(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 22 November 2015)
1/ Perempuan dari Masa
Lalu
Pesta pora semalam kurang
cukup. Kau mesti tambah durasi tiga hingga empat jam, baru tuan rumah disebut
mapan. Soal remeh temeh dijejalkan oleh Tuhan ke dalam otak manusia-manusia
dangkal di sini, dan itu 24 jam non stop—setiap hari, nyaris sepanjang
tahun—maka hal-hal duniawi layak naik kelas dari sekadar ngebir di
sudut-sudut gang hingga mengundang maskot mahal dari kelab-kelab malam ibu
kota.
Kau tidak menduga
kehadiranku. Analisa situasi membuatmu gusar, kurasa. Itulah gunanya lidahmu.
Gusar mendorong pangkal berkontraksi, lantas cekatan beradaptasi dalam lincah
gemulai memulai sapa, "Lama tak jumpa!"
Ya, jawabku pendek.
Aku paham sulitnya tinggal
di kota. Kau pun paham betapa meluap dosa-dosa yang digelontorkan iblis melalui
berbagai cara. Dari tahun ke tahun stok dosa menumpuk dan sulit dikalkulasi.
Suatu waktu kita duduk di loteng rumahku, minum-minum, bercumbu, lalu
membayangkan dosa itu bentuknya serupa kumpulan kado, persis gambaran di film Polar
Express; ada pabrik kado buat bocah di seluruh dunia di hari Natal—barangkali
Tuhan yang membikin—yang di-manage Santa Clauss agar semua terbagi rata.
Bedanya, di film itu kado-kado berisi mainan.
Lalu kau berkata,
"Pabrik dosa bukan di kutub utara atau selatan. Dia ada di perut bumi."
"Kok tahu?"
"Tahu saja!"
"Berarti setan-setan
di kuburan yang kerja dong?"
"Barangkali."
"Lalu kotak-kotak kado
diangkut dalam gerobak sampah, dan para setan menyeret gerobak-gerobaknya untuk
membagi dosa dari rumah ke rumah atas perintah Raja Iblis?"
"Ya!"
Aku tak lupa kau pun
mengkategorikan dosa. Entah dalam kondisi otak korslet, atau memang muak
membahas dosa, kau pandang dosa dengan cara paling sederhana. Pertama, dosa itu
botol bir. Kedua, paha dan belahan dada. Ketiga, uang. Katamu, uang sumber dosa
paling jahanam. Masih terang di kenangan ketika kau dengan lugas berkata,
"Kondisi keuangan, bila dilihat dari dua sudut, sama-sama punya dampak.
Kau tidak bisa alim dengan sedikit uang, dan kau tidak bisa menahan diri dengan
uang segunung."
Tapi kau tahu, di antara
ketiganya, kau paling tidak tahan dengan yang nomor dua, sehingga sulit membayangkan,
atau tak pernah dan tak akan membayangkan, bila suatu hari gejolak nafsu di
bawah tubuhmu tak terbendung, maka kau berperang hebat dengan istrimu andaipun
tak ada lidah yang bisa bersilat. Betapa semua tahu ia tak lebih cantik dari
babumu.
Dan kau pergi ke tempat
semacam ini. Membawa uang untuk membeli dosa.
2/ Lelaki Pendosa yang Murah Hati
Pertama-tama, saya tidak
tahu bagaimana kamu bisa di sini. Mungkin karena saya mabuk, atau karena
terlalu merindukanmu. Kamu bilang mestinya saya nambah tiga hingga empat
jam lagi, tetapi maaf. Saya tidak kuat.
Oh, ya, bagaimana kabar
usahamu?
Dulu kamu bilang mau pergi
sejauh-jauhnya dari saya—yang konon mengandung banyak dosa di perut, juga
kantung baju, juga dompet dan brankas di rumah. Semua penuh dengan dosa. Kamu
bilang saya kolektor dosa. Kamu bilang saya pelanggan setia Raja Iblis di dasar
kuburan!
Ya ampun. Kalau tanya kabar
soal istri saya, tidak ada yang bisa saya bilang selain kuburan. Dia mati lima
tahun lalu. Asal kamu tahu, saya sedih, meski diam-diam tenang juga. Tidak ada
lagi yang ganggu. Tidak ada lempar-lempar piring atau gelas atau sandal selop
ke muka saya. Anjing kurap! Memangnya dia cantik? Saya tahu kamu lebih cantik.
Itulah kenapa saya sangat muak ketika dulu kamu diusir, ditendang, diludahi,
dan nyaris dibakar.
Kalau saya boleh
membayangkan, barangkali sekarang mantan istri saya itu duduk manis menunggu
gaji bulanan dari Raja Iblis. Ternyata kamu ingat soal perbincangan kita
beberapa tahun lalu. Saya lupa kapan itu, tapi saya ingat bau keringatmu yang
asam menggoda amat memukau. Malam itu kita tidur di bawah sinar rembulan,
setelah bicara soal dosa-dosa dalam kotak kado yang diletakkan setan di teras
losmen, dengan label: "Dosa Tidur" - Tuan Yopi dan Nona Vera.
Kenapa saya amat yakin istri
saya bersekongkol dengan iblis? Saya tidak tahu. Tentunya ini berangkat dari
pikiran soal pabrik dosa itu, yang dibangun di perut bumi, dan setumpuk kado
dikerek ke atas dengan ratusan atau ribuan atau mungkin jutaan katrol sehingga
kado-kado dosa indah dan menggiurkan siap dikirim ke rumah-rumah di seluruh
penjuru dunia—seperti dalam film tolol yang dibuat untuk anak-anak ingusan.
