Skip to main content

[Cerpen]: "Operasi Balas Dendam" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Jumat, 21 Juli 2017)
 
    Aku lupa kapan pernah melihat perempuan itu. Ia duduk di sisi tempat tidurku dan memberiku air. Ia bilang, aku harus minum agar tidak mati, dan kalau aku mati, ia tidak bisa menuntut balas. Aku tidak tahu kalau ia menyimpan dendam padaku, bahkan aku tak ingat pernah membuat suatu kesalahan sehingga ia pantas menuntut balas.
    "Aku tidak pernah melukaimu atau membuat gara-gara. Aku tidak pernah berdosa kepadamu," kataku.
    Ia tertawa dan menyuruhku minum. Selesai minum, tubuhku jadi semakin remuk. Aku tidak tahu kenapa bisa ada di tempat asing ini. Kamar yang pengap dan temboknya penuh noktah cokelat. Bau bangkai tikus merebak dari kolong tempat tidur. Barangkali ini tempat yang si perempuan siapkan untuk menuntut dendam yang tidak kutahu apa. Kubayangkan di luar kamar terdapat berbagai macam alat siksaan yang bisa membuatku cacat. Atau jangan-jangan, ia akan membunuhku?
    "Kamu memang tidak pernah salah," katanya kemudian. Ia menyelimutiku dengan kain sarung berbau apek. "Tapi tidak semua kesalahan mengendap begitu saja di kepala dan tidak hilang sampai seribu tahun. Kadang-kadang, kesalahan tak berarti yang kamu lakukan bisa menjadi begitu besar bagi orang lain."
    Aku tak tahu maksud ucapannya, tetapi memutuskan diam. Kupikir perempuan ini sinting dan aku sedang dikurung di rumah orang sinting. Istriku di rumah pastilah tahu aku tidak pulang tepat waktu dan segera menghubungi polisi dan orang-orang yang bisa membantunya mencariku. Aku dalam daftar orang hilang. Tidak lama lagi, perempuan sinting ini ditangkap, setelah tentu dengan mudah semua orang itu menemukan di mana aku ditawan.
    Aku merasa sangat lemas, dan ketika mencoba berdiri, aku tidak bisa. Kugerakkan kedua kakiku di atas dipan dengan putus asa. Aku tidak pernah merasa selemah bayi yang baru lahir, atau orang renta yang menunggu ajal. Aku selalu unggul dalam hal fisik, tapi sekarang semua berbeda.
    Perempuan itu keluar dari kamar setelah berpesan apa yang kulakukan untuk kabur sia-sia. Lebih baik diam dan patuh, sebab ia akan melakukannya tanpa membuatku sakit. Melakukan apa, aku tidak tahu. Ia tertawa dan tertawa sebelum sirna di balik tembok.
    Kupandangi ruangan ini. Bau bangkai tikus membuatku mau muntah, tetapi kurasa ada yang lebih baik ketimbang muntah, yakni berpikir dengan cara apa perempuan tadi membawaku kemari? Ia tidak memborgol atau merantaiku. Ia membiarkanku bebas dan berbaring. Tapi, aku lemas dan setengah lumpuh. Mungkin ia memberiku racun khusus, sehingga aku begini.
    Aku tidak kenal perempuan tadi, tapi jika ia sebut kesalahan yang mungkin bagiku terkesan tidak berarti dan baginya bisa bermakna besar, mungkin ia bekerja di tempatku. Mungkin ia dendam padaku yang sering disebut-sebut tidak berperikemanusiaan dalam mengurus ribuan pegawai.
    Aku sering mendengar mereka membenciku. Tentu saja. Tidak ada bawahan yang tidak membenci atasan, di mana pun. Tapi, bayaran mereka tidak kurang. Aku tidak pernah melakukan hal-hal yang terlalu merugikan mereka, sekaligus tidak membuatku rugi juga. Memang kadang-kadang aku perlu memberi mereka sedikit kesialan, tapi toh itu tidak berbahaya dan tidak membunuh siapa pun. Aku melakukannya dengan wajar dan tidak perlu kujelaskan detailnya di sini.
    Sekarang, karena hal itu (mungkin memang karena hal itu), aku ditawan di kamar berbau bangkai tikus dalam kondisi tubuh lemas. Aku curiga air yang kuminum barusan berisi obat atau racun tertentu yang membuatku semakin lemas. Belum juga aku dapat menebak bagaimana ia membawaku ke sini, pintu tiba-tiba terbuka dan lelaki berbadan tinggi besar melangkah masuk.
    "Tidak kabur berarti Anda bisa diajak bekerjasama. Itu bagus," kata lelaki aneh itu. Ia berwajah persegi dan berambut pirang. Ia membawa koper besar dan membukanya di depanku. Koper itu berisi berbagai alat aneh yang tak kutahu fungsinya.
    "Anda siapa?"
    Hanya itu yang kukatakan, tetapi ia tidak menjawab dan mendorong kepalaku agar tetap bersandar di bantal. Aku berontak, tetapi tangannya yang besar dan lebar itu begitu kuat sehingga aku tak berdaya dan akhirnya pasrah berbaring lebih dalam ke permukaan bantal.
    Lelaki itu bilang, ia suami si perempuan tadi, tetapi ia bekerja sebagai dokter yang tidak dianggap. Saya dokter tidak dianggap dan tidak mendapat pengakuan di mana pun, katanya. Tapi, ia tidak tertawa. Ia mengatakan hal itu dengan wajah seakan ingin berak. Ia mengatakannya seakan akulah yang bersalah atas kondisi kariernya yang tidak diakui itu.
