Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Angkasa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 9 Juli 2017)
 
    1/
    Sejak kecil saya bercita-cita pergi ke angkasa. Tapi banyak orang mengira saya gila dan menyuruh saya ke dokter; siapa tahu otak saya rusak atau mungkin di tempurung kepala saya tidak ada otak sama sekali. Kecuali astronot, kata mereka, tidak ada yang bisa ke angkasa!
    Saya tahu saya bisa ke angkasa, walau bukan astronot dan belum pernah ke sana, kata saya. Suatu hari nanti, lihatlah, saya ke sana seperti Bapak saya.
    Bukannya mendukung, mereka malah tertawa. Padahal mereka tahu Bapak saya di angkasa. Beberapa hari setelah itu, saya ditaruh di kandang babi. Baunya tidak enak dan saya berak di sana, juga kencing dan makan di sana. Semua saya lakukan di sana setelah saya ditangkap dan dipukuli ramai-ramai. Saya dipasung karena melukai siapa pun yang meledek saya.
    Akhir-akhir itu sebilah pisau tidak lepas dari tangan. Sembari memandang angkasa, saya genggam pisau itu erat-erat dan menjilatnya. Dalam setiap jilatan, saya merasa ada Bapak di angkasa.
    "Wahai Bapak," kata saya, "coba turun dan bilang ke mereka kalau gadis sepertiku, betapapun tak berotak, juga bisa ke angkasa."
    Tetapi, Bapak yang konon mati dan dikubur entah di mana, tidak bisa menjawab.
    Angkasa itu, seperti duduk di jidat ini, tetapi tidak pernah bisa saya pegang. Ia jauh dan tak terjamah. Dan Bapak ada di sana sehingga saya sangat rindu.
    Saya sendiri belum yakin kalau bapak sudah mati. Saya curiga pada Ibu dan orang-orang yang membenci cita-cita saya. Jangan-jangan Bapak masih hidup hari ini dan disembunyikan entah oleh alien dari planet mana. Saya juga tidak tahu rupa Bapak, sehingga tidak bisa membayangkan kemungkinan ekspresi ketika ia sedih atau bahagia mendengar cerita-cerita saya padanya di malam hari.
    Saya cuma dengar dari Ibu bahwa bapak orang yang sangat jahat dan saya jangan mengingatnya. Saya tidak bisa tidak mengingat. Lalu suatu malam, karena saking seringnya kami debat, Ibu kesal dan memukul kepala saya berkali-kali sampai berdarah dan pusing. Saya kira saya mau mati, tetapi mata saya seperti ada sepuluh. Ibu menjerit panik dan di sana ada sepuluh wajah wanita sinting. Mata saya jadi berpenglihatan sepuluh setelah dipukuli. Sepanjang malam itu saya tidak ke kamar mandi karena sangat pusing dan tidak terbiasa berjalan dengan sepuluh penglihatan.
    Sulit membayangkan kalau saya jadi lalat. Kelak pikiran ini mendadak hinggap dan saya tertawa sendiri. Lalat hidup dengan beribu atau mungkin berjuta penglihatan (saya tak tahu pasti jumlahnya, itu saya dengar dari anak-anak yang kebetulan suatu hari lewat di depan kandang, dan mereka bilang saya dirubung lalat karena jorok, lalu akhirnya mereka meninggalkan saya sembari membahas tetek bengek lalat). Tetapi, saya manusia, bukan lalat, sehingga cukup dengan sepuluh penglihatan saja bikin langkah saya kacau.
    Ibu menangis sebelum membalut luka berdarah di jidat saya. Saya juga menangis, tapi di kepala saya berganti ada Bapak. Di kepala saya, Bapak—dengan wajah buram, karena saya tidak pernah lihat fotonya—diseret beberapa ekor alien ke pesawat terbang. Itu terjadi saat Ibu sedang hamil. Saya tidak tahu bayangan semacam ini kenapa terbit; apakah ini gambaran masa lalu, saya tidak tahu. Pokoknya di kepala saya terjadi adegan Bapak diculik alien, lalu Ibu, dengan kandungan sembilan bulan, keluar dan berteriak, Ada setan! Ada setan!
    Pada hari itu, sebagaimana yang juga saya bayangkan, Ibu mengira Bapak adalah setan yang punya banyak utang. Dan karena tidak lunas, Bapak harus membayar dengan nyawa.
   
