![]() |
Sumber gambar: https://kikisenyo.wordpress.com/2011/01/19/its-my-sketch-jihan-rana/ |
(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 10 Desember 2016)
Rumah kami berdiri di pinggir jalan raya, berjarak
dua puluh meter dari jembatan layang yang baru untuk jalan tol. Anak-anak kami
yang kecil pun sering harus kami peringatkan jika ingin bermain di kolong
jembatan, karena kendaraan besar macam bus sering berhenti mendadak untuk
menurunkan atau mencari penumpang di sana.
"Anak-anak bisa mati ketabrak bus. Anak-anak
yang tidak berdosa memang masuk surga, tetapi orangtua seperti kalian mungkin
masuk rumah sakit jiwa," kata mertuaku. Ia tersenyum nyinyir. Ia
benci basa-basi. Ucapannya hampir tak terkontrol. Ia bilang itu setelah
melihatku mengunci anak-anak di rumah pada siang hari, agar tidak main di bawah
jembatan. Kalau malam, mereka tidak akan keluar. Anak-anak itu takut hantu dan
percaya hantu dapat memakan manusia.
Persoalan lain: satu-satunya kebun terdekat dengan
rumah, yang dahulu sering kali dianggap taman oleh warga sekitar, kini tidak
lagi ada; dibabat habis karena pemiliknya merelakan tanah tersebut dibeli untuk
jalan tol. Dengan demikian, dapurku yang dekat kebun setiap hari dipenuhi debu.
Jelas begitu, karena kendaraan yang melewati area ini hampir tidak pernah sepi.
Dua puluh empat jam non stop.
Mertuaku langsung bereaksi dengan mengatakan,
"Dapurmu ini tidak disapu, ya? Dapur yang baik adalah dapur yang bersih
dan bebas debu setebal setengah meter! Rumah yang berdapur kotor, segala
masakan yang dihasilkan tidak akan higienis."
"Sudah saya cuci bersih semua bahan sebelum dimasak,
dan segala peratalan saya simpan di lemari khusus, yang tentu saja tidak akan
ada debu di sana," kataku tenang, karena tahu omongan mertua yang semacam
ini hampir selalu disengaja hanya agar aku tidak tahan dan pada akhirnya marah
besar. "Dan debu-debu ini tidak sampai setengah meter, Bu."
Tidak tahu kenapa aku dan mertua tidak pernah
akur. Ia tidak tinggal di sini, tetapi di dusun sebelah yang jauh dari jembatan
maupun jalan tol. Sejak pembangunan tol, ia sering kemari dan mencari cara
menjatuhkanku di depan suami. Aku tahu ibu mertua tidak terlalu menyukaiku, dan
ia selalu punya cara dalam memojokkanku.
Misalnya dulu, ketika aku memilih tinggal berdua
saja dengan suami waktu kami pertama menikah. Mertuaku berkata boleh saja aku
bawa anak bungsunya pergi, tetapi ia bilang aku tidak bisa membawa cinta anak
bungsunya selamanya.
Orang bilang, mertuaku stress. Banyak yang
tidak suka padanya. Ketika akhirnya jalan tol dibangun dan rumah kami menjadi
jauh lebih sepi, karena tetangga kami yang seru dan ramah-tamah sudah pindah
semua, ia seakan bertepuk tangan di depanku setiap hari, dengan
kunjungan-kunjungan yang sarat protes. Seakan-akan keputusan yang kami setujui
bersama, yakni aku dan suamiku tinggal berdua saja, adalah keputusan paling
salah di muka bumi.
"Sekarang kita tinggal jauh dari
siapa-siapa," kata suami. Ia mendukung pendapat ibunya yang mengatakan
kini kami seperti tinggal di padang pasir. Tidak ada toko, tidak ada kebun,
tidak ada tetangga yang ramah, dan hanya ada debu yang terus menimbun diri di
teras dan dapur.
Suara berbagai kendaraan di sekeliling tidak masuk
hitungan, karena setelah kami agak terbiasa dengan bising kendaraan di jembatan
dan jalan tol, aku dan suami mengira bunyi bising itu justru bagian dari hidup
kami. Tidak ada bunyi bising, membuat kami mati rasa.
"Ini rumah kita," kataku kepada suami,
"bagaimanapun, kita harus tetap bahagia di sini, dan anak-anak juga
seharusnya sering kita ajak bermain di taman yang jauh. Kamu sisihkan waktu
tiap weekend biar mereka bisa bermain. Biar tidak bermain di kolong
jembatan baru itu!"
Suamiku setuju.
