![]() |
Sumber gambar: dedent2.rssing.com |
(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 27 Desember 2015)
Wajah itu tidak asing.
Seperti terbenam di kepala saya, dulu, beberapa tahun silam. Hanya saja, saya
tidak terlalu yakin. Maka saya duduk saja, sambil menyesap kopi, atau sesekali
meladeni omongan Japri, teman saya—soal politik ibu kota tak berguna—serta tentu
saja, mencuri pandang ke seberang.
Pagi baru datang. Matahari
menepis wajah itu. Beberapa mobil mulai melintas dan saya terlindung dari
tingkah pola mengamati. Sebatang sigaret terselip di bibir. Sekejap terseret ke
masa lalu, suatu masa ketika sering kali hati kembang kempis melihat tubuh
seorang gadis. Dia, wajah itu, tak sadar sepasang mata saya meng-copy setiap
detailnya ke dalam otak. Mencari pembeda dari masa lalu.
"Korek?" Japri
menyodorkan pemantik.
"Hmm."
"Ya gitu,
seperti katamu, orang gampang ngomong. Kalau disuruh ngurus, emang bisa?"
Pemilik warung menanggapi opini Japri sebelumnya. Jempolnya mengacung.
Saya geser duduk. Mereka
ngobrol dan saya justru tidak ingin obrolan itu selesai, atau berharap makanan
Japri tidak habis-habis dalam waktu dekat, paling tidak sampai wajah itu pergi
dari situ, meski saya tidak ikut terlibat obrolan. Kata saya, biarlah politik
urusan orang Jakarta.
Biasanya saya juga malas
bicara. Duduk lima belas menit di sini, menemani Japri makan mie rebus, sebelum
pulang dan membenamkan diri dalam mimpi. Kadang saya makan, kalau semalam tidak
bawa bekal. Tetapi saya lebih suka melepas lelah setelah jaga malam di sebuah
pabrik sebagai satpam dengan kopi atau rokok. Japri bilang, "Gak nafsu
makan di pos." Saya masa bodoh. Mau di mana pun, yang penting halal, ya
saya makan.
Sebagai satpam, semua
selalu mungkin bagi saya. Misalnya tidur di tempat penuh nyamuk—karena kulit
kebal. Jaga malam menguras tenaga, tapi melatih fisik saya. Sudah dua tahun
saya begini. Seringnya, saat Japri dan pemilik warung ngobrol, diam-diam
saya hibur mata dengan pemandangan di seberang sebelum balik ke kost. Dan saya,
tanpa seragam satpam, setiap pagi, duduk di tempat yang sama seakan-akan saya
adalah anjing nyasar.
Tapi saya sangat menikmati.
Saya sesekali berharap waktu berhenti, atau sekalian Japri dan pemilik warung
itu membeku, lalu saya bisa menjamahi setiap wajah yang ada di depan losmen
sepuasnya sampai magrib, dan malamnya persis pukul 21.00, saya tidak berangkat
kerja karena kecapekan. Tapi itu tidak pernah terjadi. Japri dan waktu tidak
pernah beku dan saya pun harus memadamkan rokok bila teman saya selesai makan.
Biasanya, jika siang tiba, saya datangi wajah-wajah pelepas dahaga ke tempat
kost mereka. Tentu saja, karena saya belum pernah menikah.
Entah berapa kali
pengamatan ke losmen semacam ini berakhir di kamar busuk dengan kasur tipis
yang lembap, plus dinding bercoreng gambar-gambar tidak senonoh. Tidak saya
hitung, karena saya mati rasa. Kata Japri, ketika pelacur merayu saya pun, tak
ada sedikit kata rayu dari saya, meski saya suka. Tinggal masuk, kerjakan,
bayar, dan pulang. Itulah saya. Kaku dan ganas, sindir seorang germo.
Tapi pagi ini berbeda.
Wajah itu, pertama melihat, menarik perhatian. Saya tidak lagi merasa cabul,
bahkan mendadak rasa malu meraupi kepala. Saya menggigil dan menutup kecemasan
dengan sesapan kopi nyaris tanpa jeda. Kalau saja Japri sadar, bisa malu saya.
