Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan
lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin,
jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun
tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan,
lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif.
Maksud
'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop,
misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan
berinteraksi dengan manusia lain?
Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu,
piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?
Inilah gunanya management waktu. Sesekali bolehlah libur menulis 1-2
hari agar tak jenuh. Pergi ke tempat menyenangkan. Bertemu dengan
sahabat lama. Banyak hal bisa dilakukan saat 'libur' ini. Saya sendiri
sering kali memakai waktu libur untuk bermotor ke luar kota. Sekadar
melihat kejadian-kejadian di jalan membuat kepala dan jiwa segar lagi.
Atau pergi bersama teman entah ke mana. Mungkin ke mal dan menghitung
jumlah bocah dengan baju biru yang kita temui. Bisa juga ke toko buku
dan membaca isi rak-rak yang selama ini jarang kita datangi. Atau duduk
manis mendengarkan musik. Main gitar juga tidak kalah asyik. Saya malah
membayangkan punya band lagi seperti dulu dan ngejam seharian saat
libur.
Jadi, tidak benar jika kita berpikir penulis itu kehidupannya hanya berkutat dengan buku dan kata dan laptop saja. Penulis bukan mesin, seproduktif apa pun dia. Bahkan pabrik cerpen di kepala itu saja dibangun oleh daya pikir, bukan semen dan baja. Lagi pula, penulis tidak bisa disebut berhasil jika ia hanya bermain diksi, tanpa memahami rasa yang ingin ia sajikan. Persoalan rasa, tentu saja hanya bisa kita kuasai dengan rutin berinteraksi di kehidupan sebagai manusia normal. Semakin kuat ia meresap saripati kehidupan, semakin tajam kalimat-kalimatnya, sekalipun yang ditulis sekadar fiksi.
Jadi, tidak benar jika kita berpikir penulis itu kehidupannya hanya berkutat dengan buku dan kata dan laptop saja. Penulis bukan mesin, seproduktif apa pun dia. Bahkan pabrik cerpen di kepala itu saja dibangun oleh daya pikir, bukan semen dan baja. Lagi pula, penulis tidak bisa disebut berhasil jika ia hanya bermain diksi, tanpa memahami rasa yang ingin ia sajikan. Persoalan rasa, tentu saja hanya bisa kita kuasai dengan rutin berinteraksi di kehidupan sebagai manusia normal. Semakin kuat ia meresap saripati kehidupan, semakin tajam kalimat-kalimatnya, sekalipun yang ditulis sekadar fiksi.
Kita memang harus dapat memanfaatkan waktu sebaik baiknya
ReplyDelete