(Dimuat di Tabloid Apakabar Indonesia edisi 10/XII 22 Juli - 4 Agustus 2017)
Pagi hari itu terasa lain. Aku bangun dan merasa dadaku sesak. Aku tahu selama ini tidak pernah mengalami gangguan pernapasan. Aku bangkit dari tempat tidur dan mulai berpikir tentang Diana, perempuan yang kusukai diam-diam, tetapi belum kukenal sama sekali.
Diana mendekam di kepalaku sebulan terakhir, dan kurasa bayang wajahnya sukar hilang dari sana hingga kami benar-benar saling mengenal dan dapat kuungkap perasaan cintaku kepadanya.
Barangkali memang ini terdengar aneh; aku jatuh cinta pada perempuan yang tidak kukenal, bahkan tidak kutahu sama sekali riwayat hidupnya. Aku juga tidak tahu apakah Diana putri dari keluarga baik-baik, ataukah keluarganya termasuk keluarga tidak beres. Tak ada informasi apa pun tentang Diana, selain namanya, yang kudapat secara rahasia dari seorang tetangga.
Ini terjadi sebulan terakhir. Aku mencintai seorang gadis yang melintas di jalanan depan apartemenku, dan sejak itu kuputuskan untuk mencari tahu di mana dia tinggal. Tak terlalu sulit membuntuti Diana, sehingga dengan segera kutahu di mana dia tinggal. Pada akhirnya aku juga tahu jam-jam berapa saja saat dia pergi ke mini market sekadar berbelanja kebutuhan pokok setiap empat hari sekali, juga ke mana saja dia berkendara dengan motornya setiap pagi.
Tentu saja, harapanku untuk itu adalah bisa berkenalan dengannya.
Sayang, harapan ini tinggal harapan ketika beberapa kali Diana melewati jalanan di depan apartemenku dengan laju motor terlalu kencang. Aku tak bisa mengejarnya tanpa ketahuan bahwa aku memang sengaja mengejarnya untuk berkenalan. Demi alasan yang satu ini, juga demi agar Diana tidak menganggapku pemuda penggoda, kucari informasi tentang namanya dari seorang tetangga di sekitar rumahnya.
Kira-kira tepat dua hari setelah itu, aku bangun tidur dalam kondisi dada sesak. Di malam terakhir, aku sempat bermimpi memanggil Diana yang sedang berbelanja sesuatu di mini market dengan menyebut namanya langsung, seakan aku sudah lama melihatnya, kemudian membuat semacam obrolan basa-basi yang berujung pada perkenalan kami. Itu sudah sangat sempurna berputar dalam mimpi, tetapi mendapati dadaku sesak ketika bangun dari mimpi tersebut, firasat buruk segera datang.
Dua hari belakangan, setelah tahu nama gadis itu, aku tidak melihatnya bermotor di depan apartemenku, juga tidak melihatnya belanja di mini market seperti biasa. Aku tak mungkin mengetuk pintu rumahnya yang selalu tertutup, sebab kami belum berkenalan. Yang dapat kulakukan hanyalah menunggu dan berdoa semoga Diana sedang pergi atau apalah ke luar kota, dan kembali pada saatnya nanti.
Namun, firasat buruk ini membuatku berpikir lain. Aku mengira boleh jadi Diana tak pergi ke mana-mana adalah karena alasan yang tidak dapat manusia mana pun tolak. Aku mengira ajal menjemputnya dan kebetulan saja para tetangganya belum menyadari itu.
Aku tak tahu dari mana pemikiran ini keluar tiba-tiba, tetapi segera setelah mandi pagi dan berlari-lari di depan rumahnya, kulihat sekelompok pemuda berpakaian serba hitam berkumpul di depan sana. Aku tak mengenal satu pun orang-orang ini, jadi meski perasaanku semakin tidak enak, aku hanya melanjutkan langkah dengan berdoa semoga bukan Diana yang meninggal.
Doa ini terus bergulir sampai berhari-hari kemudian, dan selama itu pula aku tidak lagi melihat Diana di rutinitasnya. Aku mulai yakin dialah yang pagi itu meninggal, tapi aku tidak berdaya, karena siapa yang kukenal di sini? Beberapa tetangga tahu aku hanya penghuni baru dan mereka tidak peduli. Sama tidak pedulinya dengan para tetangga dari Diana, yang meski melihatku berlari hampir setiap pagi melewati depan rumahnya, tak ada yang memberitahku tentang kebenaran.
Demi membuktikan apakah Diana memang meninggal atau tidak, pada pagi hari di saat kebanyakan orang masih terlelap, aku pergi ke seluruh pemakaman di sudut kota ini dan mencari kuburan-kuburan baru untuk mengecek apakah nama Diana ada di sana.
Dari penelusuranku ini, memang tidak kutemukan nama Diana, tetapi ada satu batu nisan di salah satu kuburan baru, yang bertuliskan tanggal yang sama dengan tanggal di saat dadaku sesak sebangun dari mimpi, tidak dapat kuabaikan. Nama yang tertulis di sana memang bukan Diana, tetapi Maria Evangelista.