Dan bingung apa yang mesti saya bilang?
Suatu kali wajah itu:
tirus, hidung mancung, dan mata sipit, mampir ke kehidupan saya. Tapi, saya
tidak berani memastikan apa perempuan yang duduk di muka losmen itu, bangunan
yang jika dilihat dari sini persis barang rombeng, benar adik sahabat lama saya
atau bukan. Sebelas tahun lebih, pergi tanpa pulang, lupa tanah asal, menghapus
satu per satu orang-orang dari masa lalu. Lagi pula, bukankah banyak wajah
semacam itu?
Santoso, nama sahabat saya
itu, tidak tahu batang hidungnya. Terakhir saya lihat, digiring polisi akibat
membunuh tetangga. Itu sebelas tahun lalu. Di hari yang samalah saya pindah ke
sini, bekerja dan bekerja apa saja, yang halal, lalu menabung entah untuk apa
dan siapa, sampai lupa saya pernah lahir dan besar di suatu tempat.
Dulu bersama Santoso, yang
saya kenal sejak SD, saya biasa mbajing. Ragam ilmu kriminal kelas teri
saya pelajari darinya, semuanya. San, begitu saya biasa manggil, juga
mengajari saya merokok di sebuah kompleks kuburan Cina, sampai ketahuan Bapak
dan kami dihajar.
Meski bapak polisi—ini yang
membikin saya, di masa dewasa, suka merenung lalu menangis—saya ketagihan nyuri.
Bersama San, barang-barang ragam level masuk ke kantong dan dijual untuk mabuk
dan main perempuan. Tentu saja, kami lebih hati-hati. Pengalaman ketangkap
basah waktu merokok kami jadikan guru. Dan kami makin buta.
Suatu ketika, saat main ke
rumah San, saya mulai sadar bahwa selama ini, adik San yang saya tahu bernama
Tini, ternyata cantik. Waktu itu kami sudah SMA dan Tini baru SMP kelas dua.
Saya tentunya kenal Tini, gadis berparas kempong dengan belek yang
selalu awet di sudut mata, juga gigi keropos akibat air minum buruk yang mereka
ambil dari sumur tetangga. Semua tentang Tini di masa kecilnya, hilang
menjelang remaja. Pelan dan pasti, saya jatuh cinta.
Terang saja saya rasa Tuhan
membenamkan wajah itu di kepala, lalu pagi ini, detik ini, jahitan di otak saya
longgar dan isinya tumpah semua. Di antara segala yang tumpah, cuma satu yang
saya ambil: wajah itu. Tapi saya tidak yakin. Kalau benar pemilik wajah itu
Tini, sungguh besar perubahannya. Ia yang saat SMA—terakhir saya lihat sebelum
merantau—sudah cantik, kini jauh lebih cantik. Dan kalau memang itu benar Tini,
adik Santoso, saya rasa saya bukanlah anjing nyasar.
Sesekali saya pikir, di
balik seragam satpam yang saya kenakan, untuk apa semua ini? Pekerjaan ini,
dengan gaji yang lumayan buat hidup seorang diri, mana muaranya? Saya bisa saja
hengkang dan jadi bajingan, seperti dulu. Saya juga bisa saja membunuh seorang
pejabat—yang Japri benci—lalu uangnya saya bagikan ke semua orang miskin di
kota ini. Tapi, antara dua jalan: satpam dan Robin Hood gadungan, saya rasa tak
ada bedanya. Hidup saya toh tanpa arah.
Suatu kali Japri pernah
bilang, "Makanya cari istri, Bro!" Saya diam memikirkan itu. Istri?
Bahkan, kuburan Ibu di kampung tidak sekali-kali saya tengok. Juga, Bapak yang
terakhir saya tahu numpang di rumah Mbak Siti, kakak tertua saya, tidak
saya tahu kabarnya. Mau kawin sama siapa? Siapa yang mau pada saya, lelaki yang
dibuang keluarga karena beteman dengan pembunuh? Saya kira ini problemnya.
Sebab saya merasa diri sebagai anjing nyasar; tak punya satu pun
manusia. Bahkan saya tak yakin, saya benar-benar manusia.
