(Dimuat di Malang Post, Minggu, 16 Juli 2017)
Malam itu hujan deras. Aku terjebak di halte dekat kantor, yang tidak terlalu ramai di atas jam sepuluh malam. Sudah beberapa hari ini bos marah besar karena baru tertipu orang kepercayaannya. Para pegawai bawahan sepertiku yang akhirnya kena imbasnya. Demi apa pun, masalah-masalah harus dibereskan, dan tindakan ini pun mengorbankan waktu setiap orang.
Harusnya aku tahu. Membawa motor adalah hal utama sejak bos menambah daftar kerjaan yang harus kuselesaikan dalam sehari. Setumpuk berkas berisi data-data tahun lalu harus kuteliti ulang di tengah upaya mengambil tindakan hukum atas penipuan oleh orang kepercayaannya tadi. Aku tidak pernah bekerja sampai lupa waktu seperti kali ini. Aku bahkan tidak ingat jam berapa terakhir kali menyeduh kopi di pantry.
"Mungkin sebaiknya kamu begadang saja. Sekali-kali tidur di kantor seperti Janus, kurasa tidak masalah," celetuknya sesaat setelah kami meninggalkan lobi gedung.
Saat itu gerimis mulai rintik-rintik. Aku dan Lia seakan meramalkan situasi tidak menyenangkan bagiku: hujan deras dan susahnya mendapat bus lewat jam sepuluh. Dari sini terlihat betapa sepinya jalan raya, sehingga jembatan penyeberangan yang berdiri di depan kami tampak sia-sia belaka.
Aku dan Lia memang sudah sering membahas ini, karena tidak jarang juga ketika motorku mulai bermasalah dan aku tidak bisa membawanya ke mana pun, aku terjebak di situasi yang sama persis, meski saat itu kerja lembur bukan disebabkan oleh amukan seorang bos. Pada saat itu, suasana kantor agak damai dan hanya permintaan klien saja yang membuatku harus pulang terlambat.
Sekarang keadaannya sangat lain. Suasana kantor begitu melelahkan karena suatu penipuan oleh orang yang tadinya sudah kami anggap teman sendiri. Maka, terjebak dan tak bisa pulang di tengah keadaan begini membuatku semakin sumpek. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana melewatkan malam seorang diri. Semoga, semoga saja bus yang kunanti segera lewat.
Tentu saja itu bukan urusan Lia. Tentu dia bisa segera pulang. Aku lihat punggung Lia menjauh dan terus menjauh, melintasi jembatan penyeberangan, dan dengan bahagia menjumpai suaminya yang menunggu di salah satu kafe. Mereka berlalu setelah terlebih dulu melambaikan tangan kepadaku.
Kira-kira setengah jam berputar sejak Lia dan suaminya pergi meninggalkan kafe di seberang, aku belum juga mendapatkan bus. Jalanan menjadi jauh lebih sepi. Gedung perkantoran di sekitarku tampak menjulang di seluruh penjuru bagai para raksasa yang bertugas menjagaku agar tidak kabur.
Aku punya masalah tertentu dengan kegelapan. Aku takut kegelapan, sehingga tak ada tempat teraman dalam situasi ini selain tetap berdiam di halte. Seharusnya, aku bisa berjalan beberapa ratus meter ke arah utara dan menjumpai pangkalan ojek di sana. Aku rela membayar berapa pun asal dapat segera sampai ke rumah.
Masalahnya: hujan deras tampaknya masih lama, dan membayangkan populernya aplikasi pemesanan ojek online di ponsel tiap orang di seluruh dunia, membuatku geli. Aku tidak mengerti bagaimana menggunakan ponsel layar sentuh, sehingga pemikiran memesan ojek secara online sama sekali tak terlintas.
Dalam keadaan begini, aku membayangkan dua kemungkinan paling baik. Pertama, bus itu datang sesegera mungkin meski hujan deras. Kedua, bila sampai bus itu belum ada hingga hujan reda, aku bisa berjalan ke pangkalan ojek yang kumaksud. Aku tidak tahu lagi apakah ada cara lain agar cepat pulang, jika bus itu tidak lewat, selain dengan sekuat tenaga melawan rasa takutku pada kegelapan?
Aku tidak bisa membayangkan menginap di kantor seorang diri. Memang beberapa satpam bertugas di sekeliling gedung, tapi aku tidak mungkin menyuruh salah satu dari mereka untuk menjagaku yang sedang terlelap di bawah meja kerja, hanya agar aku ini yakin tidak terjadi apa-apa selama tidur di tengah keremangan kantor seorang diri. Aku tahu beberapa rumor tidak harus kita percaya, tetapi tetap kisah-kisah omong kosong itu melekat di kepala. Salah satunya, misal, adalah tentang jin penunggu kantor berwujud anak kecil tanpa kepala. Aku tidak ingin menemukan hal-hal semengerikan itu. Dan aku juga mustahil begadang bersama satpam yang mendapat shift malam demi menghindari para hantu.
Karena pilihan-pilihan memaksaku untuk tetap bertahan di halte selama hujan tidak juga reda, pada akhirnya aku membuat lelucon-lelucon sendiri agar pikiranku teralihkan ke hal-hal yang menyenangkan. Halte ini memang berlampu, tetapi suasana jalan raya di sekelilingnya tidak bisa disebut terang sepenuhnya. Jarak antara tiang lampu satu dan yang lain terlalu jauh bagiku yang membenci kegelapan. Maka, hanya dengan membuat berbagai lelucon, aku sejenak lepas dari rasa takut.
