(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Juli 2017)
Aku memutuskan menumpang kendaraan orang saja, ketimbang jalan kaki sekian kilo jauhnya. Aku jelas tidak akan sanggup. Lagi pula aku juga baru melahirkan, meski bayi yang seharusnya tumbuh itu malah mati sia-sia. Jadi, dalam kondisi nyaris putus asa, aku pergi dengan membawa sedikit barang dan secara sadar meninggalkan suamiku yang kasar. Dengan seseorang memberiku tumpangan, tidak lagi kehidupanku seburuk yang sudah-sudah.
"Aku harus segera keluar dari area sini, sebelum suamiku tahu dan akhirnya diriku kembali dibawa pulang," kataku ke seorang sopir truk yang kucegat.
Sopir truk itu kelihatannya berbudi luhur. Dia berkacamata dan bertampang seperti tidak pada tempatnya. Maksudku, sejauh yang aku tahu, sopir truk biasanya adalah para lelaki hidung belang yang senang melihat wanita cantik atau setidaknya senang dengan pikiran kotor mereka tentang wanita. Dan entah bagaimana aku tahu sopir berkacamata ini bukan jenis lelaki yang seperti itu.
Tentu saja aku harusnya sadar betapa tidak semua sopir truk adalah hidung belang. Tidak semua lelaki adalah setan. Tidak semua dari mereka bertangan besi sebagaimana suamiku selama ini. Jadi, dengan keyakinan baru yang kucoba memakluminya ini, aku pun naik ke truk tersebut dan mengucap terima kasih sebelum akhirnya sopir tersebut bertanya, "Ke mana tujuan Anda?"
"Wah, saya juga tidak tahu."
Pada saat itu truk sudah melaju dan jalanan di kiri kanan yang berupa hutan. Sopir berkacamata itu tidak bertanya apa-apa selain menawariku air minum dan sepotong roti isi cokelat. Dia bilang, sebenarnya baru pertama kali ini melewati hutan ini dan bertemu seorang wanita yang lari ketakutan dari suaminya sendiri.
"Yah, Bapak mestinya juga tahu dan juga membaca dari berbagai cerita nyata yang ada di koran-koran, bahwa wanita seperti saya ini ada banyak," kataku kemudian.
Aku tidak tahu bagaimana sopir ini berpikir tentangku, tapi karena kesopanan dan tampangnya yang amat lembut, aku jadi menduga bahwa dia membiarkanku bercerita lebih dari yang dia harapkan.
Maka, aku pun bercerita tentang betapa dua hari yang lalu aku sebenarnya lahiran. Seorang bocah perempuan merah keluar dari dalam perutku. Bocah itu sangat lucu dan berpotensi jadi jalan keluar menuju masa depanku. Tetapi, karena ulah egois suamiku, anak kami tersebut mati sia-sia.
"Mati? Maksud Anda, suami Anda membunuh bayi kalian?!" tanya sopir truk itu dengan tampang mendadak tegang.
Aku bilang, memang suamikulah yang membuat nyawa anak kami melayang, tapi mungkin itu tidak terjadi secara sengaja. Maksudku, waktu itu dia sedang mabuk dan baru saja pulang. Tengah malam, aku dan bayiku tidur di tempatku dan suami biasanya tidur. Barangkali karena mabuk, dia tidak sadar setelah masuk kamar segera menarikku keluar sampai terjerembab.
"Lalu?" sela sopir truk itu tidak sabaran.
"Yah, kemudian bayi kami terbunuh. Itu terjadi secara cepat dan saya tidak mampu cerita lebih detail. Intinya, amukan suami saya di kamar malam itu, berimbas ke si bayi, yang akhirnya membuatnya mati!"
Sebagai ibu yang membawa anak pertamanya ke muka bumi, tentu aku amat sedih akan fakta ini: betapa aku memiliki suami yang tidak bertanggung jawab, dan betapa aku tak mampu menjaga anak sendiri sampai kehilangan nyawa akibat kekasaran bapak kandungnya.