***
Mie rebus Japri habis. Usai
bersendawa, kira-kira 2-3 menit kemudian, ia menguap. Kami bayar sesuai total.
Lalu jalan ke utara, ke arah rumah kost. Saya dan Japri tinggal di kawasan
beda, meski satu desa. Dia memilih tempat yang agak bersih, karena kost dengan
istri dan dua anak. Dan saya, seperti saya bilang, apa pun tempatnya, di mana
pun, selalu mungkin.
"Ada yang baru."
Japri menjawil pinggang saya.
Pura-pura tak acuh. Saya
bilang, tidak kali ini. Bosan dan mau istirahat.
Tapi teman saya maksa dan
akhirnya wajah itu saya pandangi lagi. Wajah tirus di muka losmen yang persis
Tini. Saya sudah niat, nanti malam, karena libur, saya tanya orang losmen di
mana perempuan itu tinggal, lalu saya temui dia dan bicara. Saya rebus niat itu
sampai matang, tapi tidak kunjung matang. Tunggu saja, nanti malam mungkin
matang. Begitulah saya menggodok niat yang mendadak terbit lima menit lalu.
Saya tidak sadar Japri sudah hilang ke salah satu gang.
***
Perempuan itu menghampiri
saya.
"Sendirian nih?"
Sebatang sigaret, tinggal
separuh, saya sentil. Masuk tong sampah. Belum saya temui penjaga losmen,
perempuan itu lebih dulu muncul.
"Yuk..."
Ia menggandeng saya masuk.
Saya diam seperti anjing di tangan majikan. Di lobi, penjaga sudah hafal.
Langsung lempar kunci dan kepala saya mendadak pusing. Kamar itu letaknya di
lantai dua. Tidak ada lift, melainkan mendaki beberapa anak tangga, yang
membikin si perempuan melekatkan tubuh pada saya tanpa bicara lagi. Saya tanya
nama. Dijawab pendek, "Lucy." Tentu saja, pikir saya, kalau pakai
nama aslimu, tidak bakal laku.
Saya tidak tertawa oleh
fakta itu, tapi wajah ini, dilihat dari dekat, benar-benar persis. Tahi lalat
di jidat. Dulu Tini pernah diantup tawon di kebun dan saya gosok kepalanya yang
bengkak selama San cari bantuan. Bayangan masa itu kembali; telapak tangan
meraba jidat, menggosok, berbisik, "Sshh... Sabar ya, Tin."
Mendadak lidah saya kelu
dan saya seekor anjing tanpa lidah. Saya digiring masuk kamar, duduk di
ranjang, bersitatap dengan seorang pelacur. Ia tidak tahu kota ini mengubah
saya. Tapi saya tahu, wajahnya ada di masa lalu. Kami tidur tanpa kata-kata,
selain desah dan lenguh panjang.
Setelahnya saya pulang dan
menangis. Saya tidak tahu apa saya pengecut ataukah ini pengaruh masa lalu.
Dulu, di mata San, saya melihat cahaya. Bukan hidayah. Cahaya setan, saya kira.
Kenakalannya menular pada saya lewat tatap matanya. Dan malam ini, kejadian
serupa terulang. Di matanya, ada San. Dan saya menjadi liar sebagaimana ketika
saya menemui pelacur-pelacur sebelumnya. Saya tak lagi sangsi ialah Tini, meski
akhirnya tak lagi terpikir menikahinya.
Tidak ada Tini yang dulu,
yang semasa SMA membuat hati kembang kempis. Dari penjaga losmen saya tahu
esoknya, bahwa dia melacur karena kampungnya kebakaran. Dia tidak punya
siapa-siapa. Kakaknya bunuh diri di penjara, sehingga ia terpaksa hidup dengan
satu-satunya yang ia punya.
Saya langsung ke rumah
Japri. Kepadanya saya bilang, bahwa saya memang perlu nikah dan belajar jadi
manusia. Biar tidak masuk neraka. [ ]
Gempol, 29 Okt '15
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karyanya dimuat di berbagai media
Comments
Post a Comment