(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 13 Agustus 2017)
Mariana memutuskan mati. Ia sudah jengkel hidup sebagai penyanyi malam, yang tidak jarang menghadapi gerayangan lelaki nakal atau bos yang bilang performance-nya kurang inilah, kurang itulah—padahal ia tampil sebaik dan semaksimal mungkin, atau teguran tetangga kostnya yang dikenal suka bikin gosip, "Dapat om baru, nih?"
Kalau tidak salah, sudah empat tahun Mariana memendam rindu pada Ibu dan dua adiknya di kampung. Ia menjalani berbagai jenis pekerjaan, salah satunya penyanyi malam. Ia hibur pengunjung kafe dengan suara indah, sekaligus—kalau ada yang mau dan sanggup bayar—bisa diajak ke mana pun dari pukul 23.00 hingga sebelum subuh.
Mariana sebenarnya muak. Tapi, demi tak menanggung malu di kampung—karena dulu ia merantau ke Jakarta, ingin jadi artis, tapi ditipu oleh agency nakal sehingga uang lima juta dan keperawanannya hilang—mending bertahan di sini, di kafe ini, yang meski bukan berada di Jakarta, paling tidak: jauh dari rumahnya di kampung, dan ia mampu beralasan, "Jadi asisten sutradara."
"Wah, keren itu, Mbak," begitulah biasanya ia dengar balasan adiknya via telepon, yang disusul cerita-cerita kekaguman para tetangga, bahwa kini ia sudah bisa mengentas ibu dan para adiknya dari jurang kemiskinan, lewat pekerjaan sebagai asisten sutradara.
Sebab itu, ia jengkel dan muak. Kebohongan dari hari ke hari seperti bangkai yang disimpan di bawah tempat tidur. Mula-mula Anda tidak peduli, tetapi saat semut-semut, belatung, dan tikus mulai menginvasi, barulah kamar terasa bagai kuburan. Tentu saja, Mariana tidak tahu soal penyutradaraan. Sebelum nasib membawanya ke sini, ia stop dari dunia entertain dan melupakan mimpinya jadi artis. Mimpi tahi kucing, katanya selalu.
Hingga akhirnya, malam ini, kepada bos, Mariana beralasan sedang haid. So, tidak bisa ambil tawaran dari pelanggan setia, Om Joni. Seperti biasa, si perut buncit ngomel, serempet sana-sini, caci-maki sepuasnya, di depan Om Joni yang mendeham-deham iba pada penyanyi malam itu.
Kemudian, kegaduhan di ruang rias diakhiri dengan tepukan di pundak si penyanyi, sambil memberi nasihat agar jaga kesehatan tubuh; mungkin Om Jon bisa mengajaknya besok malam atau besok malamnya lagi atau kapan pun sesudah Mariana sembuh.
"Oke?"
"Saya pamit, Pak."
Mariana sadar ia tidak kembali ke tempat itu—tidak lagi, sampai kapan pun. Tapi, ia belum tahu cara mengakhiri hidupnya. Di kost, ia tidak langsung lepas baju, mandi, dan tidur. Alih-alih membuang lelah, ia duduk di dapur dan memandangi pisau tajam. Tepinya berkilauan. Ia yakin ingin mati dan memutuskan itu sejak dua hari lalu, tetapi setelah melihat pisau, malah merinding.
Mariana, sebagaimana perantau sial lain: sering kesepian dan merasa dekat dengan maut. Ia membayangkan, bila tidur di kamarnya, bisa saja mati malam itu, tetapi orang tidak tahu ia mati. Pintu kamar terkunci dan orang mengira mungkin ia belum pulang beberapa hari ke depan, diajak om-om menginap entah di hotel mana, yang di luar kota atau bahkan luar pulau. Bukan urusan mereka; tidak ada yang benar-benar peduli, meski sesekali menggunjing.
Kalau sudah begitu—maksudnya, kalau tidak ketahuan ada mayat di situ—ia akan jauh lebih malang dari ketakutan. Ia selalu takut bila sampai para tetangga di kampung tahu kenyataan bahwa ia cuma kerja jadi penyanyi sekaligus penghibur om-om. Ia jauh lebih malang, karena jenazahnya membusuk tanpa seorang pun di dekat kamarnya sadar. Hari demi hari, orang sekitar mengira, "Oh, dibawa om-om ke sana kali." Dan keluarga di rumah paling menganggap ada shooting di kawasan lemah sinyal.
Mariana berdiri dan mengambil gelas. Air dingin dari kulkas ia tuang dan minum. Sekali lagi ia memandangi pisau itu.
Kalau aku mati, pikirnya, orang tidak menyesal. Mereka bersorak girang karena pelacur yang nyaru jadi penyanyi ini mampus. Tetapi, bos bingung dan marah. Lalu, gimana Ibu? Aku tahu bosku brengsek. Sekali waktu bilang adikku yang SMA boleh juga. Tahu dari mana foto adikku? Oh, utak-atik hape-ku saat melayani tamu. Dasar bajul! Kalau aku mati, pastilah adikku diincar!
