![]() |
Lukisan "Unsaved Memory" by Andrei Varga |
(Dimuat di Metro Riau, Minggu, 22 November 2015)
Kita tak bisa salahkan
siapa jatuh cinta kepada siapa. Itu mutlak, hak tiap manusia. Tapi, jika cinta
hanya untuk orang waras, apakah mungkin kisah ini klise?
Aku mengenalnya di jalan
... ah, bukan, sebut saja di sebuah tempat. Akan lebih universal jika 'tempat'
kubawa-bawa daripada 'jalan'. Karena jalan adalah klise dari begitu banyak
kisah cinta manusia. Ya, aku mengenalnya di suatu tempat. Anggaplah begitu.
Kalau ada yang bertanya tempat apa itu, aku akan memulai penjelasanku dari masa
lalu. Bersabarlah!
Dulu aku pendiam, penurut,
pintar, dan segala kepribadian bocah yang membuat bangga orangtua. Tapi tidak
selamanya yang 'baik' mendapat tempat di mata orang. Itu menyedihkan bagi
anak-anak sepantaranku. Kalau orangtua menyebutku anak harapan masa depan, maka
teman-teman menyebutku banci!
Aku bisa diatur dengan
berbagai cara, maksudku oleh orangtuaku sendiri. Dan aku juga diatur oleh
mereka, teman-temanku yang nakal itu dengan satu cara; direndahkan. Betapa
sebagai lelaki, harga diriku jatuh ketika itu. Tapi mungkin karena masih kecil,
aku tidak terlalu memikirkan. Dan karena aku anak yang baik, aku menyimpannya
sendiri tanpa bercerita pada ibuku.
Aku tahu kelakuan mereka
kelewat batas. Perlakuan menginjak-injak harga diri, mengabaikan moralitas, dan
semacamnya. Aku tidak menyinggung hal tersebut terlalu jauh. Cukup kukatakan
efeknya. Sungguh besar, apalagi bagi mental anak selemah aku.
Aku tumbuh menjadi banci
seperti kata mereka. Tapi tidak, aku bukan penyuka sesama jenis. Maksudku,
mereka mungkin menyebutku 'banci', sebab aku tampak tidak begitu meyakinkan
jika diwajibkan mengerjakan segala pekerjaan lelaki—bahkan yang paling ringan
sekalipun.
Maka, lama-lama ayahku
heran; kenapa aku tidak selincah dulu sewaktu bayi? Aku yang pendiam jadi lebih
pendiam karena memendam marah yang tidak bisa kukeluarkan. Dendam, itu yang
bisa kukatakan soal bagaimana perasaanku kepada teman-teman. Aku tidak suka
cara mereka melucuti baju-bajuku, juga cara mereka mengerjaiku sampai pada
batas yang tidak layak dilihat seorang perempuan.
Aku malu, tapi bukan pada
diriku. Aku malu pada mereka, orang-orang itu. Entah, siapa pun. Aku malu
karena masa lalu. Aku tidak bisa berkembang dan mungkin karena trauma, aku
memilih berteman dengan orang baik saja. Dan menurutku, cuma perempuanlah yang
bisa menjadi teman yang baik.
Waktu berlalu, aku
melanjutkan SMA di sekolah khusus lelaki. Ayah yang punya ide. Beliau memaksa.
Aku menolak mati-matian, dengan tidak mengabaikan ketakutan bahwa ayah ibuku
bisa saja curiga. Jangan salah sangka dengan menyebutku 'menyukai' lelaki! Aku
lelaki normal yang lemah, itu saja. Lemah, bisa dibilang banci, begitu kata
mereka. Ini sulit. Aku terjebak dalam fisik, sementara jiwaku memberontak
karena tak pernah bisa 'dia' memuaskan kehendak kelelakiannya!
Aku tidak berdaya dalam
siksaan fisik dan batin. Kukira tidak ada lagi teman yang semena-mena, tapi
semakin aku tumbuh, semakin mereka tahu aku hanya lelaki bodoh yang gampang
diperdaya.
Seperti sebongkah batu yang
terus tercurahi air, lama-lama terkikislah kesabaranku. Aku marah dan boomerang
bagi diriku sendiri. Betapa tidak? Mereka menganggapku bak pemain sirkus
yang merendahkan dirinya sendiri secara sengaja.
