Saya tersedak waktu dengar seorang teman bilang kebanyakan membaca
buku membuatmu cepat tua dan stress dan pikun dan terserang penyakit
jantung dan (boleh jadi) mati muda.
Saya benar-benar ingin
tertawa karena tidak tahu dapat ilham dari mana dia mengatakan hal itu.
Tapi, saya menghargai ucapannya. Tidak saya protes habis-habisan,
apalagi menertawakannya, karena toh dia tidak tahu saya suka membaca
buku. Saya tidak perlu membela diri, bahkan meski konon seribu lebih
manusia mengklasifikasikan saya ke
golongan makhluk lumayan ganteng. Ini semata karena dia bilang seorang
yang menggilai buku lebih banyak bakal menderita stress, dan salah satu
faktor hilangnya aura ganteng dari wajah seorang lelaki adalah stress.
Saya tersenyum dan mengambil handphone, lalu tanpa banyak omong membuka
Facebook dan menunjukkan daftar pertemanan saya kepadanya. Sebagian
teman di sana (yang tidak bisa dibilang sedikit) ada akun wanita-wanita
modis yang tentu saja cantik serta cerdas. Saya katakan bahwa sejauh
yang saya tahu, pemilik akun-akun yang luar biasa ini adalah golongan
penikmat buku yang sebagiannya sekaligus penulis.
Teman saya tidak percaya, lalu saya tunjukkan beberapa foto kegiatan literasi mereka. Sekalipun tidak semua teman Facebook ini saya kenal secara pribadi, berteman di Facebook dan membaca status-status atau postingan mereka tentang buku, membuat saya tahu bahwa mereka memang penikmat buku.
Teman saya melongo untuk beberapa lama dengan berbagai bukti yang saya sajikan dan mulai memandangi saya tanpa bersuara. Dia bilang, "Aku benar-benar nggak ngerti."
Saya tertawa dan bertanya apa yang membuatnya tidak mengerti. Lalu dia mengaku sering mengantuk dan kesal hanya karena membaca setengah halaman buku, bahkan meski itu berisi fabel serupa milik Rudyard Kipling yang harusnya ringan. Dia heran melihat betapa orang yang membaca banyak buku ternyata tidak selalu menderita. Buktinya wajah teman-teman perempuan saya tadi segar dan cerah.
Saya berhenti tertawa melihat wajah murungnya. Dia mendadak sedih dan menyesal setelah tahu ada begitu banyak cewek modis di luar sana yang makanan sehari-harinya ternyata adalah buku-buku dan tidak melulu salon kecantikan.
Saya ingat pendapat Soe Hok Gie, yang kira-kira intinya begini: betapa segala sesuatu itu harus dimulai dari selera. Kalau tidak selera, mau belajar soal apa pun, dipaksa bagaimanapun, juga tidak bakal masuk.
Kesukaan atau kepenatan di tengah proses membaca semua tergantung selera.
Sekarang teman saya mengerti betapa pendapatnya adalah keliru. Dia memukul rata semua orang seperti dirinya, padahal tiap orang punya ciri khas.
Di akhir pertemuan, dia mengaku menyesal karena ternyata banyak juga perempuan memesona di luar sana karena kecintaan mereka terhadap buku. Mulai hari itu, dia bertekad, untuk setidaknya membaca beberapa halaman buku per hari.
Saya tertawa. Saya tahu kamu jomblo, kata saya. Dia nyengir dan pamit dengan lagak malu-malu kucing.
Ah, kayak lu nggak jomblo aja, Bro, balasnya.
Teman saya tidak percaya, lalu saya tunjukkan beberapa foto kegiatan literasi mereka. Sekalipun tidak semua teman Facebook ini saya kenal secara pribadi, berteman di Facebook dan membaca status-status atau postingan mereka tentang buku, membuat saya tahu bahwa mereka memang penikmat buku.
Teman saya melongo untuk beberapa lama dengan berbagai bukti yang saya sajikan dan mulai memandangi saya tanpa bersuara. Dia bilang, "Aku benar-benar nggak ngerti."
Saya tertawa dan bertanya apa yang membuatnya tidak mengerti. Lalu dia mengaku sering mengantuk dan kesal hanya karena membaca setengah halaman buku, bahkan meski itu berisi fabel serupa milik Rudyard Kipling yang harusnya ringan. Dia heran melihat betapa orang yang membaca banyak buku ternyata tidak selalu menderita. Buktinya wajah teman-teman perempuan saya tadi segar dan cerah.
Saya berhenti tertawa melihat wajah murungnya. Dia mendadak sedih dan menyesal setelah tahu ada begitu banyak cewek modis di luar sana yang makanan sehari-harinya ternyata adalah buku-buku dan tidak melulu salon kecantikan.
Saya ingat pendapat Soe Hok Gie, yang kira-kira intinya begini: betapa segala sesuatu itu harus dimulai dari selera. Kalau tidak selera, mau belajar soal apa pun, dipaksa bagaimanapun, juga tidak bakal masuk.
Kesukaan atau kepenatan di tengah proses membaca semua tergantung selera.
Sekarang teman saya mengerti betapa pendapatnya adalah keliru. Dia memukul rata semua orang seperti dirinya, padahal tiap orang punya ciri khas.
Di akhir pertemuan, dia mengaku menyesal karena ternyata banyak juga perempuan memesona di luar sana karena kecintaan mereka terhadap buku. Mulai hari itu, dia bertekad, untuk setidaknya membaca beberapa halaman buku per hari.
Saya tertawa. Saya tahu kamu jomblo, kata saya. Dia nyengir dan pamit dengan lagak malu-malu kucing.
Ah, kayak lu nggak jomblo aja, Bro, balasnya.
Comments
Post a Comment