(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 28 Juli 2017)
Ben tidak ingin pulang buru-buru, karena gadis kenalannya mengajaknya mampir. Kami menumpang mobilnya dan mulai mengutuk dalam hati, "Betapa anjing kurap ini belum berubah!"
Semua selalu dalam pengawasanku. Bos meminta kami, aku dan Janus, mengawasi anaknya, Ben, yang sering berbuat ulah. Anak itu bukan semacam bayi yang tersesat di dunia baru, tetapi manusia dari golongan paling keparat yang bisa kau temui.
Gadis yang dikenal Ben di pesta malam itu adalah Sarmila, yang datang dari suatu desa jauh, yang pergi merantau ke kota dan terjebak di gemerlap dunia malam. Konon, Sarmila sukses dari memeras keringatnya tanpa ampun sebagai penyanyi, dan hasilnya adalah rumah mewah yang bakal kami sambangi.
"Kita tidak harus mengikutinya," bisik Janus dengan putus asa, sewaktu kami pergi ke tempat parkir. Ben berjalan di depan kami sambil membantu Sarmila karena gadis itu setengah mabuk.
Pada saat itu waktu sudah tengah malam, dan kami tidak mungkin pulang dengan menumpang taksi atau apa pun selain mobil Ben tanpa yakin bakalan aman. Rasa aman hanya ada di mobil yang kita tahu para penumpangnya hanyalah orang-orang yang kita kenali. Belakangan aksi perampokan berujung kematian korban marak terjadi di sini, dan itu membuatku dan Janus berpikir ulang untuk menolak ikut Ben.
Pada akhirnya, memang kami harus pergi. Ben menyandarkan tubuh Sarmila di sisi kirinya, dan dia dengan leluasa memandangi tubuh binal penyanyi bersuara buruk itu dari bangku kemudi; penuh nafsu, sampai-sampai seakan anak bos tersebut tidak sadar bahwa di belakangnya ada kami berdua.
Aku dan Janus lebih banyak diam, sedang Ben mengoceh soal segala hal yang bisa membuat Sarmila terkesan. Gadis itu tertawa-tawa pelan dan secara pasti kujanjikan di dalam hati ini, kepada diriku sendiri, bahwa inilah terakhir kalinya aku diperbudak. Tak ada lagi mengawasi lelaki bejat ini. Tak ada lagi pekerjaan di bawah perintah bos yang memintaku melakukan tugas-tugas yang bukanlah job desk-ku.
Sebenarnya sudah sejak lama aku muak. Aku hanya kasihan pada Janus yang agak tolol dan mau diperintah ini-itu oleh bos, seakan Janus tak beres menggarap tugas-tugas formal. Seakan-akan Janus sejenis idiot yang lahir ke bumi hanya untuk menjaga si anak yang bejat agar tidak lebih bejat dan tidak sampai terjerumus lebih jauh dari yang telah semua orang tahu.
Janus sendiri selalu kalah terhadap Ben. Aku masih sering membantah ajakan Ben ke tempat-tempat tertentu yang kiranya dapat merusak beberapa hal dalam hidupku. Tak ada moralis di sini. Aku hanya berbicara tentang seseorang yang mencoba membangun benteng untuk dirinya sendiri sebab dia akan menikah dengan wanita baik-baik. Aku tak ingin pacar yang sudah kulamar akan memutuskan hubungan kami hanya karena patuh pada ajakan Ben pergi ke pesta narkoba, misalnya.
Tentu saja, Ben bukan orang bodoh. Ia tahu saat-saat peluang itu muncul sehingga baik aku maupun Janus tak akan bisa melacak ke mana perginya dia pada suatu malam. Itu sering terjadi dan bos kami tidak tahu.
Ada suatu kesepakatan antara diriku dan Ben, tanpa Janus tahu, bahwa usaha-usaha kaburnya dari pengawasan itu kiranya tak perlu digembar-gemborkan. Jika terjadi suatu masalah, bosku tidak sampai memecat kami, karena Ben bersumpah mengakui betapa dia memang sengaja kabur dari kami.