    Kukatakan aku tidak kenal siapa dia, tetapi jika ia butuh bantuanku, aku mungkin bisa membantu. Dengan syarat: ia membawaku keluar dari tempat busuk ini. Aku akan membayarnya dengan sejumlah uang dan memberinya bantuan-bantuan. Tentu saja aku tak terlalu serius ingin melakukan itu. Mungkin lelaki berwajah persegi ini, sekalipun bertubuh besar dan kekar, dapat diakali. Mungkin karena itulah ia gagal menjadi dokter. Dasar lelaki tolol. Kupikir aku sanggup membodohinya dan kukatakan saja bujukanku tadi sekali lagi.
    Selama aku berbicara ini, dia sibuk mengeluarkan alat-alatnya yang terlihat aneh di mataku. Tidak ada dokter mana pun punya benda-benda seperti itu, dan kukira memang dia hanyalah pria gagal yang menjadi sinting, dan akhirnya menikah dengan perempuan tadi yang juga sinting.
    Ia sama sekali tidak peduli apa yang kukatakan dan terus mengeluarkan alat-alat dari dalam kopernya. Aku tidak mungkin bilang, "He, Lelaki Sinting, dengarkan aku!" Jika kalimat sekasar itu kukatakan, ia tidak mau diajak kerjasama. Aku berpikir agar ia menentang istrinya atau minimal membujuk si istri untuk kerjasama yang dapat kami lakukan bertiga dengan keuntungan yang tidak kecil.
    Maka dengan kalimat-kalimat halus dan penuh janji manis, kuajak dia kerjasama. Kukatakan lagi janji-janji tambahan yang mungkin membuatnya tergiur. Ia tidak hanya kujanjikan pengakuan, tetapi juga rumah dan penghasilan layak sebagaimana dokter lain di luar sana. Sebagai cara membuat obrolan sial ini cair, kukatakan saja dengan tertawa bahwa kamar ini busuknya minta ampun, dan sebuah tempat yang busuk dapat membuat hidup seseorang lebih menderita.
    Lelaki berwajah persegi akhirnya menghentikan aktivitasnya, karena alat-alat aneh itu sudah dikeluarkan semua dari koper, dan memandangiku dengan sedih. Ia bukannya meminta semua itu. Ia hanya perlu semacam gairah yang dapat membuatnya tetap hidup. Seperti apa? Aku bertanya dengan suara yang mulai bergetar. Ia mendekat dan meraba- raba kepalaku seakan kepalaku ini sebutir melon yang diperkirakan sudah matang atau belum.
    Aku ingin mencegahnya, tapi kedua tanganku juga lemas. Perempuan bangsat tadi, entah memberiku minum apa. Sekarang seluruh tubuhku tak bisa bergerak. Bukan kaku, tapi lemas. Benar-benar seperti si tua yang terkena stroke, aku hanya bisa bicara dengan suara yang mulai tidak jelas dan mata berkedip-kedip lemah.
    Lelaki itu, setelah memastikan aku tidak mungkin melawan, mengambil alat serupa helm. Ia pasangkan alat tersebut ke kepalaku dan menghubungkan kabel di puncaknya dengan listrik. Alat itu ia nyalakan dan aku tidak merasakan apa-apa. Ia mengambil alat lain berupa obeng dan melihat-lihat kembali kepalaku. Ia lirik jam tangan. Perempuan tadi masuk dengan mengenakan jubah putih. Ia membawa buku catatan dan menulis beberapa hal yang si lelaki katakan. Aku tidak tahu apa saja yang ia katakan dan ditulis oleh sang istri, karena suara mereka terdengar seperti radio busuk.
    Setelah beberapa lama, sementara perempuan tadi menutup kelambu dan menekan saklar sehingga ruangan ini menjadi agak terang, si lelaki mengambil alat lain dengan tangan kiri. Jadi, sekarang ia membawa dua alat: serupa obeng dan palu.
    Perempuan itu mencopot benda mirip helm di kepalaku dan mengacungkan jempol pada suaminya. Yang kemudian terjadi membuatku kencing di celana. Lelaki berwajah persegi menancapkan obeng di jidatku dan memukulnya perlahan-lahan untuk membuat celah. Aku kira, ia memang ingin membuat celah. Ia terus melakukannya dan aku tetap saja diam, karena bibirku kini benar-benar terkatup dan bahkan lidahku saja tidak bisa kugerakkan. Seluruh tubuhku tidak bisa digerakkan, tetapi otakku masih aktif dan aku dapat merasakan sakit yang luar biasa akibat obeng laknat tadi.
    Entah berapa lama si lelaki bekerja, kurasakan darah membasahi wajahku. Aliran darah sesekali menyelinap masuk mulutku dan aku ingin muntah, tapi tak bisa. Aku tak bisa meludahkan darahku yang mengalir masuk tanpa sengaja ke celah bibirku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sampai si perempuan mengulurkan selang karet yang tidak begitu besar dan memasukkannya ke lubang kecil yang terbentuk di jidatku.
    Lelaki itu memberi kode kepada istrinya, lalu sang istri memencet sesuatu di ujung kamar yang tak kutahu apa. Sebuah cairan hijau mengaliri selang tersebut dan kutahu itu pasti masuk ke kepalaku. Ia tidak melukai otakku, tapi mengisi kepalaku dengan cairan hijau yang entah apa. Aku tetap tak bisa melawan, tentu saja. Aku mulai kejang-kejang dan mengutuk tindakan mereka dalam hati. Kubayangkan, jika aku mati dan menjadi hantu, orang pertama yang kucekik dan kubunuh seperti di film-film omong kosong itu, adalah sepasang suami istri sinting ini. [ ]

    Gempol, 2016 - 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbaru karyanya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.