(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 4 Juni 2017)
Ada yang tidak beres di kepala resepsionis yang memberiku kunci kamar nomor 21. Ia tidak ramah dan tidak sepenuhnya mengerti yang kukatakan, dan hanya mengangguk sekenanya saat kubilang, "Teman saya tadi datang."
Tentu kujelaskan identitas temanku tersebut, beserta segala ciri, yang kutahu sangat mudah dihafal oleh siapa pun yang tidak temanku kenal. Temanku itu memang unik; dia seniman yang senang menyebut coretan-coretan tak berarti sebagai barang berharga dan suatu hari nanti dapat digunakan untuk membeli dunia. Ia juga senang bicara dan pamer bahwa karyanya sering dipamerkan secara eksklusif di tempat-tempat terkenal, di dalam maupun luar negeri. Intinya, tidak ada yang harusnya merasa kesulitan mengenali orang macam temanku.
Bagaimana dapat kusebut beres? Bahkan, untuk mengenali seniman seunik itu saja, seorang resepsionis tidak mampu? Ia cuma menggeleng dan mengangkat sebelah tangan tanda tidak tahu.
Tetapi, aku tidak protes atau bertanya lagi pada resepsionis aneh itu. Aku putuskan langsung ke kamar nomor 25, yang tidak jauh dari nomor kamar yang kusewa. Temanku baru saja mengirim pesan, "Di kamar 25."
Tepat saat itu, resepsionis yang kubicarakan justru mengangkat telepon dan mulai mengobrol panjang lebar dalam bahasa santai, seakan-akan tidak ada tamu di depannya. Seakan-akan aku tidak dianggap atau seakan-akan hotel ini semacam toilet umum yang dapat dipakai sesuka hati oleh siapa pun dan untuk keperluan apa pun. Aku tidak tahu hotel macam apa yang kusinggahi sebagai tempat bermalam ini, tapi mungkin memang cocok untuk tujuanku kemari. Dan barangkali memang hotel rusuh macam inilah yang temanku dambakan.
Aku tertawa dengan gagasan itu, dan sambil melangkah masuk lift, kubayangkan si seniman sedang duduk menggaruk pantat sambil menghitung berapa lembar baju yang ia bawa. Memang begitu temanku. Ia tidak pernah membawa banyak bawaan, dan tidak pernah ada koper dalam daftar barang-barangnya, bahkan jika bepergian ke luar negeri. Cukup tas yang biasa dipakai untuk mendaki gunung; itu pun tidak pernah benar-benar diisi keperluan sewajarnya. Temanku lebih senang pergi dengan membawa kupu-kupu yang diawetkan dalam pigura kecil, atau terkadang beberapa butir batu akik yang kini tidak lagi booming.
Sesuai yang resepsionis tadi bilang, nomor kamar 21 dan 25 ada di lantai ke sekian, sehingga tombol yang kupencet di badan lift pun sesuai. Saat ini pukul sebelas malam dan tidak ada seorang pun di sekitarku. Ketika memencet tombol di dalam lift ini, baru aku sadar bahwa sejak tadi hotel ini sangat sepi.
"Hotel busuk begini," kataku dalam hati, "suatu hari nanti bakalan ditutup dan bisa jadi dirobohkan dan segera diganti jadi semacam pusat perbelanjaan."
Diam-diam aku senang memikirkan kemungkinan itu. Aku tidak pernah menelusuri seluruh bagian kota, meski lahir di sini, sebab dalam beberapa tahap pendidikanku, aku harus hijrah ke luar kota. Jadi, sejujurnya aku tidak tahu kawasan tempat hotel busuk ini berdiri.
Kurasa temanku yang seniman mendapat info tentang hotel murah ini dari internet, dan secara sengaja memesan kamar jauh-jauh hari untukku dan dirinya, hanya supaya dapat memenuhi hasrat anehnya tadi: menginap di tempat yang bukan milik kenalannya, di suatu kota yang sebenarnya bisa memberinya banyak tempat menginap gratis.
Pada saat itu, ketika membayangkan temanku yang aneh itu tertawa saat membuka pintu untukku nanti, badan lift mendadak bergetar, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak pernah mengalami kejadian ini dan berharap lift dapat berfungsi dengan baik sampai aku keluar nanti.
"Memang hotel busuk. Lift dan resepsionisnya juga busuk. Segala macamnya pasti busuk. Aku tidak akan sudi makan sarapan pagiku di hotel macam ini," gerutuku setelah getaran lift berhenti dan denting lemah di suatu bagian lift terdengar. Lalu aku keluar dan melangkah melewati lorong panjang yang dihiasi beberapa pot bunga dan sebidang jendela yang sangat besar.
Mencari kamar temanku sebenarnya tidak sulit. Nomor kamar di hotel ini dipasang secara urut, sehingga ketika melihat nomor 30 di bagian ujung lorong di dekat pintu lift, aku tahu harus pergi ke mana untuk menemui temanku. Tetapi, ada semacam dorongan di dada untuk melihat segala sesuatu yang disajikan sebidang jendela besar tadi. Segala macam gedung berdiri di luar jendela dan seluruh bangunan di kejauhan terlihat seperti kumpulan kunang-kunang.
Aku menduga, "Barangkali memang beginilah cara berpikir seniman."
Entah benar atau tidak, kukira temanku itu tidak sembarangan menyewa kamar di hotel tua yang busuk, tetapi juga mempertimbangkan terlebih dulu apakah dirinya bisa nyaman atau tidak?