Ibu mertua tidak mendorong kami pindah. Lagi pula,
rumah ini tidak kena gusuran demi kepentingan pembangunan tol, dan tidak ada
yang sudi membeli rumah di tempat begini. Debu yang menumpuk tidak ada setengah
meter, tetapi itu terjadi dari waktu ke waktu. Orang frustrasi, bila tinggal di
sini, akan memilih tidur di kamar dan menyalakan lagu-lagu sedih dan membiarkan
teras serta dapurnya ditimbuni debu setinggi sepuluh meter!
Satu-satunya yang membuatku lebih sedih dari
kedatangan mertua bukan soal debu atau jembatan yang membatasi ruang gerak
anak-anakku, melainkan soal tetangga. Tak ada tetangga membuatku serasa hidup
jauh dari peradaban. Memang betul yang terjadi. Kami tinggal jauh dari
siapa-siapa.
Meski tentu kami bukan hidup tanpa tetangga sama
sekali, ada dua rumah lain di sekitar sini. Salah satunya dihuni sebuah
keluarga tertutup, dan satunya lagi ditinggali perempuan sebatang kara yang
dulu pernah kawin dan ditinggal sang suami mati hingga menjadi agak tidak waras.
Perempuan sebatang kara itulah yang rumahnya lebih
dekat dengan rumahku. Jarak lima meter, berbatas halaman dengan pot-pot bunga
kecil, tidak juga membuatnya akrab denganku meski tujuh tahun kami tinggal
berdekatan. Tetangga yang satu ini memang aneh, dan menurut ibu mertuaku, aku
pantas bertetangga aneh, karena aku tidak pandai bergaul.
"Kamu bicara saja dengan perempuan sinting
itu, dan nanti kamu ajak bikin arisan atau apalah. Kamu tidak bisa bergaul dan
bisanya cuma duduk diam di rumah setelah semua tetanggamu yang waras itu
pindah!" katanya.
Aku menyadari dari kalimat sengak mertua, bahwa
memang ada benarnya yang beliau ucapkan. Aku tidak benar-benar pernah memulai
percakapan dengan tetangga mana pun sejak dulu.
Jika dulu aku merasa semua tetangga yang kini
sudah pindah bersikap ramah, itu karena mereka yang terlebih dulu menyapa, dan
aku membalas sapaan mereka, lalu aku pun tahu kalau mereka ramah-tamah. Jika
saja mereka tidak ada yang menyapa, aku tahu aku tidak akan punya teman.
"Sekarang aku harus beramah-tamah dengan
tetangga kita," kataku kepada suami. "Kalau kamu ngantor dan
anak-anak sekolah, aku merasa tidak punya teman dan tidak ada satu orang pun
mau berteman denganku. Bahkan, ibumu yang rutin datang itu, cuma
menyindir-nyindir segala sesuatu yang menurutnya selalu tidak beres."
"Tapi, menurutku kamu sudah melakukan yang
terbaik."
"Yang terbaik bagi suamiku, belum tentu cocok
bagi mertuaku."
Besoknya kusapa tetanggaku yang sebatang kara.
Harus sedikit berteriak, karena di teras suasananya sangat bising. Bicara
dengan suara normal membuatmu tampak seperti orang bodoh.
Tetangga itu menoleh dan tersenyum padaku. Ia
berkata bahwa tempat ini mungkin suatu hari nanti menjadi lebih sepi dari
kuburan. Lalu ia terdiam. Aku juga diam. Tidak berapa lama, sebuah bus berhenti
di kolong jembatan. Kami menoleh serempak melihat bus itu menurunkan beberapa
penumpang.
"Bu, saya punya ide!" kata tetanggaku.
Ia berlarian melintasi halaman sampingku, dan melompat menuju terasku yang
penuh debu. "Bagaimana kalau kita buka warung? Di situ, di bawah jembatan
itu. Satu-satunya pusat keramaian di sini. Orang-orang halte, tikus-tikus
halte, kucing-kucing halte. Semuanya sibuk melewati halte yang tidak jauh dari
sini, sementara kita membusuk di rumah kita sendiri! Dapur saya saja tidak
pernah lagi dilewati tikus, dan saya benar-benar kesepian!"
Kurasa, itu ide yang bagus. Kami berjualan sesuatu
di sana, dan bersama siapa pun yang mendatangi halte itu, kami bisa
bersosialisasi. Yah, tidak ada ide sebaik itu sejauh yang kutahu, selama kami
tinggal di sini. Nanti kusampaikan pada suami. Semoga dia setuju. [ ]
Gempol, 7 Agustus - 21 November 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.