Skip to main content

Masa Kecilku: Dari Bocah Nakal Hingga Anak Band

Saat SD, saya suka membuat gara-gara entah dengan siapa, hanya demi membuat orang itu jengkel. Asal umurnya tidak beda jauh dengan saya, boleh juga saya ganggu. Karena ini pula saya sering kena masalah, misal pertengkaran fisik dan bahkan kata-kata; dulu kami memakai nama orangtua lawan untuk menyerang, meski kedengarannya aneh. Jadi, anggap saja orangtua si A bernama Maman, maka musuhnya memanggil, "Man! Man!" 

Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah saya sering terlibat masalah serupa. Bedanya, di rumah kami tak pernah memakai pertengkaran jenis kedua. Jadi, saya harus benar-benar tangguh untuk menang, sebab tubuh saya kecil dan pendek waktu itu.

Di sekolah, hampir tidak ada guru yang menganggap saya nakal, karena pertengkaran-pertengkaran tadi tidak sampai menjadi besar. Maklum, anak kecil masih suka polos dan tidak pernah berlarut dalam dendam. Namun di rumah, beberapa orangtua lawan menyebut saya anak nakal. Tentu saja, anak-anak mereka yang kalah pasti pulang menangis, sedangkan saya tertawa dan diam-diam menyelinap pulang. Almarhum kakek saya yang lain, yang tinggal di Surabaya dan waktu itu menginap di rumah kami, berkata pada mama saya, "Anakmu nakal. Anak tetangga dibuat nangis!"

Masa SMP saya lebih mudah diatur, sebab masa ini saya mulai jatuh cinta. Cinta monyet yang konyol dan tak pernah jadi nyata. Lagi pula, saat itu saya mulai mengenal gitar dan mencoba menekuninya agar suatu hari nanti bisa mempunyai band sekeren Peterpan. Waktu itu, di mana-mana, hampir semua anak seumuran suka Peterpan. Tidak suka = tidak gaul. Tapi bukan karena takut disebut tidak gaul, lalu saya suka band ini; saya suka karena memang suka sejak hits pertama mereka, "Mimpi yang Sempurna".

Bermain gitar dan aktivitas di tempat persewaan Playstation 1 & 2, membuat saya lebih tidak nakal dan teratur, sekalipun masih suka berdebat dengan mereka yang senang membuat gara-gara. Dalam perdebatan, saya selalu menang. Isinya seputar film yang kami tonton, lagu-lagu yang kami sukai, game yang kami mainkan, atau segala topik, kecuali Liga Inggris. Waktu seorang teman bertanya klub Inggris apa kesukaan saya, saya jawab asal, "Chelsea!" Dia dan hampir semua orang tertawa. Saya tidak tahu pada tahun 2004 ketika itu, klub Chelsea ini seperti apa. Tapi sejak itu saya malas bicara sepakbola, kecuali yang bertanding adalah timnas.

Perubahan semenjak jadi anak SMP ini ada juga yang tidak menyenangkan. Dulu saat SD saya suka main badminton dan sering kali menang, walau lawan dua orang. Di dusun saya, hampir semua anak tahu itu. Di sekolah, tidak ada yang tahu karena tidak ada lapangan badminton di sana. Jadi, ketika ada turnamen bulutangkis antar sekolah dan saya tidak "dilirik" oleh guru olahraga, saya hanya menangis dalam hati. Mau bilang saya bisa, tapi sungkan.

Saat SMP saya lebih serius belajar, namun beberapa kali menemui teman yang mujur. Maksudnya, mereka tidak jujur saat ulangan atau mengerjakan PR, tapi nilai selalu tinggi. Suatu kali, saya kerjai salah satu anak mujur itu. Dia mengoceh tak keruan karena tidak berani membalas. Tubuhnya lebih kecil dari tubuh saya. Hahaha.

Ketika saya sadari tubuh saya mulai jangkung, yakni menjelang SMA, pertengkaran dengan teman mana pun nyaris tidak ada. Sejak SMA inilah, untuk pertama kalinya setelah belasan tahun hidup sebagai anak nakal, hampir tidak pernah saya terlibat perselisihan dengan orang-orang seusia. Ya, saya tidak lagi nakal. Saat MOS, bahkan kakak kelas yang memandu kami mengajukan saya sebagai "kepala suku", istilah yang mereka sebut untuk memimpin sebuah kelas selama masa orientasi.

Saya tidak tahu kenapa saat voting semua memilih saya. Hanya satu saja memilih calon lain, seorang perempuan cantik yang nantinya menjadi teman ledek-ledekan saya. Maka begitulah akhirnya saya menjadi kepala suku, sekaligus ketua kelas setelah masa orientasi berakhir.

Menjadi ketua kelas tidak enak, sekalipun kau tidak nakal. Sebab, "anak buah" nakal, kaulah yang kena. Hampir 80% guru paham kelas sayalah yang paling parah nakalnya. Suatu ketika seorang teman ngeband saya, drummer berbadan mungil, yang kadang agak sok, yang juga teman sekelas saya, bertengkar dengan siswa kelas sebelas yang besar dan sepertinya sudah biasa berkelahi. Pada akhirnya saya yang sial karena harus negosiasi perdamaian. Untunglah, berkat kebiasaan saya berdebat sejak kecil, saya bisa mendamaikan mereka meski dengan bermodal kata-kata, juga sedikit rasa takut. Saya tak tahu kalau sampai drummer saya tadi beneran ditinju, mau jadi apa dia? Mau dibawa ke mana band kami? Rekaman saja belum, sudah K.O. duluan! :D

Saya kira itulah saat-saat terakhir pertengkaran yang saya alami di masa sekolah. Sesudahnya tidak pernah sama sekali. Tubuh jangkung dan mulai disegani, membuat saya lebih fokus ke tujuan lain: mengejar cita-cita sebagai penulis. Jadi, jika saya saja mengalami hal sebanyak itu dan ada segunung ide dari sana, sungguh aneh ketika siapa pun itu bilang kekurangan ide. Semua orang sebenarnya dilimpahi ide. Dan setiap penulis pasti punya pengalaman menarik seperti saya sejak kecil. Dari penggalan-penggalan cerita di status inilah, kadang saya mendapat banyak ide, sekalipun yang paling konyol.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.