(Dimuat di Malang Voice, 27 Agustus 2017)
Aku berharap di sekitar sini, suatu hari nanti, terjadi gempa bumi, sehingga kerak bumi retak dan menelan Jeni ke dalamnya. Aku benar-benar berharap kejadian buruk itu terjadi, meski mencintainya.
Sebenarnya sejak lama aku mencintai Jeni, tapi kurasa dia tak terlalu suka padaku. Dia selalu mengabaikanku di depan orang-orang dan memaksaku merahasiakan seluruh hubungan kami. Tentu saja, 'seluruh' seharusnya kurang tepat, tetapi karena Jeni punya penyakit, kadangkala aku harus berperan menjadi sosok yang lain.
Suatu hari, Jeni berkata, "Jiwamu ganti jadi jiwanya anjing!"
Maka, kuturuti permintaan itu. Aku tidak akan heran atau ragu, sebab tidak jarang juga Jeni memintaku berperan sebagai setan jahat, dan semua ini kukira berkenaan oleh sensasi yang bakal dia dapat dalam persetubuhan kami.
Jika aku menjadi setan, aku harus jahat pada Jeni, tapi peran ini adalah peran yang sangat kubenci. Aku mencintai Jeni dan tidak bisa melukainya sekalipun harus menjadi setan. Saat Jeni memintaku menjadi sosok pembunuh berdarah dingin, aku hanya perlu mengontrol tubuhku agar tidak terlalu agresif sepanjang permainan di kasur berlangsung. Semua ini tentu kusadari sebagai penyakit. Jeni tidak sadar itu, dan malah menikmati.
Aku pernah berdoa betapa agar Tuhan menyembuhkan kekasihku ini dan kami bisa dapat melanjutkan hubungan dengan cara normal. Tidak ada permainan ganti jiwa yang harus selalu kulakukan, dan tidak ada pula rahasia di mata orang-orang yang Jeni kenal. Aku merasa aku lelaki baik-baik dan layak mendapatkan Jeni yang cantik dan disukai banyak orang.
Ah, ya, lupa kukatakan betapa sebenarnya Jeni tidak pernah terlihat cacat di depan semua orang di lingkungannya. Bahkan, teman-teman dekatnya pun tidak tahu kalau dia agak sakit. Orangtuanya saja yang tahu, dan suatu ketika mereka meneleponku untuk berkata, "Jaga anak kami baik-baik."
Di seberang telepon sana, kudengar suara tangisan orang-orang yang kurasa sudah terlalu putus asa.
Sekarang aku paham masalahnya. Jeni gadis yang menderita penyakit jiwa. Kedua orangtuanya tahu, tetapi hanya sebatas mereka. Ketika ada lelaki yang melangkah lebih jauh dari sahabat-sahabat dekatnya, maka pada titik itulah, seseorang lain, yang tadinya tak tahu siapa Jeni, menjadi tahu aib ini.
Tentu, sebagai lelaki yang belum pernah memacari gadis sinting, aku merasa malu jika harus membuka aib yang kini menjadi milikku juga. Jeni seakan melumuri lumpur dari liang-liang tubuhnya ke tubuhku, dan kami mandi bersama selama berabad-abad di suatu tempat yang bernama kasur khayalan. Aku tahu itulah yang selalu Jeni pikirkan. Di suatu tempat terdapat kasur dengan kubangan besar di tengahnya yang berisi air atau apa pun yang dapat digunakan untuk mandi.
Katanya, "Kita mandi berabad-abad di sana, sayangku!"
Fakta ini membawaku ke satu tahap baru yang tak pernah kualami; aku merasa aku ikutan sinting oleh permainan Jeni, dan semakin ke sini, aku semakin takut orang-orang tahu seluruh rahasia hubungan kami.
Aku memang sangat ingin beberapa teman kami tahu kalau kami berpacaran. Tentu itu tidak harus membongkar aib yang telanjur kami rawat bersama nyaris setiap malam di acara persetubuhan tak wajar. Barangkali kami bisa mengenalkan diri sebagai orang- orang yang dimabuk asmara, yang hanya terdiri dari dua tubuh dan dua jiwa selayaknya pasangan lain. Meski di dalam terjadi banyak peran yang kulakoni, aku berharap mereka hanya tahu kami sebagai pasangan biasa yang sedang berbahagia.
Hanya saja, Jeni tak menghendaki itu terjadi. Aku sudah tentu sering membujuknya, tetapi setiap kali usaha ini baru menyentuh langkah awal, Jeni langsung mengancamku. Dia bilang, "Sebaiknya kita mati saja deh! Atau, kamu sendiri yang mati dan jadi setan selamanya!"
"Aku tidak mengharap kematian kita," kataku menyangkalnya. "Aku mencintaimu, Jeni. Dan kita bisa hidup seperti orang-orang biasa di luar sana."
Sayangnya Jeni tidak dapat digoyah. Tingkahnya sebagai gadis normal di luar sana, di kehidupan mereka yang tidak benar-benar mengerti siapa dirinya, membuat semua ini semakin sulit. Sosok seperti Jeni ini punya prinsip yang tidak akan goyah, meski jelas- jelas itu membahayakan bagi orang lain.
Tentu, aku merasa hidupku tidak pernah bahagia. Aku mencintai seorang gadis, dan dia membalas perasaanku dengan cara yang sangat gila. Apakah mungkin seorang lelaki bisa bahagia untuk itu? Dulu aku membayangkan bisa hidup normal bersama Jeni dan kami tak perlu terbenam dalam kisah-kisah persetubuhan gila. Kami hanya perlu jalan ke tempat-tempat romantis, dan kemudian terjadi perkenalan antar-keluarga, hingga aku pun resmi menjadi suaminya.
Pikiran tentang hidup normal, juga peran-peran tak tersangkal yang harus kulakoni demi memuaskan hasrat liar Jeni, membuatku tak tahan juga. Aku berharap di sekitar sini, suatu hari nanti, terjadi gempa bumi, sehingga kerak bumi retak dan menelan Jeni ke dalamnya. Aku benar-benar berharap kejadian buruk itu terjadi, meski mencintainya.
Setiap malam, ketika peran baru kumainkan, di kasur tersebut Jeni berbaring selagi menatapku penuh nafsu. Saat-saat macam itu, aku kira, adalah saat yang tepat apabila gempa bumi harus terjadi. Kubayangkan Jeni terperosok jatuh, ditelan bumi, lalu hilang selamanya. Kubayangkan itu dengan sempurna. Hanya saja, tak pernah ada gempa bumi dan peran yang kumainkan dari hari ke hari justru membuatku merasa akulah yang kini mati ditelan bumi. [ ]
Gempol, 9 Agustus 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.