yang kemudian dia cintai diam-diam. Ia, si gadis itu, tidak bernama. Mudakir tidak peduli meski gadis itu bersumpah tidak akan pernah menyebutkan namanya kepada siapa pun di kota yang baru dia singgahi ini.
"Memangnya kamu datang dari mana?" tanya Mudakir.
"Sebuah tempat yang tidak ingin kamu bayangkan."
Maka, akhirnya Mudakir menyebut gadis itu Lely. Tentu saja nama itu tidak sama persis dengan nama asli sang gadis, dan gadis itu tahu Mudakir tidak akan pernah tahu nama aslinya. Tebakan itu hanya demi memudahkan lelaki itu saat memanggilnya.
Ketika kami bertemu, yang kuperhatikan dari gadis itu hanya rambutnya. Beberapa helai rambut panjangnya tampak putih seperti uban. Rambut panjang itu seharusnya bisa menjadi indah jika dirawat dengan benar. Lalu, aku curiga bahwa gadis ini mungkin tak cocok untuk Mudakir, karena mungkin dia bukan perempuan baik-baik. Sejauh yang aku tahu, Mudakir selalu mengajak berkenalan gadis mana pun yang kiranya berpeluang dia jadikan istri.
Aku juga tidak terlalu yakin dengan dugaanku, tetapi memang benar bahwa si Lely tahu banyak hal; ia sering menjelaskan segala sesuatu dengan cukup mendetail di dalam obrolan kami, dan setiap kali itu terjadi, kami semua sadar betapa obrolan yang tengah berlangsung tidak terlalu penting untuk didalami.
Lely pun menetap di hati Mudakir secara pasti, dan hari demi hari sahabatku seolah tak mampu lepas darinya. Ia bahkan tak peduli gadis itu enggan menyebut nama aslinya, yang artinya tidak lain adalah: dia tidak ingin semua orang tahu masa lalunya.
Karena kepeduliankulah yang akhirnya membawaku ke suatu pencarian. Aku telah mapan dan keluargaku bahagia. Istriku bahkan lebih cantik dari bintang film dewasa di masa remajaku, yang menjadi favoritku dan Mudakir. Istriku lebih cantik dari bidadari jenis apa pun. Jadi, aku pergi hari itu, tanpa sepengetahuan apa pun, hanya demi mampu membuat Mudakir menjalani tahap kehidupan baru yang juga bahagia seperti diriku.
Aku pikir mungkin ini terlihat normal saja. Aku tidak tahu apakah orang-orang luar sana akan melihat tindakan ini terkesan aneh; buat apa juga kupedulikan nasib Mudakir, sedang dia sendiri tidak sudi menerima saran-saran dariku atas gadis itu? Mudakir juga tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai teman, karena dulu kami dekat bukan karena saling terikat oleh suatu hobi atau yang semacam itu, tapi karena Mudakir punya kewajiban moral untuk membalas kebaikanku yang telah menolongnya dari keroyokan tukang bully.
Aku tahu Mudakir tidak benar-benar tulus, karena dia sering meninggalkanku saat ada rencana-rencana luar biasa, seperti mendaki gunung, mendaftar ke sebuah kumpulan pencinta gitar, dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian itu memang bukan sesuatu yang besar dan membahayakan nyawaku, tetapi arti seorang sahabat tidak Mudakir tunjukkan dari semua yang telah terjadi.
Maka, apa gunanya membantu Mudakir?
Aku tidak tahu. Aku hanya merasa iba saja pada hidupnya yang tak pernah mampu sebahagia diriku. Mudakir selalu mendapat pekerjaan-pekerjaan seram dengan bayaran rendah sejak lulus SMA beberapa tahun lalu, dan aku tak pernah merasakan hal-hal itu sepanjang hidupku. Aku hanya berpikir ada suatu kewajiban untuk membantunya dari kesulitan asmara. Setidaknya, jika aku tidak bisa memberinya bantuan untuk lepas dari jerat kemiskinan, aku bisa membuatnya bahagia karena percintaannya.
Jadi, itulah alasanku pergi menyelidiki identitas asli Lely. Aku pergi ke suatu kota yang konon jadi asal-usul Lely. Usaha ini berlangsung sampai setengah bulan. Akhirnya aku tahu siapa Lely sebenarnya. Tidak sulit juga menemukannya, karena sebenaarnya ia cukup terkenal.
"Kamu tidak akan percaya apa yang kubawa," kataku pada Mudakir suatu malam.
Ia baru saja pulang dari rumah kontrakan Lely. Ya, hari itu Mudakir telah sampai di tahap menjadikan Lely pacar sahnya. Aku belum terlambat untuk menunjukkan bukti- bukti masa lalu Lely yang menyeramkan.
Mudakir menerima bukti-bukti itu dari tanganku tanpa bereaksi.
"Sudah kuduga sejak awal. Kurasa kamu harus berpikir ulang untuk melanjutkan ini lebih jauh," kataku.
Mudakir menyerahkan bukti-bukti itu kepadaku dan pergi tanpa berkata apa-apa.
Sorenya orang yang kuanggap sahabatku itu, yang tak pernah benar-benar berpikir aku memang sahabatnya, datang ke rumah dan berkata bahwa semua bukti tadi tak akan berpengaruh pada rencananya.
"Jangan gila, Kir."
"Aku tidak gila, tapi jika kamu bilang aku gila, itu hakmu. Aku belum pernah tahu rasanya dicintai wanita, dan Lely melakukannya untukku. Bodoh saja jika aku tiba-tiba mundur!"
Mudakir pamit setelah terlebih dulu memintaku tak lagi ikut campur. Dia tentunya juga bilang bahwa kami tak pernah benar-benar menjadi sahabat, dan seluruh kedekatan kami hanyalah terjadi sebagai teman biasa. Tidak lebih dari itu.
Mudakir meminta foto-foto yang kubawa dari tempat asal-muasal Lely, yang tidak lain bernama asli Yanti, dan kuberikan foto-foto itu. Kusampaikan permintaan maafku karena telah lancang mencoba mencampuri rencana-rencana hebatnya.
Aku tidak bilang ingin melihatnya bahagia. Aku hanya sulit membuang pikiran jika Mudakir adalah orang yang kutahu pernah menolong adikku, yang tidak pernah tinggal bersamaku karena dia ikut Ayah setelah orang tua kami bercerai. Itu sudah lama terjadi, dua puluh tahun lalu, saat kami masih SMP. Adikku hampir diperkosa oleh orang gila, jika tidak ada Mudakir yang kebetulan lewat dan dengan berani melempari orang gila tersebut dengan batu-batu. Mudakir tak pernah menyadari itu.
Aku hanya dapat melihat Mudakir pergi membawa foto-foto Yanti, yang memiliki masa lalu buruk sebagai penari striptis. Aku tak pernah tahu perasaan Yanti yang sejati, tetapi semoga saja dia tidak berniat mempermainkan Mudakir.
Gempol, 16 Agustus 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).