![]() |
Ilustrasi cerpen "Di Rumah Menik" - Malang Post, 7 Agustus 2016 |
(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 7 Agustus 2016)
Menik tidak mau membagi bagaimana derita itu ia kumpulkan di botol-botol bir, atau stoples bekas kue kering, hingga kubayangkan, di saat tertentu, ia menenggak atau mengunyah dan merasa nikmat. Ia bilang, "Tugasmu di sini bahagia."
Aku tidak tahu asal-usul Menik. Mungkin ia lahir dari rahim pelacur, karena kata Bapak, buah jatuh tidak bakal jauh dari pohonnya. Pernah kubantah pendapat ini, karena mungkin saja sebuah pohon tumbuh di tepi tebing sehingga ia tidak tegak lurus kepada bumi, melainkan doyong, dan buahnya pun jatuh tidak dekat dengan asalnya.
"Belajar di mana kau?" kata Bapak ketika itu.
Aku dihajar karena membantah atau memaksa pikiran lain masuk otakku. Padahal, siapa tidak tahu Bapak, yang selalu memaksakan kehendak? Aku memang keras kepala dan suka melawan. Bapak hadir seperti setan di cerita dongeng, yang punya daya dan tenaga gaib yang tidak bisa kita tentang. Aku tak melawan bila hukuman harus menimpa. Aku diam, meski sesudahnya kesakitan.
Seandainya aku punya Ibu, tapi dulu, sembilan belas tahun lalu, setelah aku lahir, Ibu pergi dijemput malaikat. Aku tak tahu bagaimana ibuku sejahat itu, meninggalkan anaknya yang malang bersama setan. Setan yang membesarkanku dengan kekerasan dan kekasaran. Dan aku menciut dari hari ke hari.
Kubayangkan, kalau hidupku sama seperti anak-anak SD yang lewat depan rumah; mereka bahagia pergi ke sekolah diantar jemput ibunya. Aku juga ingin begitu. Okelah, Ibu dijemput malaikat dan dibawa ke neraka (begitulah kata Bapak), tetapi paling tidak biarlah aku sekolah. Bapak tidak mengizinkanku karena aku berbeda.
"Kamu goblok. Di otakmu ini, kamu tahu, tidak ada apa-apa kecuali tahi kerbau!"
Dan Bapak menyuruhku hidup di rumah setiap hari, mungkin sampai kiamat, dan mengerjakan setiap tugas yang membuatku bosan dan mimpi buruk. Dapur penuh piring kotor, ruang tamu digerumbuli sampah rokok dan bir, sedang kamar-kamar penuh jejak persetubuhan Bapak dengan entah wanita mana saja.
***
Menik menemukanku suatu malam di bawah jembatan. Waktu itu aku habis dihajar Bapak karena tidak sengaja bikin kesalahan: melubangi pintu kamarnya. Maklum saja, aku tak pernah tahu bagaimana Bapak memperlakukan teman-teman wanitanya di sana. Aku muak, tetapi aku penasaran.
"Tapi dia tahu. Dia tahu dan ke dapur," kataku menangis.
Aku tidak pernah melihat Menik sebelumnya, tapi kukira ia orang baik. Kubilang, mungkin Bapak mau mengambil pisau dan menusuk lalu menyembelihku. Dan aku mati hingga tidak bisa ketemu Ibu. Jadi, aku kabur dan kurasa cukuplah deritaku di rumah itu.
Menik, dalam rupa perempuan seksi, mengusapiku di bawah terpaan hujan, yang terus menangis berbantalkan dada kenyal, serta tentu: berselimut rambut hitam panjang beraroma surgawi.
"Di rumah tidak ada surga," kataku. "Kamu dari surga, ya?"
"Oh, tidak."
"Neraka?" Mulutku lancang, padahal mana mungkin makhluk seharum dia datang dari neraka.
"Mungkin. Kita pergi, ya."
Menik membawaku pulang malam itu; di jalan orang-orang bersorak entah kenapa. Aku bilang, aku tidak ingin mau ke rumah, ke tempat Bapak, karena di sana aku selalu menderita. Dan, ini yang paling penting: aku harus ketemu Ibu.
Menik mengangguk dan bilang kami bukan ke rumahku. Ia tidak tahu di sebelah mana rumahku. Lalu kuceritakan soal ibuku yang dulu jadi pelacur dan dijemput paksa malaikat karena punya utang. Sejak itu, Bapak jadi galak karena sumber kekayaannya berakhir. Aku heran kenapa Ibu pergi. Padahal, aku tidak tahu bagaimana Ibu. Aku ingin suatu saat ketemu dia.
"Kamu tidak bisa ketemu orang yang sudah mati," katanya.
"Siapa yang mati?"
"Ibumu."
"Enggak. Ibu enggak mati. Cuma dijemput malaikat."
"Oh, gitu," Menik diam beberapa saat, lalu menyambung, "Bapakmu gila, ya?"
"Iya."
"Nah, itu rumahku."
Kami mengeringkan badan di teras. Menik melepas jaket dan topi dan sepatuku. Aku ingin melepas bajunya, tapi dia menolak. Aku ambil handuk dulu, katanya pendek. Ia masuk dan keluar membawa handuk. Aku dipersilakan masuk setelah ia keringkan wajah dan badanku.
Aku juga mau menghandukimu, kataku, tetapi Menik menolak lagi. Di kepalaku, ketika itu, ia bukanlah pelacur, melainkan bidadari yang turun dari langit oleh titah Tuhan demi menyudahi kesemena-menaan Bapak. Di kepalaku ketika itu, ia bukan pelahap derita.
