Flashdisk yang sampai sekarang saya gunakan, yang di dalamnya berisi
ribuan file tulisan sejak beberapa tahun lalu memulai menekuni dunia
menulis, dibeli di dekat pasar, persis di samping sebuah toko jamu.
Tempat itu menjual berbagai aksesori komputer dan membuka jasa fotokopi.
Saya ingat hari itu, pada suatu siang ketika membeli flashdisk ini,
berpikir betapa benda ini akan menjadi sejarah suatu hari nanti. Entah
sejarah macam apa; pokoknya ia bakal menjadi lebih dari sekadar benda
untuk menyimpan lagu-lagu dan koleksi video klip.
Flashdisk ini
mulai saya gunakan untuk "main-main", karena waktu itu belum serius
menggeluti dunia menulis, walau sudah membuat beberapa bab novel--yang
mandeg berkat ucapan pedas seorang teman. Flashdisk ini hampir tiap hari
selalu saya bawa dan ketika mampir ke warnet mencari lagu-lagu favorit,
ia selalu siap menampung. Entah berapa banyak file lagu dan video klip
band serta penyanyi kesukaan terkumpul. Suatu ketika tahu-tahu saya
mencari info lomba menulis dan menyimpan beberapa info dalam file doc ke
flashdisk tersebut.Demikianlah. Beberapa hari kemudian, untuk pertama
kali saya mengikuti lomba menulis.
Sejak lomba pertama ini, saya
ikut lomba-lomba lain dari mulai cerpen hingga puisi. Karena belum
pengalaman, lomba artikel yang harusnya saya menangkan tadi, batal saya
peroleh gelar juaranya, karena satu persyaratan penting tidak saya
ikuti: meng-add akun Facebook panitia. Bagaimanapun, ini tidak
menghentikan langkah saya.
Yang saya cari waktu itu bukan
kemenangan, tapi pembuktian. Saya ingin membuktikan ke seorang atasan
saya di kantor, yang waktu itu suka sekali meremehkan saya, bahwa hobi
menulis saya juga ada gunanya. Ingin saya tunjukkan buku-buku antologi
pemenang--jika saya lolos lomba-lomba ini--pada beliau.
Tapi seiring
waktu, dua atau tiga bulan kemudian, motivasi saya berubah. Saya tidak
ingin membuktikan apa-apa kepada siapa-siapa, kecuali ingin
membahagiakan orangtua dengan hadiah-hadiah kecil dari memenangkan
lomba, misalnya. Atau ada alasan lain yang saya kira cukup membuat saya
bersyukur, yakni bahwa bila saya tidak menulis, mungkin saya sudah gila.
Jadi, tidak ada motivasi bergenre balas dendam, seperti yang sempat
tumbuh di awal. Mengejar pembuktian, saya kira, bukan cara yang tepat
untuk memulai. Entah bagi orang lain. Bagi saya itu tidak cocok.
Untunglah dengan segera saya bisa mengubah motivasi.
Soal
kewarasan, mungkin terdengar agak bercanda. Tapi itulah kenyataannya.
Saya tidak yakin akan tetap waras, di tengah terpaan berbagai masalah
berat ketika itu, jika saya tidak menulis. Saya menulis mulanya sebagai
sarana mengalihkan pikiran negatif seputar masalah-masalah tadi ke luar
kepala; bila bisa, bahkan membuangnya selamanya. Lalu lama-lama saya
berubah ingin menyulap masalah-masalah itu menjadi bunga wangi yang bisa
saya sematkan ke hati pembaca. Dengan demikian, manfaat tulisan bukan
hanya saya saja yang merasakan.
Flashdisk ini menjadi saksi bisu
perjalanan awal menulis saya, yang sangat repot dan menguras keringat,
karena harus bolak-balik ke warnet berisik penuh bocah penggila game.
Dalam seminggu saya pernah tidak berhenti ke warnet sekadar menulis
cerpen-cerpen sederhana untuk lomba. Waktu itu saya belum punya laptop.
Ketika akhirnya laptop terbeli, saya lebih gila lagi dalam menulis
karena tidak ada kendala waktu. Warnet tutup jam sembilan malam,
sedangkan laptop tidak pernah tutup.
Jarak berapa bulan, ratusan
puisi dan puluhan cerpen saya hasilkan. Puisi-puisi itu terbit dalam
bentuk buku solo. Itu buku solo pertama, setelah sebelumnya dari
berbagai lomba, belasan antologi memuat karya saya. Begitulah saya
berproses.