Pemberontakan ini tak hanya
terjadi di sekolah. Di semua tempat, jika sedikit saja menyinggung harga
diriku, nasib orang tidak akan bagus. Aku akan lukai siapa pun. Cukup sudah aku
hidup dalam tekanan.
Orang bilang aku sudah
bukan anak orangtuaku. Itu aib. Aku pergi ke tempat yang mau melihat dan
memanggilku dengan sebutan manusia, karena aku manusia, bukan banci. Di situlah
aku bertemu dia, perempuan itu. Aku tidak tahu apakah dia punya masalah yang
sama ataukah lebih rumit, atau lebih ringan? Aku tidak ambil pusing. Dia
memberiku makan—tepatnya mengambil sedikit makanannya untuk diberikan padaku.
Aku sering merasa hidupku tiba di ujungnya, lalu dia datang menyelamatkanku.
Ya, kusebut saja begitu,
menyelamatkanku. Dengan sebutan apa lagi yang pantas kusebut dia, jika dengan
rela dia ambil separuh makanannya, untuk membuat kenyang pemuda lemah yang
bahkan tidak dikenalnya sama sekali?
Dari situlah tumbuh cinta.
Masih klise? Tunggu dulu. Kubilang, bersabarlah! Kami bertemu di sebuah tempat,
bukan jalan. Ya, tempat. Di sini biasa kulihat orang-orang berkumpul tiap pagi,
berbaris, senam, bernyanyi, upacara—seperti kegiatan rutin di sekolah. Tapi
yang menyenangkan: tidak ada murid-murid lelaki yang menggangguku. Lebih dari
itu, di sini bahkan tidak ada buku!
Ya Tuhan, senangnya hidup
bebas.
Memasuki waktu sarapan,
perempuan itu menawarkan makanan untukku, seperti biasa. Kebiasaan ini
lama-lama kutahu alasannya. Ternyata dia tidak begitu suka bagian-bagian
tertentu dari jatah makannya. Jadi, daripada dibuang, dia berikan saja padaku.
Bagaimana aku bisa tahu? Karena suatu waktu dia tidak membagi makanannya. Lalu
kutanya kenapa dia tidak membaginya denganku, apakah dia sudah membenciku?
"Bodoh, makanan pagi
ini enak-enak, tahu!" katanya ketus.
Aku tidak mempermasalahkan
itu. Berarti kejadian ini tidak mengubah 'perasaan' kami.
Dia tetap membagi makanan
kalau ada yang tidak enak di piringnya. Dan kalau sudah begitu, aku berterima
kasih dan mengelus rambutnya. Asal kau tahu saja, dulu waktu kecil aku sering
melihat di TV, bahwa tanda orang menyayangimu salah satunya adalah dengan
mengelus rambutnya. Ya, kulakukan saja itu, walau perempuan itu tidak suka.
"Kuku-kukumu panjang,
Setan! Rambutku bisa rontok semua!"
Dan kami pun tertawa.
Apakah romantisme seperti ini masih bisa disebut klise? Menurutmu?
Tunggu saja saatnya, ketika
malam hari kami berbaris, masuk tempat tidur. Beberapa penjaga ramah dengan
seragam rapi di bagian atas tubuh, namun bercelana pendek, menyuruh kami
bermimpi menjadi apa saja yang kami inginkan. Tentu saja aku menjawab,
"Aku ingin jadi lelaki seutuhnya!" Aku bangga akan jawabanku, sebab
aku tahu mereka percaya aku bisa menjadi lelaki, bukan banci.
Aku membalas kebaikan
perempuan yang kucintai itu dengan cerita-ceritaku di masa lalu. Kukatakan,
dengan sedikit memberi bumbu, bahwa dulu aku lelaki yang disegani. Awalnya dia
ragu, mengingat betapa kerasnya dia berpendirian (termasuk soal lauk pauk yang
enak). Tapi ternyata dia percaya begitu saja cerita-ceritaku.