"Itu pun kalau kelakuanku menimbulkan masalah, yang kupikir tidak akan terjadi," tutupnya ketika itu.
"Bisa yakin kau?"
"Karena aku akan tetap begini dan segala hal akan beres di tanganku."
Kekacauan yang dibuat memang selalu dibereskan oleh Ben, meski tentu saja apa yang menurutnya beres belum tentu beres bagi orang-orang yang dirugikan. Aku tidak bisa berkata lain selain sepakat akan permintaannya. Aku sendiri malas selalu mengikuti ke mana pun anak bosku itu pergi. Aku juga punya hidup dan tak ingin hidupku mandek di satu tempat: berada di seputar Ben dan menjadi penonton setia seluruh kebejatannya.
Malam ini, kurasa puncak kekesalanku sudah di ujung. Aku sudah tidak tahan lagi dan pada akhirnya berharap semua ini segera berakhir. Aku akan berhenti bekerja pada bos aneh yang tidak becus mendidik anaknya sendiri itu, lalu membiarkan hidupku balik normal seperti bertahun-tahun sebelumnya. Dengan kata lain, aku hanya butuh sebuah tumpangan untuk sampai ke rumahku malam ini dengan selamat. Pesta tak berguna tadi adalah hal buruk terakhir yang dapat kujalani selama menjadi pengawas Ben. Aku tidak tahu apa yang Janus putuskan, tetapi jika dia memang masih ingin melakukan semua ini, aku tidak akan melarang.
"Suatu hari nanti kau akan bosan."
Hanya itu yang dapat kubisikkan ke kuping Janus.
Kira-kira sejam kemudian, mobil berbelok ke arah yang belum pernah kami lewati. Kami telah melalui jalan tol dan masuk ke sebuah perkampungan di tepi kota sebelah. Di sekitar sini terdapat satu-dua mini market kecil yang kurang laku dan terancam akan gulung tikar. Rumah-rumah bobrok bertaburan di sana-sini, tak beraturan, seakan Tuhan menciptakan tempat ini sebagai donat busuk dengan taburan meises murahan. Ben lalu mengumpat karena bensin hampir habis. Pada saat itu Sarmila sudah terlelap.
"Ada uang?" tanya Ben sembari menoleh padaku.
Kukeluarkan dompet dan memberinya seratus ribu, dan tanpa berkata apa-apa, Ben mengisi tangki mobil. Saat itu yang kuperhatikan bukan tingkah laku Ben yang sungguh mengesalkan. Yang kupikirkan justru Sarmila; pekerjaannya di kota, di suatu klub yang jarang Ben sambangi, yang tadi kami tahu dijadikan tempat menggelar pesta ultah salah satu teman Ben, sangat aneh.
Rencananya kami mampir ke rumah Sarmila yang mewah, tetapi bahkan jalan yang kami lewati ini terlihat jauh lebih parah dari jalanan kota pinggiran tempatku berasal. Aku tidak yakin apa yang Sarmila katakan memang benar. Aku juga tidak yakin bahwa tujuan kami kali ini memang rumahnya. Jika benar, sungguh panjang hidup si gadis ini. Ia harus pulang pergi dengan jarak sejauh ini tiap hari, dalam kondisi tubuh lelah karena kurang tidur dan terlalu banyak pengaruh nikotin serta alkohol. Kukira Sarmila tak akan hidup lama. Dan kalau saja dia hidup sampai tua, ribuan penyakit sudah pasti bakalan menggerogotinya.
Begitu mobil kembali melaju, Ben sudah tidak mengoceh seperti tadi, dan fokus ke kemudi. Aku terus memikirkan Sarmila dan kerusakan atas tubuhnya. Aku tidak paham apa yang Janus pikirkan, tetapi sejak tadi dia terus menerus meremas jidatnya dengan jari telunjuk dan jempolnya.