Perjalanan panjang masa-masa itu hingga hari ini tidak
berlalu tanpa ledekan dan cibiran. Tapi saya tetap jalan. Niat saya
tata dan perbaiki terus menerus jika dirasa mulai terganggu. Niat itu
harus saya bulatkan bahwa boleh menulis dengan tujuan mencari uang,
tetapi jangan sampai nol kualitas, apalagi dengan cari-cari masalah,
misal memplagiat karya orang hanya karena tidak sabar berproses.
Setahun menulis, saya mencari kesibukan lain yang tidak jauh dari dunia
ini, yakni menjadi editor naskah. Seorang kenalan sekaligus guru yang
memotivasi saya di awal terjun, memberi jalan ini. Penerbitan indie
miliknya membuka wawasan baru bagi saya sebagai editor freelance, yang
sesekali kembali membuka berbagai referensi agar pekerjaan editing
selesai dengan memuaskan. Sampai hari ini, mungkin seratusan lebih
naskah fiksi dan non-fiksi yang saya turut berperan dalam proses
pracetaknya, termasuk di antaranya me-layout naskah juga. Dan, tentu
saja, flashdisk yang saya sebut di awal status ini tetap menemani.
Suatu kali saya sangat ingin karya saya menembus koran. Saya mulai
sedikit demi sedikit. Gagal. Saya coba lagi. Gagal lagi. Demikian banyak
kegagalan saya telan, sampai suatu hari dengan tertawa saya berpikir,
"Baiklah, tidak diterima tidak apa. Yang penting sudah usaha." Dan saya
tidak berhenti mencoba dan mencoba.
Di tengah proses ini banyak teman
bertanya bagaimana saya bisa meloloskan tulisan di sekian banyak lomba
sampai buku antologi menumpuk di kamar dalam waktu beberapa bulan saja.
Saya bilang, "Saya percaya suatu hari kehidupan saya akan berubah
menjadi lebih baik dengan menulis." Saya sungguh percaya itu, sekalipun
menulis tidak bisa sepenuhnya dijadikan profesi. Ketika tulisan saya
mulai tembus koran, saya merasa tidak ada alasan untuk berhenti.
Sampai hari ini, yang saya sendiri sering tersenyum kalau menyadarinya,
adalah tidak banyak orang sekitar tahu saya menulis. Bahkan para
tetangga pun hanya beberapa rumah yang tahu, karena mereka sering
melihat pak pos atau kurir JNE mengantar paket hadiah-hadiah lomba dan
sesekali buku pesanan. Dari sini mereka tahu saya menulis, sekalipun
tidak pernah membaca tulisan saya, dan tidak tahu betapa kegiatan ini
juga bisa menghasilkan uang. Mereka kira menulis tidak bisa menghasilkan
uang, hanya karena mereka tidak suka membaca dan berpikir membeli buku
bacaan adalah hal sia-sia.
Ada kerabat yang tidak tahu saya menulis dan
mengira saya ke warnet di masa awal dulu untuk main game online. Dengan
sinis ia mengatakan itu, dan Nenek saya yang tahu, segera saja menepis
dengan kalimat pamungkas, "Anak ini nulis dan bukunya sudah dikirim ke
mana-mana!" Maksud Nenek adalah: beberapa buku solo saya ketika itu
dipesan banyak teman dan beliau tahu semua buku itu saya yang mengarang.
Jadi, bagaimana saya bisa segila saat ini menulis, alasan utama adalah
orangtua dan keyakinan bahwa suatu hari hidup akan membaik jika saya
terus menulis. Menulis membuat saya gila dalam tanda petik, bukan gila
sebenar-benar gila. Tanyakan saja pada mereka yang lebih senior; apa
benar menulis bisa menghindarkan kita dari kegilaan negatif? Jawabannya
pasti 'ya'.
Lagi pula, dengan menulis, saya dipertemukan orang-orang
hebat dan punya lebih banyak teman. Ledekan dan cibiran tetap jalan,
tapi kebahagiaan yang saya dapat jelas lebih besar dari hal-hal negatif
itu. Saya menikmatinya. Flashdisk ini juga menikmatinya. Ia sejarah bagi
saya, sekalipun terdengar lebay. Bukankah sejarah bisa terjadi dari
hal-hal sederhana?
Comments
Post a Comment