    2/
    Suatu hari saya kesal. Kebetulan kami di dapur. Ibu menanak nasi dan mengomel, soal mimpi basi yang harus saya kubur, secepat saya mengubur pertanyaan soal bapak di masa lalu. Soal mimpi pergi ke angkasa menjemput Bapak.
    "Lupakan bapakmu, Anak Setan!" kata Ibu.
    Ibu murka saya sebut soal Bapak. Saya mau Bapak pulang, tidak peduli ia seorang setan, kata saya. Ketika itu mulai banyak orang bicara soal saya yang harus ke dokter dan saya yang harus dibuang karena membawa kutukan di tempat yang lama tenang dari masa lalu. Kata orang-orang, Bapak tidak boleh dan tidak akan kembali. Sudah cukup derita mereka karena Bapak.
    Saya tidak tahu maksud mereka. Yang saya mau hanya Bapak dan saya percaya dia bukan orang jahat seperti yang para warga tuduhkan. Jadi cita-cita pergi ke angkasa itu lahir bukan semata keinginan gadis yang tidak pernah disekolahkan karena ditolak oleh masa lalu. Masa lalu apa? Cita-cita saya lahir karena rasa rindu seorang anak pada bapaknya!
    Saya banting wadah nasi dan piring di depan saya. Ibu marah dan menendang saya dan membawa saya ke sumur untuk dimandikan kembang tujuh rupa. Di sumur, saya direndam dua jam sampai kedinginan. "Begini, ya," kata Ibu. Matanya melotot seperti mau loncat dan ia menggosok-gosok tubuh saya dengan kasar, "kalau kamu mau Bapak, ambil di pasar. Pilih mana yang kamu suka dan bawa pulang! Beres!"
    "Nggak mau!" kata saya. "Aku mau Bapak yang hilang diculik alien!"
    Ibu tidak menggubris dan menggosok tubuh saya dengan tenaga yang semakin kuat. Berkali-kali bibirnya melafal kata 'setan;, sebelum melihat saya dengan cara yang tidak saya suka; Ibu menganggap saya, anak kandungnya, sebagai anak setan yang kotor dan najis.
    "Harusnya kamu tidak pernah lahir. Tapi, aku masih waras dan berterima kasihlah karena itu, Anak Setan! Aku tidak bakal membunuhmu!"
   
    3/
    Di tangan saya ada komik, pemberian Om Lukas tujuh belas tahun lalu, di awal mula pertanyaan soal Bapak muncul: di mana Bapak, kapan pulang, kerjanya apa, dan sebagainya.
    Ketika itu, kata orang, saya bisa membedakan mana Bapak si A dan mana Bapak si B, sedang saya sendiri tidak punya Bapak. Di dekat rumah, setiap anak punya Bapak dan kalaupun tidak punya, pasti ada kuburannya. Kata orang, bapak saya mati, tetapi Ibu marah saat saya mengajaknya ke kuburan. Saya bilang mau menengok Bapak. Ibu bilang, nggak di situ! Bapakmu di neraka, tahu!
    Om Lukas suatu hari datang dan bilang, "Bapakmu di atas sana, Maria. Di angkasa dan bahagia."
    Saya tahu Om adalah pastor yang sering ke gereja dan berdoa kepada Tuhan yang ada di atas sana; apa Bapak ada di sisi Tuhan? Saya sering membayangkan, bila pastor ini mendongeng soal Tuhan, sosok agung itu ada di angkasa sana. Tetapi komik itu isinya lain. Tidak ada Tuhan di situ. Saya melihat makhluk-makhluk aneh di angkasa sana, berwarna hijau dan berkepala botak dan mereka semua telanjang, tapi tidak ada burungnya. Saya suka komik itu karena makhluk aneh bernama alien senang menculik orang. Kata Ibu, sebelum komik itu jadi milik saya, "Bapakmu mati setelah diculik orang! Dia setan. Jadi pantas mati!"
    Maka begini: saya kira Bapak diculik alien dan tidak ada yang bisa menolong.
    Karena itulah saya terus memahami isi komik itu. Ia selalu saya bawa dan baca dan membayangkan Bapak hilang dengan cara diculik alien—persis seperti yang di komik itu. Saya bawa komik itu ke mana-mana selama tujuh belas tahun, saya baca setiap hari sampai sampulnya kusam. Saya hafal isinya dari awal hingga akhir. Saya menyukai komik itu dan mencintainya lebih dari rasa cinta pada Ibu.
    Hari itu, selesai mandi, saya cari komik saya, tetapi tidak ada.
    "Sudah kubuang!" kata Ibu.
    Saya kesal. Komik itu satu-satunya barang berharga. Dari situlah, saya bercita-cita pergi ke angkasa menjemput Bapak yang hilang diculik alien nakal. Kenapa Ibu tidak menghargai jerih payah saya?
    Selesai mandi, karena tidak menemukan komik dan tidak bisa membaca cerita soal alien yang suka menculik Bapak, saya ke dapur dan mengambil pisau.
    Hari itu juga saya dipasung.
   
