Sepuluh tahun yang lalu saya patah hati untuk pertama kalinya karena
suatu cinta monyet. Pada saat itu saya menyukai seorang cewek berambut
keriting dengan gigi agak berantakan. Dia lumayan cantik kalau mingkem,
tapi tidak secantik cewek yang jadi idola di sekolah SMP itu.
Pada suatu hari seorang teman menggoda saya dengan duduk di dekat cewek
itu dan berbicara banyak hal, sementara saya hanya berdiri melihat dari
jauh, lalu saya patah hati. Saya ingat siang hari itu, sepulang sekolah,
makan nasi hangat lauk kornet sapi; rasanya sama sekali bukan seperti
mengunyah kornet yang gurih dan agak pedas sebagai rasa kesukaan saya,
melainkan seperti mengunyah muntahan bayi dan saya jadi tidak nafsu
makan. Saya belum pernah mencoba muntahan bayi, tetapi mungkin patah
hati dapat membuat siapa saja seolah merasakannya, atau mungkin sesuatu
yang lebih mengerikan ketimbang muntahan bayi dapat saja terjadi dan
seperti betul-betul dirasakan oleh penderita patah hati lainnya.
Saat itu lagu yang sedang booming adalah "Sudah"-nya Nidji, sehingga
ketika mendengar lagu itu hati saya mendadak layu, padahal lagu itu
entah liriknya bagaimana. Pokoknya ketika ada lagu itu, saya ingat cewek
itu, lalu saya ingat teman saya yang sengaja jahil dan ingin saya balas
kejahilannya dengan mendekati cewek yang dia sukai, yang kebetulan
tetangga saya. Masalah lagu Nidji tadi bisa sampai terbawa-bawa, adalah
karena pada saat saya merenung di suatu sudut sekolah, saya dengar
seorang adik kelas menyanyikannya.
Pada saat masa balas dendam
itu tiba, yang saya lakukan adalah: melebih-lebihkan cerita kebersamaan
saya dengan tetangga saya tadi, sehingga si teman saya juga tahu rasanya
muntahan bayi. Saya tidak bisa berharap rasa yang keluar lebih
mengerikan dari itu, sebab teman yang satu ini merupakan teman dekat
saya sekaligus korban kenakalan saya di peringkat pertama. Dengan kata
lain, jika dia tidak masuk sekolah, 50% kenakalan dan hasrat mengerjai
orang lain di diri saya hilang entah ke mana. Pada saat itu, mungkin,
lagu yang paling dia benci adalah "Tak Bisakah" milik Peterpan, karena
hari-hari itu saya sering mengajarinya main gitar bersama adiknya yang
agak songong. Mereka lumayan ribet, padahal lagu itu amat mudah
dimainkan.
Sepuluh tahun yang lalu, saya tidak membayangkan akan
menulis kejadian tersebut di atas dalam status ini, dengan segala
sesuatu yang sudah banyak berubah. Sepuluh tahun yang lalu saya tidak
mengira akan menulis banyak cerita di koran atau berkelana di belantara
Jakarta atau mengukur tinggi badan bule Eropa Timur di Bali atau
menghirup aroma sengak hantu genderuwo di samping rumah seorang
selebriti di kawasan Ciganjur atau naik lift di sebuah apartemen angker
di Tangerang atau jatuh cinta kepada seorang pegawai kantor pajak atau
menginap di sebuah hotel karena menulis cerpen atau mengenal Chelsea
Islan atau segala-galanya.
Semua itu tidak terbayang sepuluh tahun yang
lalu. Lalu saya berpikir, "Bagaimana mungkin saya pernah begini atau
begitu di sepuluh tahun yang lalu?"
Hidup ini memang penuh
misteri. Tanyakan pada dirimu, apa yang terjadi sepuluh tahun lalu?
Dapatkah kau kenang kembali? Ceritakan di sini. Siapa tahu berguna dan
menyentuh pembaca postingan ini. Tetapi kalau tidak tertarik ya tidak
masalah. Yang penting ini sudah dibaca sampai selesai dan semoga
kamu yang membaca ini termasuk di antara segala-gala yang saya
sebut di atas.
Saya pikir, mengenang sesuatu itu ada seninya.
Dan inilah cara saya mengenang. Seni mengenang bagi saya adalah dengan
menuliskannya.
Comments
Post a Comment