Papa saya bertanya, setelah membaca cerpen saya di Republika kemarin, "Pak Kodir itu apa sosok dari dunia nyata?"
Saya jawab tidak, kalau yang dimaksud individu tertentu. Tetapi saya
yakin di luar sana ada banyak sosok seperti Pak Kodir. Lalu obrolan
berlanjut ke soal cerita dan dunia literasi yang saya tekuni.
Di
keluarga kami, papa sayalah yang biasa mengapresiasi tulisan saya,
sependek apa pun komentarnya, sesingkat apa pun ulasannya. Di rumah
memang tidak banyak yang suka membaca karya fiksi. Bahkan saya pikir, saya dan Papalah yang paling banyak membaca di keluarga ini.
Mendengar kabar cerpen saya dimuat di Republika, sebagaimana beberapa
bulan silam, karena saya gagal menemukan koran tersebut di sekitar
rumah, beliau mencarikannya untuk saya di sekitar kantornya di Malang.
Saya sendiri juga sempat bermotor ke kecamatan sebelah, hanya saja terlambat dan korannya sudah habis. Tubuh saya mendadak meriang, padahal baru pulih beberapa hari sebelumnya. Sesampai rumah, saya sudah melupakan soal koran. Ternyata di Malang masih ada koran tersebut sekalipun agak telat.
Pagi tadi koran itu saya pegang dan, seperti biasa, saya simpan di bawah tempat tidur bersama halaman koran-koran lain yang memuat tulisan saya. Melihat tumpukan itu, saya menghela napas. Kapan sempat mengkliping mereka?
Saya berangkat, melanjutkan pekerjaan sebagai agen rahasia 009, dan mulai berpikir tentang Pak Kodir, dompet di pinggir jalan, sajadah, dan bulan April yang rasanya ajaib.
Memang ajaib. Bukan hanya soal apa yang terlihat dan dapat orang lain saksikan, tetapi hal-hal tak terlihat yang saya pikir harus dijaga, sehingga kalimat ini terus terngiang di kepala: "Kejadian sekecil apa pun selalu punya arti." Begitulah hidup. Bahkan seekor semut pun bisa mati hanya karena setetes tinta.
Saya sendiri juga sempat bermotor ke kecamatan sebelah, hanya saja terlambat dan korannya sudah habis. Tubuh saya mendadak meriang, padahal baru pulih beberapa hari sebelumnya. Sesampai rumah, saya sudah melupakan soal koran. Ternyata di Malang masih ada koran tersebut sekalipun agak telat.
Pagi tadi koran itu saya pegang dan, seperti biasa, saya simpan di bawah tempat tidur bersama halaman koran-koran lain yang memuat tulisan saya. Melihat tumpukan itu, saya menghela napas. Kapan sempat mengkliping mereka?
Saya berangkat, melanjutkan pekerjaan sebagai agen rahasia 009, dan mulai berpikir tentang Pak Kodir, dompet di pinggir jalan, sajadah, dan bulan April yang rasanya ajaib.
Memang ajaib. Bukan hanya soal apa yang terlihat dan dapat orang lain saksikan, tetapi hal-hal tak terlihat yang saya pikir harus dijaga, sehingga kalimat ini terus terngiang di kepala: "Kejadian sekecil apa pun selalu punya arti." Begitulah hidup. Bahkan seekor semut pun bisa mati hanya karena setetes tinta.
Comments
Post a Comment