Kesedihan ini bertambah-tambah setelah suamiku bangun besok harinya dan tahu aku menangis di dapur sejak dini hari. Dia sadar dari mabuknya, tetapi begitu tahu ada jasad bayi di pelukanku, kepadaku dia berkata: "Kamu apakan anakku?!"
Tentu, kukatakan padanya, kalau penyebab anak ini mati adalah ulahnya semalam. Tapi, dia menyangkal dan menuduhku sudah gila. Dia curiga betapa selama ini aku tak pernah mencintainya dan diam-diam bermain api dengan lelaki lain selama dia sedang bekerja.
"Kamu pasti selingkuh! Aku tahu itu sejak lama!" semburnya.
Pada saat itu tangisanku jadi lebih keras. Aku tidak pernah berbuat sepicik itu, dan anak yang baru kulahirkan sendiri sangat kucintai. Suamiku tidak percaya pembelaanku, dan menuduhku sengaja menghabisi bayi itu karena tidak mau memiliki anak dari lelaki yang tidak kucintai.
Aku langsung menyerbunya dengan sekuat tenaga, tetapi karena belum begitu lama melahirkan, tenagaku tidak sekuat yang kubayangkan. Aku malah diserang balik sampai jatuh dan membentur pojok lemari. Setelah itu suamiku pergi entah ke mana. Aku pun kembali menangis sepanjang hari sampai malam tiba, dan akhirnya memutuskan pergi sejauh mungkin.
"Ini. Bapak bisa lihat sendiri hasil perbuatan suami saya!" tuturku pada sopir truk yang sedari awal terus menyimak kisahku.
Kusodorkan jidatku persis ke wajahnya, dan kami pun kini berjarak beberapa senti saja. Dari tubuh si sopir truk ini, aku dapat menghirup bau cologne. Aku pikir sopir truk ini memang salah tempat. Dia pakai kacamata dan menyemprotkan cologne ke sekujur badannya. Padahal aku juga tahu apa yang dia muat hanyalah beberapa kardus pakaian bekas. Kurasa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan dia yang sebenarnya, tetapi tentu saja aku tidak punya hak untuk menilai.
Ketika melihat luka di jidatku akibat benturan dengan lemari itu, si sopir truk yang kukira amat sopan itu tampak bergidik. Dia mengaku prihatin dengan semua yang baru saja kualami. Padahal, dia belum mendengar puncak ceritaku, sebelum aku benar-benar kabur dan sebelum suamiku benar-benar pergi setelah melukai jidatku.
Sesuatu yang terjadi pada saat itu memberikan pukulan telak bagi orang sepertiku, meski aku sendiri telah mengalami banyak kekerasan. Tapi, kuputuskan untuk berhenti bercerita saja, sehingga si sopir truk bisa kembali berkonsestrasi dengan kemudinya.
Hanya saja, sebagaimana yang sudah kuduga, sopir ini sudah pasti akan bertanya apakah para tetangga tidak ada yang curiga soal kematian bayi kami? Dan pula, kapan orang-orang itu kuberi tahu tentang kematian anak yang baru kulahirkan, sedang suami dan diriku sendiri dalam kondisi bertengkar?
Sampai di sini aku menyerah. Kukatakan yang sebenarnya terjadi kalau bayi yang telah mati itu dipendam begitu saja oleh suamiku di belakang rumah, dan orang-orang di sekeliling rumah belum tahu kalau sebenarnya aku sudah melahirkan dan barangkali tak akan peduli jikapun tahu aku telah melahirkan.
"Jadi, Anda tinggal di lingkungan yang mana orang-orang sama sekali tidak peduli dengan tetangganya sendiri?" tanya sopir truk itu dengan sedih.
"Sebenarnya tidak begitu juga."
"Saya tidak mengerti."
Aku juga tidak mengerti bagaimana menjelaskannya, tetapi kepada sopir truk yang baik hati ini pun kusampaikan bahwa tetangga pun kami tak punya. Kami tinggal persis di tepi hutan, yang berdekatan dengan jurang. Kampung terdekat berjarak sekitar empat ratus meter.