    4/
    Anak-anak bersorak di depan kandang. Saya masih menjilati pisau itu—yang saya sembunyikan di rok selama orang-orang memukuli dan menyeret saya kemari beberapa hari lalu. Tak satu pun tahu saya membawa pisau, sedang di kepala saya masih awet pikiran soal Bapak yang diculik dan dibawa ke angkasa.
    Anak-anak masih bersorak di depan kandang. Saya tahu angkasa ada di pucuk jidat, tetapi saya pasti menyentuhnya. Di sini, berhari-hari lalu, dalam pasungan, saya dengar Om Lukas bicara kalau Bapak tidak di angkasa seperti dalam komik. "Bapakmu di sorga," katanya.
    Saya tidak percaya. Bapak tidak mati. Bapak diculik alien untuk penelitian. Itulah yang saya percaya.
    Hari-hari itu orang-orang tertawa dan menyuruh saya ke dokter biar diperiksa; apa betul otak saya masih utuh atau apakah—seperti dugaan beberapa orang—saya tidak berotak? Saya tahu itu basa-basi dan mereka hanya akan tertawa, lalu membawa-bawa masa lalu dan kutukan. Betapa dulu Bapak membawa sial ke desa ini. Saya menolak itu dan meyakini Bapak ada di angkasa. Kalau Bapak mati, di mana kuburannya?
    Seorang dari mereka, entah apa maksudnya, bilang, bapakmu dikubur di rawa-rawa, di pinggir kampung yang dekat rumah Wak Gusnaldi. Di situlah kuburan bapakmu, kata dia dengan wajah meyakinkan, setelah sebelumnya menyuruh orang-orang tadi berhenti tertawa.
    Memang sulit percaya, tapi beberapa orang sering menabur bunga dekat rawa-rawa itu. Apa maksudnya? Apa betul Bapak dikubur di sana? Kalau benar, kenapa? Saya lebih suka membayangkan—di tengah bau sengak kandang babi ini—bahwa Bapak di angkasa dan duduk tegap memperhatikan saya dari ruang laboratorium milik para alien. Mungkin dia, dengan kemeja lusuhnya karena dua puluh tahun lebih tidak pernah ganti baju sebelum saya lahir, menangis tersedu-sedu karena tidak bisa mengajak saya bicara. Jarak kami terlalu jauh.
    Sejak kecil saya bercita-cita pergi ke angkasa. Tapi banyak orang mengira saya gila. Saya tidak gila. Saya hanya menolak mereka menyebut saya anak PKI. Dengan pisau ini, sungguh, saya bisa menyusul Bapak ke angkasa, juga Ibu yang saya tusuk sampai mati sebelum melukai beberapa orang yang menganggap saya gila.
    Malam ini, angkasa tidak jauh. Anak-anak sudah pulang dan saya sendirian. [ ]
   
    Gempol, 2016-2017

KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya kumpulan cerpen horor Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan kumpulan cerpen Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.