Kutanyakan pada Ben apakah dia mengerti alamat jelas rumah Sarmila. Ia bilang ia tahu karena tadi gadis itu sudah menjelaskan secara mendetail ketika kami masih berada di tempat pesta. Aku diam saja meski kemudian yang kudapati adalah tingkah Ben yang seakan tak tahu jalan. Ia sering kali mengurangi kecepatan laju mobil, padahal biasanya anak bosku yang laknat ini tidak pernah peduli bakal membunuh seseorang dengan cara liarnya dalam menyetir.
Ketika akhirnya Ben tiba di titik putus asa, dengan tanpa memandang wajahku, dia bertanya apakah aku pernah lewat kawasan sini? Tentu saja tidak, kataku. Janus dengan cepat langsung menyahut, tanpa ditanya, bahwa dia juga tidak tahu dan sebaiknya Ben ini segera membawa kami ke tempat tujuan.
"Aku ini lagi berusaha, Goblok!" kata Ben dengan jengkel.
"Dan aku mengantuk!" balas Janus.
Akhirnya kami bertiga diam dan aku tahu Janus telah mengambil keputusan untuk tidak lagi menjadi pengawas Ben demi memenuhi perintah sekunder bos kami. Lantas, tanpa sungkan, kukatakan pada Janus dengan jelas, "Besok kita bisa cari kerja."
Ben mendengus pendek dan tidak peduli omongan kami. Dia malah senang karena tahu bapaknya tidak semudah itu menemukan penggantiku dan Janus. Yang kemudian ia lakukan hanyalah membangunkan Sarmila dan bertanya ke mana arah rumahnya. Gadis itu mengucek mata sebentar dan memperhatikan beberapa sudut jalan, dan tanpa bicara sepatah pun, menujuk ke salah satu belokan.
Aku sudah menduga semua ini tidak beres sejak awal, tetapi tidak menduga sampai sejauh ini. Maksudku, setelah mobil mengarah ke ruas jalan yang Sarmila tunjuk, kami malah masuk ke jalanan tanpa lampu menuju tepi hutan. Sarmila sudah tidak tidur, tapi ia tak bicara sedikit pun dan hanya menggumam kesal ketika kutanyakan langsung apa benar jalan yang dimaksud.
Janus yang putus asa bahkan tidak peduli pada kepanikanku ketika kusadari mobil ini benar-benar berada di tengah hutan dan hanya pohon-pohon tinggi menjulang yang ada di sekitar kami. Ben tetap berkonsentrasi pada kemudinya dan terus mengamati apa yang tersaji di depan; sebuah jalan setapak berkelok ke kanan-kiri, dengan tanpa aspal, terus begitu sampai beberapa kilo. Anehnya, Ben justru bersikap seolah semua ini wajar.
Aku tak tahu berapa lama kami menelusuri hutan, sampai kemudian Ben mendadak memelankan laju dan bertanya apakah itu rumah Sarmila? Gadis itu mengangguk riang dan meminta kami turun.
Aku tidak tahu kenapa Ben bisa bersikap seaneh ini, padahal dia jelas tidak mabuk. Sementara, Sarmila yang terlihat tak lagi semabuk tadi, dengan tenang menoleh padaku dan memberiku tawaran bahwa sebaiknya kami menginap saja karena sudah selarut ini. Saat itu nyaris jantungku copot, karena kenyataannya, yang mengajakku bicara barusan bukanlah gadis dari kelab yang menumpang mobil Ben, tetapi sepotong wajah hancur tanpa bola mata.
Aku tidak tahu bagaimana mungkin Ben bisa bersikap wajar, tetapi kuminta Janus agar tidak mengikuti Ben ke balik kegelapan, ke suatu sudut yang mungkin saja, kini, di mata Ben, adalah sebuah rumah mewah milik kenalannya. Entah bagaimana dan kapan kami bisa pulang. Ben benar-benar lenyap ditelan kegelapan hutan, sementara tidak ada satu pun di antara kami yang bisa menyetir selain dia. [ ]
Gempol, 18 Juli 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media.