"Hampir setengah kilo. Bisa Bapak bayangkan? Itu rumah terdekat!" kataku.
"Ah, ya. Mestinya saya sadar. Tempat Anda mencegat saya tadi memang sepi."
Sopir truk itu kemudian menatap lurus ke depan tanpa bertanya apa-apa lagi, dan aku sendiri juga kehabisan bahan cerita, sehingga cuma diam dan menikmati tumpangan gratis sampai ke tempat yang cukup jauh dari suamiku.
Tentu saja aku tidak akan takut sopir ini berbuat macam-macam denganku. Momen ketika kusodorkan jidatku ke arah wajahnya saja membuatnya terlihat canggung, atau malah risih. Dengan demikian dia tidak akan berbuat lebih dari sekadar bertanya tentang apa yang membuatku sampai memutuskan kabur dari suami.
Aku sendiri sejujurnya masih sedikit merasa berat dengan pergi dari rumah. Hanya saja, kematian bayiku membuatku sakit hati, dan mengira hidupku sudah cukup sampai di sini bersama tukang mabuk yang tidak pernah membuatku bahagia.
Aku mulai memikirkan orang tuaku, selagi truk ini menyusuri tepian jurang, yang adalah batas akhir area hutan, memasuki kawasan yang mulai dibarisi rumah penduduk. Pikiran tentang orang tuaku bukan muncul begitu saja. Aku memang sering memikirkan mereka setelah memutuskan kawin lari dengan lelaki yang justru membuatku menyesal hari ini.
Tetapi, aku tahu yang namanya masa lalu tidak akan bisa diubah. Aku hanya punya jatah untuk mengatur segalanya di hari ini agar masa depanku jadi lebih baik. Aku tahu aku sedih kehilangan bayi, tetapi kesedihan ini tidak lantas menahanku di sini. Jika saja nanti tujuanku yang sebenarnya sudah kucapai, kukira aku dapat melaporkan tindakan ceroboh suamiku kepada polisi, sehingga dia bakal menelan hukuman setimpal lantaran menyebabkan anak kami mati.
Ide ini muncul secara spontan. Jika tadi aku tidak tahu ke mana tujuanku, maka ke sopir truk itu, setelah melamun tentang orang tua dan jasad bayiku yang tersia-sia, aku katakan padanya, "Turunkan saya di stasiun."
Sopir truk itu menoleh, dan diam beberapa saat, sebelum mengatakan kalau dia tak akan melewati stasiun. "Saya akan belok ke arah lain," katanya dengan tampang sedikit menyesal. Tentu aku tidak akan memaksanya. Membawaku jauh dari hutan laknat itu pun sudah lebih dari cukup.
Kusampaikan ucapan terima kasihku setelah kami sampai di belokan yang sopir itu maksud. Sebelum aku benar-benar turun, sopir truk berkacamata berubah pikiran. Dia memintaku duduk lagi dan mengatakan akan mengantarku sampai di stasiun. Sekali lagi, kuucap terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana kiranya malam ini berlangsung jika tak ada sopir truk ini. Muatan berupa belasan kardus pakaian bekas tadi, kata sopir itu, akan dikirim ke suatu panti asuhan. Ia mengaku melakukan semua ini tanpa meminta bayaran, dan itu karena perasaan cintanya yang begitu besar terhadap anak-anak.
"Mengingat Anda menderita karena tindakan suami Anda, dan juga karena bayi itu meninggal, maka saya tidak bisa berbuat lain selain membantu semaksimal mungkin," sambungnya dengan tenang.
Aku hanya bisa menatap wajah sopir truk ini, dan menyimpannya baik-baik. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikannya, tetapi kukira Tuhan tidak tinggal diam. Kelak, balasan baik datang untuk orang yang membantuku ini.
Gempol, 7 Juli 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media cetak. Buku terbarunya Museum Anomali (kumpulan cerpen horor kontemporer, Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (kumpulan cerpen sastra, Basabasi, 2017).