Mariana tidak berani membayangkan adiknya dijemput oleh bosnya untuk menjadi penggantinya, tetapi ngeri bila harus mengiris nadi atau menusuk perutnya sampai ia mati. Darahnya membasahi lantai. Mengalir atau mengucur persis air dari selang karet. Lalu ia kesakitan dan menyesal kenapa tidak pakai cara lebih halus? Ia pun ke kamar mandi dan berendam dalam bak, menikmati saat terakhir dengan tubuh lemas kehabisan darah.
Mariana pusing membayangkan mati dengan cara macam itu. Okelah kalau ampuh dan ia memang mati, kalau tidak?
Kalau saja ada obat tidur, ia bisa merealisasi keputusannya mati; ia tuang belasan, atau puluhan pil tidur, lalu ditenggak dengan segelas air. Sesudah itu, ia baring di kasur sambil memutar lagu jaman dulu, yang sering diputar Ibu di kampung semasa ia sekolah. Setiba di lagu "Kisah Seorang Pramuria", setetes demi setetes air mata jatuh ke bantal sehingga pipi kanannya basah. Tapi ia mengantuk dan kepalanya tidak bisa diangkat lagi akibat efek obat tidur. Beban berat terpusat di otak dan kelopak mata. Beberapa detik membayangkan mayatnya dikerubung belatung, ia tidur dan tidak lagi bangun.
Itu cara mati terindah yang ia bayangkan. Sayangnya, Mariana tidak punya obat tidur. Ia biasa langsung mandi dan ambruk ke kasur; tahu-tahu bangun sudah pagi. Tapi kalau toh ada obat tidur dan ia mati dengan cara "indah" tadi, akhirnya malu juga. Apa kata orang kampung? Kamu gila? Tidak punya agama? Makanya, hidup itu yang bener. Cari uang kok jual diri. Dan lain-lain, dan lain-lain. Alangkah panjang deret caci-maki untuknya—belum yang diterima ibu dan kedua adiknya. Mariana sulit membayangkan nasib mereka sepeninggalnya nanti.
Mariana jengkel dan kesal pada pekerjaannya, pada nasibnya, pada semua hidung belang di muka bumi, sehingga merasa ia pantas mati. Empat tahun membohongi ibu dan adik-adiknya, menghidupi mereka dengan uang haram, membeli satu kehormatan dengan cara tidak terhormat. Tetapi, setelah dipikir-pikir, ia belum berani mati.
***
Mariana mengemasi barang-barang. Si tetangga lewat dan bertanya, berapa hari nih? Tidak ia jawab. Enyah kau, Setan, dari hidupku. Ia terus membatin. Tapi si tetangga tak pergi dan malah bersandar di pintu, mengamati bahwa ternyata barang yang dikemasi bukan koper berisi beberapa baju, tetapi semua barang di kamar Mariana.
Tentu saja, Mariana tidak mau hidup lebih lama di kota ini. Ia memutuskan pulang dan memulai hidup baru di kampung. Ia tidak jadi mati. Setelah ditimbang, mungkin di rumah bisa buka usaha. Tidak perlu yang besar, yang penting bisa menghidupi keluarga. Toh, tabungannya cukup jadi modal.
Si tetangga mau tahu; ia terus bertanya ke mana Mariana pergi. Yang ditanya tidak menjawab. Karena sebal, si tetangga meludah dan kena rambut Mariana. Penyanyi malam itu pun berdiri dan dengan geram memelototi tetangganya. Si tetangga mencaci. Mariana mencekik orang itu. Keduanya bergulat tanpa ada yang tahu, karena hari masih pagi dan kawasan situ dihuni para pemalas pada hari Minggu selepas subuh.
Begitulah, mereka bergulat dan saling jambak. Mariana meludah dan kena bibir si tetangga. Si tetangga meludah tapi meleset. Ia mencak-mencak, tapi Mariana tidak kalah gesit. Ia meludah lagi dan kali ini persis masuk ke mulut orang itu. Celaka! Orang itu tersinggung dan menghimpun kekuatan sebesar mungkin.
Mariana terdesak. Satu demi satu, ia mundur ke belakang.
***
"Ya ampun! Kok gini?"
"Tauk!"
"Kejadiannya gimana?"
"Tauk!"
"Ah, kamu gitu melulu jawabnya."
"Memang aku nggak tahu kok. Tanya Pak Polisi!"
Para petugas sibuk mengatur orang agar tidak menyerobot TKP. Ambulans datang lima menit lagi, sehingga di sana, di depan pintu garasi yang berisi mobil pinjaman dari seorang bos berperut buncit, pemilik suatu kafe plus-plus, tubuh itu belum sekali pun berpindah tempat. Tubuh molek dan seksi, yang dikepungi genangan darah, yang dulu pernah berjaya. [ ]
Gempol, 2015 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Babi- Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017) dan Museum Anomali (Unsa Press, 2016).