Kurasa, sebidang jendela itu satu-satunya bagian terbaik dari hotel, meski lumayan kusam dan terlihat jarang dibersihkan. Aku yakin, petugas kebersihan di hotel berlantai tiga belas ini hanya berjumlah empat atau lima orang, atau bahkan hanya satu. Tidak ada yang tidak mungkin, mengingat betapa sepi penginap.
Begitu tiba di depan pintu kamar nomor 25, aku mendadak lapar dan ingin makan sesuatu di luar hotel. Tapi, aku juga mendadak lelah dan mengantuk. Jika tidak makan, bisa saja kupaksa diriku untuk mandi dan segera tidur, dan baru menyapa temanku esok pagi. Sah-sah saja kulakukan itu, tanpa harus menyapanya malam ini, karena ia seniman, dan seorang seniman biasanya memaklumi penyimpangan.
Tetapi, toh kupencet juga bel pada pintu nomor 25 dan tidak kudengar sahutan apa- apa dari dalam. Kuulangi usaha ini sampai kira-kira tujuh atau delapan kali, dan barulah temanku keluar dengan wajah yang sangat kusut. Ia bilang, "Sudah bertahun-tahun aku di sini, dan kamu justru baru sampai dengan koper laknatmu."
"Ya, memang jalanan agak macet," kataku pendek.
Aku malas berdebat, dan akan selalu begitu, jika bertemu si seniman yang satu ini. Hanya karena ia temanku saja, aku tidak menghapus nomor kontaknya di ponselku dan juga tidak mendepaknya dari kehidupanku selamanya.
Setelah mempersilakanku masuk, sang seniman melompat ke tempat tidurnya dan mengaku menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dia dapatkan. Sebenarnya, itu bisa didapatkan di lain waktu, tapi keinginan itu muncul malam ini juga. Ia sangat ingin tidur dipeluk ibunya, tapi tentu saja semua sudah tahu bahwa ibunya meninggal empat tahun silam.
"Jangan dikira karena saya seniman, maka saya bisa berbicara seperti ini," katanya dengan wajah gelisah, "tapi memang betul begitu; saya benar-benar ingin tidur dipeluk Ibu. Almarhum Ibu, maksudnya."
"Kukira itu karena kamu sedang lelah," tukasku santai. Lalu, karena kurasa malam sudah larut, sebaiknya aku pergi ke kamarku sendiri, dan bilang bahwa dengan menyapa dia di sini, artinya aku sudah datang dan tidak ada lagi yang ditunggu. Besok, jadwal si seniman sangat padat dan aku dimintai menemani. Maka sebaiknya kami segera tidur.
Begitulah, akhirnya aku pergi ke kamarku sendiri yang bernomor 21 dan tak butuh waktu lama untuk beres-beres sebelum menata diri di tempat tidur. Sekitar setengah jam kemudian kudengar suara-suara aneh di lorong hotel, seperti getaran, tapi tidak terasa di tempat tidurku. Aku lalu ingat getaran ini berirama sama sebagaimana yang beberapa waktu lalu kudengar langsung di dalam lift.
"Kurasa ada yang sedang mengumpat bobroknya tempat ini sekarang, dan semoga dengan semakin banyaknya umpatan, hotel ini benar-benar kolaps suatu hari nanti. Dan itu tidak lama," kataku seakan ada seseorang di dekatku dan bisa mendengar keluhanku.
Usahaku untuk tidur tidak juga berhasil, karena ternyata getaran yang bersumber di luar kamar ini belum berhenti. Kuduga lift itu benar-benar akan dibongkar besok pagi, dan beberapa hari kemudian hotel ini ditutup. Kurasa tidak akan ada yang sudi ataupun mau membayari biaya perbaikan lift untuk tempat penginapan tua yang sebenarnya bisa dijadikan semacam museum. Kurasa, pada akhirnya, tidak akan ada lagi seniman seperti temanku yang mencari tempat macam ini di kota ini, dan memang itulah yang baiknya terjadi.
Karena tidak bisa tidur, aku kesal dan meyakini bahwa besok hingga lusa hidupku sepenuhnya menderita. Tidak tidur untuk dua hari panjang adalah menyiapkan neraka di kepalamu sendiri, apalagi seniman itu tipe lelaki cerewet. Aku harus tidur, sehingga tak ada yang kulakukan selain keluar untuk memeriksa apakah ada yang sibuk memperbaiki lift?
Tapi, di sepanjang lorong tak ada siapa pun. Pintu lift juga tertutup dan seketika tak ada getaran apa pun kudengar. Aku tahu tempat ini memang tidak beres. Aku amat tahu itu sejak awal, sejak resepsionis amatiran itu menyambutku dengan gayanya yang tidak elegan. Dengan kekesalan menggumpal di ubun-ubun, aku kira aku harus pergi ke suatu kantor di hotel ini, tempat manajemen atau pengurus hotel biasa berada, dan aku dapat memberinya berbagai kritikan, termasuk masukan agar sebaiknya hotel ini ditutup saja.
Hanya saja, belum sempat kulakukan itu, di puncak tangga darurat yang akan aku turuni, seorang jompo tidur melingkar seperti udang dan memohon welas asih agar aku dapat mempertemukan dia dengan ibunya. Aku tidak tahu siapa orang ini, tapi kubilang, "Maaf, Anda tidak kenal saya kok."
"Oh, ya?" bentak lelaki jompo itu, lalu mendongak dan berkata bahwa sudah lama ia menungguku di sini. "Sudah bertahun-tahun dan sekarang kaubilang kita tidak saling mengenal?!"
Aku tidak tahu bagaimana mungkin semua ini terjadi? [ ]
Gempol, 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, esai, novel dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).