Di dalam dingin. Kipas angin menoleh kanan-kiri dan mengembus tubuhku yang masih bercelana panjang basah sehingga aku mau kencing. Di sinilah ia menyebut namanya. Aku juga menyebut nama, karena tidak pantas kita mendapat nama orang, sedang kita sendiri tidak membiarkan orang itu tahu nama kita.
Menik ingin ke belakang. Mau mandi, karena ia bisa sakit bila tidak mandi setelah kehujanan. Aku meminta handuk tadi, karena ruangan ini amat sangat dingin. Ia tidak memberiku handuk, tapi menyuruhku tidur di kamar. "Lepas celanamu, ya," kata Menik sebelum ia ke kamar mandi.
Di ruang tengah ada banyak lemari—kalau tidak salah ada tujuh—yang semuanya berisi botol dan stoples. Aku tidak tahu isi benda-benda yang terbuat dari kaca itu; aku hanya melihat sesuatu di dalamnya, hitam dan bergerak-gerak seperti kumpulan belut, saling berjalin, berkelindan, berlendir. Semacam itu. Aku mau muntah.
"Itu derita. Kumpulan derita dari masa lalu," kata Menik yang tiba-tiba sudah ada di sisiku. Ia berbalut handuk dan aku kaget.
"Kumpulan derita?"
"Iya. Kamu nggak pipis? Katanya dingin?"
Menik menunjukkan arah kamar mandi dan aku pun kencing. Selesai kencing, aku diajak ke kamar. Di sana, kami tidur dan aku merasa tubuhku lemas sekali, terlebih usai Menik meminta izin menenggak sesuatu dari dalam tubuhku. Itu derita, katanya. Dan ia sangat suka minum derita. Aku heran bagaimana sesuatu bisa dinamai derita? Sesuatu yang bernama derita itu tidak bersifat fisik, tapi di rumah Menik, sungguh berbeda. Aku tidak pernah tahu jawabannya karena dia tidak ingin menjelaskan.
***
Kedatanganku ke rumah Menik diketahui Bapak. Aku dimarahi dan kena hukuman seperti biasa. Tubuhku lebam-lebam lagi. Bodoh sekali, tahu begini aku tidak balik. Mungkin karena terlalu senang ketemu Menik yang harum seperti surga, meski bukan berasal dari sana, sehingga aku lupa seharusnya aku kabur.
Seminggu setelah tidur di rumah Menik, aku kabur membawa baju seadanya. Tapi aku tersesat; mungkin karena lupa. Selama tujuh hari berturut-turut Bapak menyisaku dengan berbagai cara. Ia tidak tahu siapa Menik dan di mana perempuan itu tinggal, tetapi kubilang Menik mengisap dan menenggak sesuatu dari tubuhku. Dan aku suka itu.
"Anak setan, kamu!" kata Bapak dan kembali menghajarku.
Di hari ketujuh, kepalaku berasa tidak ada isinya. Darah banyak keluar, tapi aku harus pergi. Mungkin karena ini, aku jadi sedikit pikun dan sulit menemukan di mana rumah Menik. Posisinya kalau tidak salah dari kolong jembatan ke barat. Sore-sore, waktu Bapak lengah, aku panjat pagar dengan bekal seransel baju. Berharap temukan rumah Menik. Tapi semakin ke barat, rumah itu tidak juga kutemukan.
Aku tidak kepikiran tanya ke orang-orang di jalan, karena takut mereka laporan Bapak dan aku malah disiksa lebih ganas dari sebelumnya. Kuputuskan, deritaku harus benar-benar berhenti sampai di sini. Kuputuskan, aku hidup dengan Menik dan biarlah dia tenggak derita dari tubuhku sampai tuntas. Bukankah setiap isapan derita, yang lalu ia tenggak serupa menelan kuning telur itu, membuatku nyaman dan tenang?
Di tempat jauh—padahal di malam hujan itu, aku dan Menik tidak sampai sejauh ini—aku berhenti dan melihat rumah itu. Ya, rumah Menik. Aku tak peduli pikiran aneh bahwa rumahnya seharusnya tidak kelewat jauh, atau bahwa rumahnya menghadap selatan, bukan utara, tetapi kepalaku pusing dan aku berbeda; itulah yang Bapak katakan. Aku berbeda karena lahir dari hubungan antara saudara serahim.
Di teras, Menik berdiri dengan handuk membebat setengah tubuh. Ia cantik dan seksi dan aku ingin ia habiskan seluruh derita di tubuhku, untuk akhirnya dikumpulkan di botol atau stoples di lemari. Dan benar, Menik mengajakku tidur lagi. Saat tubuhku lemas, ia bercerita soal suaminya yang gila dan anak yang entah bagaimana nasibnya. Ia terpaksa pergi karena banyak utang.
"Kamu kabur?" tanyaku.
"Tidak. Aku dijemput kok."
"Sama malaikat?"
"Iya."
"Sama dong. Ibuku juga. Dijemput malaikat dan sekarang tidak tahu di mana."
"Mungkin ibumu mati."
"Mungkin."
Menik mengelus-elus rambutku. Dia bilang, jangan sedih karena ada dia, walaupun dia pelacur dan bukan berasal dari surga. Aku lagi-lagi heran, banyak sekali kesamaan antara ibuku dan Menik. Tapi aku tidak bertanya sebab terlalu senang dan bahagia oleh aroma surgawi dari rambutnya yang tergerai.
Menik, Menik, aku jatuh cinta padamu.
Ia mengecupku dan bilang, aku juga. [ ]
Gempol, 26 Juli 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media cetak lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment