Skip to main content

Kau Hantu... Tahu Apa Soal Asmara?

Pada suatu malam seorang lelaki berbaring lesu di dekat meja kerjanya. Di sana terdapat sebuah kasur lipat. Dengan laptop yang belum tertutup, lelaki itu berbaring begitu saja dan meninggalkan pekerjaannya. Seekor hantu datang dan menggoda, tapi si lelaki tidak peduli.

Seharusnya kamu takut, kata si hantu. Tapi si lelaki itu seakan tidak sadar kalau yang mengajak ngobrol dirinya adalah hantu.

Sebaiknya Anda pergi, kata si lelaki tiba-tiba, sebab dada saya sakit dan Anda justru menambah kesakitannya dengan banyak omong.

Hantu bertampang sangar itu pun memperhatikan si lelaki. Tidak ada yang tidak beres di tubuhnya, begitu ia pikir. Ia amati dada si lelaki; terlihat normal dan tak ada darah atau apa pun yang sekiranya membuat bagian itu sakit. Wajah si lelaki juga tampak segar, bukan berwajah kuyu ala penderita penyakit organ dalam.
Hantu itu bertanya apa yang dirasakan si lelaki, barangkali ia bisa bantu, sebab ia hantu yang bisa menembus ke sana kemari, termasuk sekadar menembus tulang dada si lelaki.

Lelaki itu bilang, "Ada pisau di dada saya. Pisau ini tertinggal di sana dan menimbulkan sakit luar biasa."

Hantu itu tak percaya, tapi si lelaki menyambung, "Sekarang dada saya bolong, dan dengarlah ini." Ia berdiri dan membuat gerakan senam yang menggoyangkan bagian dada. Baik si hantu maupun lelaki tersebut, keduanya sama-sama mendengar ada benda dalam rongga dada itu yang berisik akibat tubuh si lelaki bergoyang.

Si hantu berpikir, tubuhnya benar-benar seperti kaleng kerupuk. Maka ia pun minta izin membantu mengambil pisau yang tertinggal itu, juga bertanya siapa yang dengan tega membiarkan pisau itu tertinggal di sana.

Si lelaki diam setelah mengangkat tangan. Dia melarang hantu itu turut campur. Dia bilang seorang wanita yang meninggalkan pisau itu di sana, dan mungkin hanya dia yang bisa mengambilnya.

Hantu itu tak mengerti.

"Begini, Hantu. Anda tidak tahu kondisinya. Yang bisa mengambil pisau ini hanya wanita itu. Saya sudah memintanya mengambil pisau tersebut dan pergi sejauh mungkin. Tapi dia tidak juga mengambilnya. Saya bahkan sudah berusaha mengambil pisau ini dengan tangan sendiri, serta bantuan beberapa orang teman, namun gagal. Pisau ini hanya bisa diambil seseorang yang membuatnya tertinggal di dada saya."

Hantu itu pun tanpa izin segera menjejalkan tangannya yang seperti kabut ke rongga dada si lelaki. Ia mengaduk-aduk isi dada si lelaki, tetapi gagal mengambil pisaunya.

"Tidak ada pisau! Kau pembual!" pekik si hantu kesal.

"Anda hantu tahu apa soal asmara?"

Mendengar itu, si hantu terbang menjauh dengan perasaan sebal. Pasalnya, baru kali ini ia pergi menggoda manusia, tetapi yang digoda malah menertawakannya. Tentu saja, suara tawa si lelaki sama sekali tidak membuat pisau itu keluar.

Sampai hari ini, pisau si wanita masih bersemayam di dadanya. Tidak ada yang bisa mengambil, bahkan hantu paling sakti sekalipun.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.