Lelucon terbaik yang kubuat dalam kepala malam itu adalah tentang seorang badut yang tidak sengaja menumpahkan lem ke bagian dalam wig-nya. Alhasil, saat mencoba mencopot rambut palsu tersebut, dia berteriak panik dan membuat orang-orang tertawa geli. Aku pernah melihat kejadian ini dan membayangkan bosku yang suatu hari nanti mengalami kesialan tersebut. Jadi, rambut klimis yang selalu dia bangga-banggakan itu tidak ada artinya karena wig berdebu.
Lelucon lain kubuat dengan membayangkan kisah-kisah kesialan yang lucu, yang menimpa orang-orang tertentu yang pernah atau sering berbuat tidak adil kepadaku. Di tengah keseruan ini, aku tidak sadar seseorang duduk di sebelah kananku dengan tubuh basah kuyup.
Dengan tampang gugup, gadis itu bertanya, "Anda terjebak di sini malam-malam, hujan pula, dan bisa-bisanya malah asyik tertawa?"
Aku berhenti memainkan lelucon di pikiranku dan menatapnya balik. Kekagetanku membuatnya minta maaf, dan akhirnya kami pun mengobrol selaiknya rekan senasib. Ini membuatku merasa jauh lebih nyaman. Gadis cantik ini baru saja pulang dari pesta di rumah temannya. Karena mobilnya mendadak mogok, dia terpaksa meninggalkan mobilnya, tetapi saat itu hujan sudah deras.
"Tidak ada tempat berteduh teraman selain di sini," tutupnya dengan gelisah.
Pada saat ini, aku sadar untuk menengok arlojiku sekali lagi. Nyaris pukul sebelas malam. Hampir satu jam aku menunggu bus, dan kukira yang kutunggu tak akan pernah datang sampai subuh. Aku sadar aku sial, tetapi kutenangkan diri lantaran ada seorang gadis yang bersamaku di sini.
Mengetahui situasiku, gadis ini menawari tumpangan. Dia sudah telepon seorang sepupu untuk menjemputnya kemari. Sepupunya ini, menurut penjelasannya, tidak bisa berbahasa Indonesia, karena lama di Belanda. Tetapi, dia orang yang lumayan baik.
"Anda pasti suka. Orangnya ramah, meski agak pendiam sih."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Kebaikan ini mungkin jawaban dari doa agar aku segera sampai rumah. Tentu saja, kurang dari jam dua belas malam, aku sudah akan tiba di rumah jika sepupu si gadis ini tiba dalam sepuluh menit ke depan. Sepuluh menit, itu yang dia bilang setelah kemudian kami berdua kembali terdiam.
Sesuai yang dijanjikan, sepuluh menit kemudian sebuah mobil berhenti di seberang halte. Hujan belum reda, malah semakin deras. Dengan suara setengah berteriak karena melawan deru bunyi hujan yang menyerbu atap halte, gadis itu memintaku untuk basah sejenak, karena kami harus cepat-cepat menyeberang untuk menuju mobil sepupunya.
Aku mengangguk.
"Tidak masalah, kan?"
"Oh, tentu tidak!" kataku.
Kami berlari menerabas hujan dan dia membiarkanku masuk ke bangku belakang mobil sepupunya. Aku tidak dapat melihat dengan jelas wajah si sepupu, karena lampu dalam mobil sangat redup. Namun, tentu saja, aku lebih senang melawan rasa takut oleh kegelapan di sini, ketimbang harus menginap di halte yang dingin.
Karena kelelahan, setelah berbasa-basi sejenak dengan gadis itu, aku tertidur. Pada saat itu aku mengira seseorang membawaku terbang entah ke mana. Kurasa tidak biasa kualami mimpi semacam ini, tetapi aku terus terbang dan terbang. Saat bangun, bukan bangku belakang mobil sepupu si gadis yang kutemui, melainkan tepi sebuah danau.
Dengan sangat kebingungan, aku berjalan ke sana kemari untuk mencari seseorang. Kurasa gadis itu baru saja merampokku, karena ketika bangun, cuma celana pendekku yang kukenakan. Mungkin mereka memang berpura-pura begitu demi menjaring siapa pun mangsanya yang terjebak hujan di halte bus. Benar-benar biadab. Seharusnya bukan aku korban mereka. Seharusnya orang-orang kaya berduit macam bosku yang kena.
Setelah beberapa menit mencari, aku putus asa, karena danau ini sangat sepi. Tidak ada manusia. Bahkan, aku sangat yakin, tidak ada bau manusia sama sekali di tempat ini seandainya aku dapat mencium aroma keringat orang-orang sebagaimana seekor anjing dapat mengendusi segala sesuatu.
Karena tidak ada yang dapat kulakukan, aku terus saja berjalan menyisir danau ini, dan pada salah satu tepinya yang berkabut, kutemui seorang lelaki dengan perahu butut bersiap pergi.
"Anda tahu saya di mana?" tanyaku.
Lelaki tua itu tidak menjawab, tapi memberi isyarat agar aku naik. Aku bilang saja aku ingin pulang. Dengan kesal, dia bangkit dan menarik lenganku dengan sangat keras. Katanya, arah pulang hanya ada di seberang. Kalau ingin pulang, sebaiknya tidak usah bertanya. Aku sangat ketakutan. Aku tidak tahu lelaki tua ini siapa, tetapi sekarang aku benar-benar naik ke perahunya. Mungkin seharusnya kusimpan beberapa bongkah batu di saku celanaku, hanya sebagai jaga-jaga agar tidak tertipu untuk kedua kalinya.
Gempol, 5 Juli 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).