![]() |
Lukisan "The Crying Boy" karya Bruno Amadio |
(Dimuat di Koran Pantura, Selasa, 29 Maret 2016)
Setiap hari aku bergumul dengan asap. Hanya pagi tidak ada asap, namun kudapati bunyi dengkur dan aroma busuk dari ruang sebelah. Barang-barang berserakan. Rokok, sepatu, tas wanita, tumpahan bir (yang kutahu rasanya, karena pernah mencicipi), dan entah apa.
Di sekolah, cuma aku murid kelas empat yang tidak tahu siapa bapak kandungnya. Jika ditanya siapa bapak kalian, teman-teman menjawab dengan berbagai kalimat yang menunjukkan profesi, atau sekurang-kurangnya alamat sebuah "kuburan", bila memang yang ditanyakan itu sudah mati.
Aku tidak pernah bisa menjawab karena aku tidak tahu. Itu satu dari sekian banyak pertanyaanku. Siapa bapakku? Tapi satu itu tidak cukup membuatku pusing. Aku masih bisa santai karena tentu saja teman-teman ada yang tidak punya bapak. Rata-rata karena sudah meninggal, kata mereka.
"Berarti bapakmu sudah meninggal, Jo."
Teman-teman menyimpulkan sendiri bahwa bapakku sudah meninggal. Tapi entah di mana kuburannya. Bukankah setiap kematian selalu ada kuburan? Dan bukankah aku tidak tahu di mana letak kuburan bapakku? Itu pertanyaan kedua. Kalau memang Bapak sudah mati, di manakah kuburannya?
Tapi aku diam.
Asap menghiasi hariku. Dari siang hingga malam. Barangkali karena itu, aku tidak fokus dan terus jatuh ke dalam khayal tentang seorang bapak yang menyenangkan, meski tanpa ujung yang jelas.
Asap bergumul di kepalaku, masuk hidung, mulut, telinga. Hidungku kembang kempis, mulut mengerut, dan daun telinga bergoyang akibat desing lembut yang nyaris tidak terdengar dari kelebatan asap yang menari.
Sambil kuamati asap yang semakin hari semakin pekat itu, wanita berdada besar duduk nangkring di kursi, dengan meja yang di atasnya ada sepiring nasi dan beberapa camilan. Wanita itu cukup kukenal, karena setiap hari kutemui. Bau badannya melekat di hidungku seperti sebuah takdir.
Dia menyuruhku ini-itu; mencuci baju, makan siang, mandi, belajar dan lain-lain. Dan setiap kutatap matanya, keberanianku mundur teratur. Wanita itu punya daya tolak yang begitu besar akan seribu pertanyaan sekalipun.
Siang hari kudengar orang-orang di sekitar rumah mengobrol soal banyak hal, yang dapat dengan mudah kudengar juga, karena tempat itu sungguh penuh dengan manusia. Ya, benar-benar penuh. Kalau saja di antara mereka ada yang mengetahui siapa dan bagaimana kondisi bapakku saat ini, alangkah senangnya. Tapi mereka sama tidak tahunya denganku. Dan kalau ditanya lebih suka bercanda daripada serius.
Misalnya ketika mereka bermain biliar, lalu aku datang dan sekonyong-konyong bertanya ke satu dari mereka: "Siapa bapakku?" Yang kudapat malah tawa serempak seisi tempat biliar.
Biasanya mereka akan bilang, "Belikan rokok. Kembaliannya ambil." Atau begini: "Anggap saja kami bapakmu."
Asap itu juga kudapat di tempat ini. Wajah-wajah baik mereka aneh, yang jika diingat, lalu dipikir-pikir, kok seperti ledekan? Apa benar mereka meledekku? Apa benar mereka tidak tahu?
Aku tidak tahu pasti—kalau yang kupikir ini ledekan—itu ditujukan kepada siapa? Tapi mungkin karena terbiasa dibegitukan, hal aneh lama-lama kuanggap biasa. Kadang di tempat lain, yang juga penuh dengan manusia, yang tentunya dekat dengan rumah, aku menjumpai hal-hal yang dianggap aneh oleh teman-teman, meski bagiku itu sama sekali wajar.
"Kamu dapat dari mana?"
"Dari tetanggaku."
"Benda apa itu?"
"Pakai saja," kataku menyerahkan sebuah benda yang kudapat dari tetangga.
Lalu menambahkan padanya bahwa setiap pelajaran matematika, bukankah kami takut untuk izin keluar kelas—misalnya ke WC guna kencing—karena gurunya galak? Nanti dikira menghindar dan justru akan dihukum mengerjakan soal di depan kelas. Itu berat. Kami tidak sanggup. Maka benda ini mungkin berguna.
