(Dimuat di Lombok Post edisi Minggu, 4 Juni 2017)
Setiap malam aku selalu berjalan berkeliling rumah mewah peninggalan almarhum suamiku. Biasanya satu malam kuhabiskan menelusuri ruang tertentu dalam rumah, tapi aturan itu tidak selalu berlaku. Kadang-kadang aku hanya suka berjalan saja dari ruang satu ke ruang berikut, tanpa memikirkan apa-apa, sampai azan subuh terdengar.
Rumah ini memang sangat besar. Setiap ruangnya bahkan dapat menampung lebih dari lima puluh orang, jika memang dibutuhkan. Hanya saja, sejak kami menikah, sebab aku tidak bisa mengandung bayi, rumah ini tetap sepi. Beberapa pembantu memang ikut tinggal di sini, tapi mereka tidak dapat meramaikan rumah.
Suatu ketika, sebelum meninggal, suamiku mengeluh, "Betapa sia-sianya rumah ini. Kita tidak bisa memenuhi ruang-ruangnya dengan banyak orang, kecuali tamu-tamuku yang kadangkala datang sekadar untuk keperluan bisnis."
Aku sendiri tahu aku tumbuh dari keluarga tak berpunya. Beberapa kerabatku gila, dan semua orang tahu itu, sehingga pergaulan di desa dengan orang-orang sekitar tidak memberiku banyak kenyamanan. Keluargaku sendiri tidak peduli soal itu, meski semua orang menganggap kami keluarga tertutup dan tidak bisa diharapkan.
Orang yang menyambut dalam ruang wawancara tidak lain adalah suamiku sendiri. Aku diterima kerja dengan posisi yang tak terlalu menjanjikan, tapi suatu hari suamiku memintaku berhenti. Aku tak dapat berkata apa-apa saat dia berjanji akan menikahiku.
Tentu saja aku tidak langsung keluar kerja. Kami berpacaran dulu setengah tahun, dan suamiku pun akhirnya tahu beberapa anggota keluarga besarku ternyata menderita penyakit jiwa. Tapi, dia tidak peduli dan tetap maju menikahiku. Aku pun berhenti kerja dan menuruti semua rencana suamiku yang terdengar indah. Dan memang semua yang kami jalani ini indah.
Hanya saja, setelah kami menikah, Ibu meninggal karena sakit. Suamiku jadi lebih mencintaiku, karena tahu aku kini sebatang kara, apalagi setelah adikku terindikasi sakit jiwa. Adikku satu-satunya pergi entah ke mana, dan suatu saat ada yang menemukannya sedang telanjang bulat di tepi jalan sambil menyanyi. Ia meninggal setelah empat bulan dibawa pulang ke rumah. Karena tidak tahan, adikku mati gantung diri.
Kehidupanku setelahnya berjalan biasa saja. Kegilaan keluargaku perlahan tak lagi jadi beban pikiran suamiku. Meski begitu, ia membantu beberapa sepupuku yang waras dan membiayai sekolah beberapa keponakanku yang kadang terlihat tidak punya minat sama sekali terhadap pendidikan.
"Semua ini buatmu. Kulakukan ini bukan buat mereka, tetapi buatmu," kata suami selalu.
Aku terharu setiap dia mengaku senang melihatku tersenyum. Dia sangat berharap aku segera melahirkan anak agar rumah mewahnya yang mirip istana ini segera ramai dan membuat hidup kami lebih lengkap.
Sayangnya, dua tahun menikah, kami harus menerima kenyataan bahwa rahimku bermasalah. Aku tidak akan pernah bisa punya anak. Fakta ini membuatku yakin suami yang juga kucintai ini akan segera meninggalkanku. Apa yang tersisa dariku untuknya? Aku lahir dari keluarga besar yang beberapa di antaranya mengidap sakit jiwa, dan kini aku hanyalah perempuan yang tak bisa memberinya keturunan.
Apa seorang lelaki akan betah hidup bersama perempuan sepertiku?
Nyatanya, suamiku tetap bertahan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi ia membuktikan cintanya yang tulus memang bukan sandiwara. Jika saja lelaki ini mau selingkuh, aku sudah siap membuka diri atas segala kekuranganku, dan berkata padanya, "Sebaiknya ceraikan aku, Mas, dan aku tidak akan dendam."
Nyatanya, itu tidak pernah terjadi.
Suamiku tetap bertahan hingga bertahun-tahun kemudian, ketika bisnis yang mulai dia bangun sejak kami berpacaran mulai berada pada puncaknya. Suamiku kini tak lagi bekerja pada orang lain, tetapi mengelola perusahaan sendiri, sehingga rumah istananya menjadi jauh lebih besar dan sepi.
Sampai hampir dua puluh tahun setelah kami menikah, rumah ini tetap sepi, karena tidak ada anak-anak berlarian dan beberapa pembantu harus datang dan pergi karena berbagai sebab. Tamu-tamu yang berkunjung pun sekadar rekan bisnis suamiku. Ia tidak punya masa lalu yang buruk sepertiku, tetapi suamiku tidak lagi memiliki orangtua, dan ia pun hanyalah anak tunggal. Keadaan ini diperparah dengan jarangnya dia bergaul saat masih kuliah, sehingga hanya sedikit mempunyai teman dekat. Ketika ia meninggal, aku sedih karena yang datang hanyalah orang-orang dengan wajah kaku tanpa air mata. Aku sendiri yang menangis, sementara orang-orang cukup berbasa-basi melempar kesedihan dari mulut ke mulut. Selebihnya, mereka tak pernah benar-benar hancur.
Maka dari itulah, kesepian dan masa lalu kami membuatku susah tidur. Aku selalu berkeliling setiap bagian rumah selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Entah berapa lama aku harus begini. Barangkali sampai aku tua dan dijemput malaikat. Karena warisan peninggalan almarhum suamiku terlalu besar, sesekali aku pergi ke satu yayasan dan memberikan sumbangan dalam jumlah fantastis.
Setiap berkeliling rumah ini, dalam jangkauan penglihatanku hanya ada pajangan- pajangan mewah dan beberapa benda yang dulu dibeli suamiku. Kubayangkan mereka bukan benda mati. Kubayangkan benda-benda itu hidup dan dapat bergerak bebas. Jika mereka hidup, kukira hidupku tidak terlalu kesepian. Aku merasa asing di rumah mewah ini setelah menyadari betapa benda-benda mati tidak mungkin bergerak, apalagi bicara tentang topik yang kita sukai.
"Aku tidak gila, dan semua orang seharusnya tahu itu. Aku tidak gila. Seandainya memang aku gila, benda-benda ini sudah hancur karena mereka tidak sudi kuajak bicara. Toh, pada akhirnya aku tahu memang takdirku dibuat seperti ini. Aku akan tetap sendiri sampai tua dan mati." [ ]
Gempol, 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi- Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).