Aku sangat yakin bahwa kuburan inilah kuburan Diana, dan tidak ada bukti-bukti lain yang dapat menyangkalnya. Rumah Diana pada suatu hari disegel dan dinyatakan telah disita oleh bank. Dengan kata lain, tidak ada lagi yang tinggal di sana. Aku curiga tetangga yang waktu itu memberikan nama Diana sebagai jawaban atas pertanyaanku, adalah orang tidak waras yang mengarang-ngarang nama hanya untuk membuat lelaki yang sedang jatuh cinta sepertiku ini tersesat.
"Barangkali tetangga si gadis itu memang sinting. Barangkali inilah nama aslinya, Maria Evangelista, dan bukan Diana seperti yang beberapa waktu terakhir ini kuyakini," pikirku dengan marah dan kecewa.
Akhirnya, karena tidak ingin terus menerus terseret ketidakpastian, kuberanikan ke rumah salah seorang tetangga gadis tersebut, dan bertanya secara langsung apakah yang sebenarnya terjadi dengan si gadis penghuni rumah, yang berambut pirang dan memiliki hidung mancung? Aku juga bertanya kenapa rumah tersebut disita oleh bank?
Jawaban yang kudapat sungguh mengejutkan.
Tetangga si gadis, yang kuyakin kali ini memang waras, menyahut, "Tidak pernah ada gadis seperti yang Anda maksud. Rumah ini dihuni seorang yang sudah tua dan juga sebatang kara, yang meninggal beberapa hari yang lalu."
Kukatakan bahwa aku tahu apa yang kutanyakan. Aku juga sangat yakin gadis itu memang tinggal di sini. Dalam dua kali kesempatan, Diana memang kulihat masuk ke rumah yang kumaksud dan segera menutup pintu seakan-akan di sanalah rumahnya.
Si tetangga menatapku heran, dan dengan semua penuturanku, dia terlihat seakan- akan bangun dari tidur panjangnya. Dengan mata melotot, si tetangga berbicara sekali lagi, namun kali ini dengan berbisik, "Tak ada gadis yang seperti itu di sini, tetapi saya rasa saya tahu apa yang Anda maksud."
Dia mengajakku masuk ke ruang tamunya dan mulai menjelaskan bahwa si wanita tua, yang sebatang kara dan tidak pernah mempunyai teman hidup itu, bernama Maria Evangelista. Beliau meninggal beberapa hari yang lalu dan dikubur di pemakaman yang terletak di seberang pusat kebugaran milik warga negara Amerika.
"Ya, di sana saya lihat batu nisan bertuliskan nama tersebut, dan ternyata dugaan saya tepat. Orang yang meninggal itu dikubur di kuburan yang saya datangi," kataku.
"Begini, Nak," sela si tetangga dengan wajah yang kini mulai muram, "sekali lagi, saya katakan tidak ada gadis muda dengan ciri-ciri seperti yang Anda maksud, tapi saya tahu siapa yang sebenarnya Anda maksud. Sudah lama ini tidak pernah terjadi, tapi hari ini mendadak Anda datang dan bertanya begitu, dan akhirnya saya tahu bahwa kejadian lama itu ternyata tidak pernah benar-benar selesai."
"Maksudnya?!"
Orang itu pun menjelaskan dengan terperinci tentang kejadian masa lalu di sekitar sini, yakni kebakaran yang menimpa rumah Maria Evangelista. Kebakaran itu memang tidak membunuh Maria, tetapi saudara kembarnya yang bernama Martha Evangelista tewas terpanggang karena terkurung di kamarnya. Itu terjadi berpuluh tahun lalu, tetapi hantu Martha tetap berkeliaran sampai detik ini.
Bukti adanya hantu itu adalah pengakuan dari warga baru yang tinggal di kawasan blok ini, yang kemudian mengaku melihat gadis cantik dengan ciri-ciri rambut panjang dan berhidung mancung. Ada banyak gadis dengan ciri seperti itu, tetapi keterangan lain yang para warga baru tersebut himpun, dari tahun ke tahun, pasti selalu sama dan selalu punya akhir yang dapat diprediksi.
"Seperti halnya Anda," sambung si tetangga dengan tanpa menatap wajahku, "para warga baru, yang mengaku melihat gadis yang sama, juga menganggap sosok yang amat cantik itu tinggal di rumah Bu Maria. Mereka sangat yakin dan mengejar-ngejar si gadis, dan ketika tahu yang tinggal di sana hanyalah perempuan tua sebatang kara, mereka pun tahu sosok yang mereka lihat ternyata hantu Martha. Kami warga sini sangat paham apa yang menimpa Anda, dan saya tidak akan heran kalau-kalau ada yang mencoba bohong soal nama gadis yang Anda kejar tersebut."
Mendengar penjelasan panjang lebar ini, aku hanya tersandar lemas di kursi sofa. Di luar, beberapa orang melintas. Terdengar bunyi klakson sebuah skuter. Aku tersadar dari lamunan dan segera pamit untuk menenangkan diri di kamarku. []
Gempol, 17 Februari 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.