Barangkali istri saya
bahagia di sana, di dunia bawah tanah, pabrik tempat produksi dosa-dosa, karena
gajinya amat besar. Bayangkan, dalam satu hari saya dapat kiriman empat paket
dosa (saya yakin ini dari istri saya, yang dulu membenci diri saya sehingga ia
terdorong menjerumuskan saya lebih jauh. Lagi pula istri saya itu pintar
akal-akalan. Ia akan keruk sebanyak mungkin keuntungan dari dosa yang saya
perbuat). Biasanya dua di antara kado itu isinya paha dan belahan dada
perempuan jalang. Sisanya uang pelicin atas suatu proyek yang saya pegang (kamu
tidak perlu tahu lebih banyak). Dan salah satunya botol minuman keras.
Ah, saya jadi ingat
masa-masa perkenalan kita dulu. Kamu sudah banyak berubah. Tentu saja, hidup
harus berubah. Saya sendiri juga berubah, kalau kamu mau percaya. Tapi, melihat
caramu memandang saya, agaknya kamu tidak percaya hal itu bisa terjadi:
perubahan tidak akan disebut sukses jika seseorang bertambah buruk, itu katamu.
Apalah peduli saya.
Saya sudah kaya. Apa saja
bisa saya lakukan, termasuk minta kiriman dosa-dosa dari perut bumi. Raja Iblis
kadang-kadang berkorespondensi dengan saya. Kadang saya diundang ke kediamannya
di seberang pulau. Atau kadang saya yang mengundangnya. Kami seperti saudara.
Makan-makan, minum-minum, lalu tidur dengan dua atau tiga pelacur. Ya ampun,
kalau kamu tahu diri saya saat ini, seharusnya kamu malu.
Tetapi, saya jujur, heran
bagaimana kamu bisa tahu di mana saya. Dulu saya pernah mencarimu, tapi gagal
karena istri saya masih hidup. Setelah dia mati, saya justru mulai melupakanmu.
Melupakan hari-hari kita berdua sebagai dua manusia pemuja dunia yang
berdiskusi soal dosa, lalu praktik, dan berhenti membahas teori-teori karena
terjun langsung ke lapangan itu sesuatu yang luar biasa. Hmm, masa lalu. Saya
harap kamu tidak tersinggung atas sambutan saya yang kurang sopan. Mari, minum.
Jangan khawatir. Semua saya yang bayar.
3/ Dari Lubang Kecil di
Bawah Tiang Lampu
Lampu jalan mati-menyala.
Seperti kelab-kelab malam di sepanjang jalan. Namun rintik hujan menjadikan
sorotan lampu lebih hidup ketimbang sarang botol-botol bir dan mucikari.
Mendekati keajaiban, karena bulir-bulir itu mewarna. Andai ia tahu
betapa film animasi luar negeri, yang bercerita soal pabrik kado di ujung dunia
itu, jauh lebih memukau.
Melirik kiri-kanan, seekor
tikus yakin akan selamat. Di jam selarut ini jarang mobil melintas sehingga
hewan menjijikkan itu tidak terlindas dan mati ketika menyeberang, dan
dibiarkan berhari-hari membusuk—kecuali ada yang menyerok tubuh gepengnya. Tapi
tak jadi karena sesuatu meniup dan nyaris menggigit ekornya. Sang tikus
mendecit, lalu kabur ke kelokan.
"Tikus busuk!"
umpat ia. Ia itu, si jahil.
Ia kembali termenung menunggu hujan reda,
atau tukang tahu tek lewat, sehingga bisa mengerjai sesuatu yang lebih layak
ketimbang tikus. Poin membikin ngeri manusia adalah seratus, sedangkan tikus
cuma nol. Sebagai setan, reputasi ia dipertaruhkan. Tapi, tentu saja,
tentu saja bukan itu tujuan utama ia.
Ia hitung dengan cermat: empat kado sehari
ini, ditambah satu kotak berisi paha, belahan dada, plus kenangan—yang
kemungkinan berlangsung empat hari, karena perempuan itu tinggal di luar kota
(putar haluan jadi pengusaha setelah tertangkap tidur dengan suaminya), dan
membawa kabur uangnya—akan membuat diri ia sebagai setan naik pangkat.
Terbayang pujian Raja Iblis. Ia akan timbun lebih banyak uang di kubur,
untuk dibawa ke neraka sesudah kiamat, dan dipamerkan ke setan-setan lain
dengan bangga.
Sepasang mata dalam lubang
gelap di bawah lampu jalan itu, menyalakan suatu kecemburuan. Sepasang mata ia.
Langkah goyah pria mabuk dan wanita berdada besar di sisinya dengan sehelai
kerudung hitam mulai nampak. Bersisian ke satu tujuan—ia percaya itulah
hotel.
Sang setan berhitung dengan
cermat sebagaimana sifatnya dahulu: kalau-kalau si suami ditolak, barangkali
kado kelima hari itu adalah dosa baru. Bila tepat prediksinya, itu lebih dari
cukup untuk dikemas ke dalam kado seukuran peti mati. Tentu, setelah itu, ia
harus siap bersaing dengan seteru lama di alam kubur.
Mobil bergerak maju. Lampu
jalan benar-benar padam.
Kau percaya cerita ini? [ ]
Gempol, 15 November 2015
Comments
Post a Comment