Lalu, karena takut dia
bosan dan aku tidak terlalu pintar menyimpan kebohongan terlalu lama, aku
kadang membalas kebaikannya dengan memberinya lauk kesukaannya, jika pagi itu
jatah makan kami enak-enak. Kukatakan, "Biar kamu bisa makan enak lebih
banyak!" Dia senang, tidak peduli makanan itu akan membuat wajahnya
terlihat lebih bulat!
Dari penjelasanku di atas,
sudahkah kau tahu rutinitas siang dan sore hari?
Maklum, aku dilanda cinta,
jadi agak lupa menjelaskannya secara urut padamu. Biar kumulai pada bagian ini
saja, ya!
Sesudah aktivitas pagi yang
menyenangkan itu, kami akan digiring ke taman besar, pusat dari seluruh tempat
ini. Di sini kami bebas berbuat apa saja. Maksudku, jika ada yang ingin
bekerja, ya bekerja saja, tidak ada yang melarang, bahkan sampai kakimu gempor
sekalipun! Dan kalau ada yang mau bermain, bermain sajalah, tidak ada yang
mengganggu. Kalau ada yang ingin bersenda gurau dengan para penjaga, silakan,
tidak ada batas. Termasuk jika ada yang ingin melamun atau duduk diam, justru
itu jauh lebih baik, karena tidak merepotkan siapa pun. Ya Tuhan, bahkan,
andaipun, seseorang yang ada di sini ingin memarahi diri sendiri saja, tidak
ada yang peduli!
Tapi kami tahu kalau para
penjaga itu baik-baik. Sorenya, setelah kami lelah (dan tentunya setelah acara
makan siang), kami diajak bertemu pemilik tempat ini. Katanya sih begitu, walau
kami tidak yakin bahwa lelaki berwibawa dengan wajah kebapakan itu memang
pemilik tempat ini. Di situ kami ditanya beberapa pertanyaan, dipuja dan
dipuji, lalu kami mendapat suntikan yang konon bisa membuat kami menjadi apa
yang kami inginkan.
Hari-hari seperti ini
menyenangkan. Aku dan perempuan itu tidak terhalangi oleh jadwal harian kami.
Kami bisa selalu bersama, dari pagi sampai sore. Tapi, kalau malam mana mungkin
kami tidur berdua? Aku lelaki dan dia perempuan, dan kami belum menikah.
Karena ini, aku sering
mengeluh. "Tiap malam aku tidak bisa menemuimu. Padahal aku ingin di
dekatmu."
"Bohong! Kamu minta
jatah makanku lagi, 'kan? Jadwal makan malam kita wajib di kamar, jadi tidak
bisa berbagi."
"Tidak! Bukan
makananmu... saja."
"Tentu saja. Tubuhmu
'kan kurus!"
"Kamu sedih, 'kan, kalau
malam?"
"Iya, sedih. Karena
tidak ada yang bisa kuajak ngobrol."
"Kalau aku, justru
karena berpisah denganmu. Kenapa tidak bisa sepanjang hari bersama? Misalnya
kita tidur bersama juga setiap malam." Aku mengatakan itu seolah- olah
kami berada di tempat lain.
Kami diam cukup lama.
"Kita bukan suami
istri."
"Kalau begitu, kita
menikah!" kataku. Entah bagaimana gagasan itu muncul.
"Boleh! Kalau kita
menikah, masa kita masih harus tinggal di sini?"
Kalau kami menikah, tidak
mungkin kami harus tetap di sini. Itu benar.
Seorang penjaga yang tahu
masalah kami mencari solusi kepada pemilik tempat ini. Katanya, kami bisa
menikah, tapi itu butuh proses, tidak boleh sembarangan, karena bisa
menimbulkan masalah.
"Masalah yang
bagaimana, Dok? Kami sehat dan normal! Kami lelaki dan perempuan. Saya bukan
banci! Saya lelaki sejati, pejantan tulen!" kataku berapi-api.
"Iya, tapi kalian
masih dalam perawatan. Jiwa kalian belum sembuh total. Maafkan saya."
Jangan rendahkan aku dengan
menyebut kisah ini murahan. Sekali-kali jangan! Bukankah tak bisa kita salahkan
siapa jatuh cinta pada siapa? Termasuk dua orang gila sekalipun. [ ]
Gempol, 12 Oktober
2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai.
Suka endingnya ^_^. Keren.
ReplyDelete