"Biar tidak pipis?" tanya temanku.
"Iya."
Lalu temanku memakai benda itu. Kami dan beberapa teman lain yang menonton tertawa, karena ternyata benda itu terlalu longgar sehingga alat kencing temanku tidak muat. Punyanya terlalu kecil.
"Benar ini untuk menahan kencing? Kalau bocor gimana?" tanyanya lagi.
Setelah kupikir-pikir benar juga. Kalau bocor? Bukankah benda itu amat longgar?
Jika fungsinya untuk menahan kencing, justru harus lebih sempit dari alat kencing itu sendiri. Tanpa kami ketahui, ada teman yang tidak menyukaiku diam-diam melapor ke bapak kepala sekolah bahwa aku membawa benda aneh. Orang itu memanggilku ke ruangannya dan memarahiku habis-habisan.
"Kecil-kecil sudah bawa begituan! Mau jadi apa?" katanya sambil memandangku dengan kesan jijik.
Sesudah kejadian ini teman-teman jarang ada yang bergaul denganku. Orangtua melarang, kata mereka. Mereka cuma berani memandangku dari kejauhan seolah aku orang yang aneh dan di tubuhku seperti ada kuman penyakit mematikan yang mesti dijauhi.
Aku tidak mengerti. Niatku cuma membantu teman yang sulit menahan kencing di kelas. Sesuai penjelasan tetanggaku, itulah yang kukatakan soal benda itu. Apanya yang aneh?
Kalau aku aneh, apa yang dimaksud keanehan itu adalah aku lahir dan tumbuh tanpa tahu siapa dan bagaimana bapak kandungku, sehingga benda yang terbuat dari karet itu, yang tidak ada kaitan dengan semua ini, dijadikan alibi demi menyalahkanku? Mereka iba, apa karena itu? Benar-benar tidak adil.
Kalau ada fakta bahwa seseorang tidak tahu di mana bapaknya adalah keanehan yang patut dibenci, kenapa harus aku? Inilah pertanyaan ketigaku; kenapa aku lahir di dunia aneh?
Asap menemaniku sepanjang sisa hari, dari siang hingga malam. Siang hari waktu bagi orang-orang mengembuskan asapnya ke mukaku. Mereka meledek tapi tak tega, kelihatan baik namun entahlah.
Wajah-wajah yang bersedia kupanggil bapak itu tidak bisa kubaca sepenuhnya. Kalau saja aku menerima, segala urusan akan beres; aku punya bapak banyak dan tidak ada satu siswa pun di sekolah yang menandingiku. Dan aku akan selalu berkata dengan bangganya di depan mereka semua: "Hei, kalian tahu, tidak? Bapakku ada banyak, lho!"
Tapi bukankah itu malah aneh? Punya bapak banyak. Apa yang istimewa? Tentu aku percaya, dengan cukup mempunyai satu bapak, aku akan merasakan sesuatu yang istimewa pada diri sesosok bapak itu, karena satu orang adalah satu warna dengan ciri khasnya. Aku akan setia dengan satu hal yang tidak membuat perut terlalu kenyang atau kepala terlalu pusing akibat mengingat terlalu banyaknya apa yang kumiliki—dan tentu saja menjaganya. Barang berharga milikmu harus kamu jaga, kata wanita berdada besar itu.
"Kami ikhlas jadi bapakmu," begitulah kalimat itu kudengar, dari wajah-wajah baik namun mengandung kejanggalan. Apa mereka meledek atau tidak, aku tidak lagi peduli. Yang kuinginkan cuma satu: apa yang kalian sembunyikan?
Mereka terlalu baik. Entah itu pura-pura atau tulus, jadi aku tidak pernah bilang "iya" atau "tidak" untuk keputusan aneh itu, meski tetap di raporku tidak akan tertulis nama seseorang yang mengisi kolom "ayah kandung". Secara teori anggap saja kami satu, kata mereka lagi. Ini sungguh membingungkan.
Malam hari wanita berdada besar menyuruhku tinggal di rumah. Biasanya perintahnya satu: diam di rumah. Tapi aku tidak bisa, karena di rumah membosankan. Di kamar ada bau apek dan asap, sementara di luar, walaupun ada lebih banyak asap, setidaknya aku bisa mengira-ngira siapakah bapak kandungku?
Setiap kali wanita berdada besar itu keluar, selalu kulihat ia menemui lelaki. Yang membuatku takut bertanya adalah dia selalu menemui orang yang berbeda. Kapan aku benar-benar melihat dia menemui bapak kandungku? Atau, kapan aku sadar bahwa yang dia temui saat itu adalah bapak kandungku? [ ]
Gempol, 2015
Comments
Post a Comment