"Wajah-Wajah Gundu"
![]() |
Ilustrasi cerpen "Wajah-Wajah Gundu" oleh Ken Hanggara |
(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
Ibu membukakan pintu belakang. Wajahnya yang penuh
keriput itu menatapku tajam, seolah pertanda aku adalah sesuatu yang tidak
patut ia pertahankan. "Lihat adikmu Yanti! Berapa kali kuperingatkan?
Jangan sekali-kali berbuat macam-macam jika masih ingin menemuinya!"
Akhirnya kudengar juga suaranya, suara yang dulu
sewaktu aku kecil selalu memberi kenyamanan. Ya, dulu kami merasa nyaman meski
pertanyaan-pertanyaan selalu tak menemui jawab.
Pagi itu, di suatu hari yang lampau, tak ada asap
mengalir di atap rumah. Benda kelabu yang melayang di udara dan menebar aroma
sedap. Asap itu kurindukan setiap kali bangun tidur. Jika memasak, Ibu
menyihirku sampai pada tahap tertentu, di mana aku tidak sanggup menolak
permintaannya untuk melahap yang telah ia upayakan, meski perutku telah
kenyang.
"Buat apa aku masak kalau tidak ada yang
memakan?" begitu ucap Ibu selalu, sembari menarikku dari balik selimut.
Segala aktivitas harian yang kecil dan nampak
sia-sia di mata orang lain, adalah upaya besar untuk dapat menyebut diri kami
sebagai manusia. Betapa tidak kuanggap hal seperti ini sebagai upaya, ketika
seseorang harus bertaruh nyawa di lingkaran ketamakan yang terbentuk oleh ulah
manusia haus kuasa? Perang merenggut sebagian nyawa kami, hingga yang tersisa
tinggal sebagian ruh yang kurang waras, yang tidak peduli meski peluru melesat
dari arah tak terduga, sementara kami asyik bermain gundu di bawahnya.
Aku mengenang itu. Kekacauan yang kembali lahir
setelah sempat padam, juga merebut kewajaran dalam bentuk kehidupan. Ini membuatku
tak kunjung sadar bahwa kami manusia abnormal, yang hidup dalam kematian, atau
sebaliknya: mati dalam kehidupan.
Aku bangkit dan cemas. Bertanya-tanya, apakah
orang asyik memerhatikan tontonan keji hingga lupa bahwa persediaan makanan
habis? Sebentar kemudian aku sadar ini keliru, karena tak lagi kudapati suara
Ibu dan Yanti. Ke mana mereka?
Ibu dan adikku tiba-tiba lenyap. Aku ke dapur. Di
lantainya ada pintu yang konon bisa mengamankan kami dari kejaran setan. Sejak
kecil, seorang lelaki mengajariku untuk meraih gagang pintu yang menghadap ke
bawah itu, andai terjadi sesuatu yang mengerikan di luar sana, misalnya
kumpulan setan datang menyerbu kampung untuk membunuh dan memenggal kepala
kami. Namun gembok masih berada di sana. Itu tanda Ibu dan Yanti tidak ada di
balik pintu.
"Ibu! Yanti! Ke mana kalian?" teriak
hatiku. Sayangnya, aku tak bisa bersuara karena tembakan lagi-lagi menyentak
kesunyian di sekitarku. Seseorang mungkin mengira tempat ini mati. Dan ia jelas
tak tahu jika lelaki yang sering bersembunyi sepertiku, menjadi kian lihai,
hari demi hari, dalam menyamarkan diri di balik sepi.
Mungkin aku bodoh ketika kubiarkan diriku hanyut
bersama semangat buta yang entah tak tahu dari mana asalnya. Setahuku, aku
ingin menjadi bagian dari rencana besar tanpa berpikir lebih jauh soal
pengetahuan dan risiko. Seseorang mengajakku gabung ke partai, sebuah partai perubahan
katanya. Aku tak terlalu paham. Rasanya aku memang bodoh, karena kemudian Ibu
dan Yanti jadi ikut terbawa. Sekelompok orang memburu mereka yang dianggap
terlibat urusan dengan partai sialan itu, termasuk keluarga kami.
Aku terus berlari, seperti dulu, ketika
teman-teman menuduhku mencuri mangga Wak Jupri. Aku terbiasa menjadi bocah yang
lolos dari maut. Aku tak gentar ketika orang-orang ribut soal Belanda yang akan
kembali menjajah sementara pikiranku masih berpusat pada sesuatu di atas tanah
yang kami anggap sebagai tempat pelarian.
"Sudah berulang kali Ibu bilang, jangan main
gundu! Mau mati, ha?!" umpat Ibu suatu sore. Ibu lalu menambahkan bahwa
dulu bapakku mati di tempat yang sama. Dan bahwa sesudahnya hidup kami jadi
sengsara.
Aku lamban menangkap pola dalam potongan hidup
kami. Setelah dewasa, barulah aku tahu alasan kecanggungan Ibu saat mengajakku
bermain, sehari setelah Indonesia merdeka. Rupanya, dulu, orang sibuk
memikirkan urusan nyawa, bukan permainan.
Kembali kudengar suara tembakan dari sudut timur.
Aku bangkit dan keluar dari perigi lamunan. Di sana ada sebuah sungai. Airnya
bening. Bahkan saking beningnya, aku sering menghabiskan waktu untuk berkaca.
Lagi-lagi memoriku tak tahan untuk menumpahkan seluruh isinya di dipan tempat
persembunyianku ini, hingga wajahku jadi sedikit basah karenanya. Kala itu aku
bocah yang bersemangat. Meski tidak cerdas lantaran seseorang mesti berusaha
keras selama berhari-hari, demi membuatku paham bagaimana huruf bekerja dalam
sebuah urusan berkomunikasi lewat selembar kertas.
"Kalau tidak serius, bagaimana dia
menyukaimu?" ungkap temanku pada satu waktu. Aku tahu, 'dia' yang
dimaksudnya gadis yang aku sukai secara diam-diam. Dan benar apa yang dia
katakan. Seseorang kadang harus menahan malu, atau bahkan sakit hati, ketika
cinta berjalan dengan ukuran fisik dan segala yang mengundang kecemburuan;
segala yang dinilai dari segi material. Walau masih terlalu dini mengolah ini
dalam otak, aku mulai tahu bagaimana orang menerimaku, membalasku, tanpa
melihat sisi kekurangan yang tak ingin aku tunjukkan.
Dorongan tentang huruf itu beralih pada soal-soal
yang lebih sensitif, "Kalau kau tidak bisa membaca, bagaimana kau akan
tahu seseorang membodohimu atau tidak?"
Lagi-lagi, bunyi tembakan merisaukanku. Aku
kembali mentas dari perigi lamunan.
Terbayang wajah Ibu dan adikku, yang belakangan
sering kesal karena aku pergi tanpa pamit. Aku adalah boneka yang dikendali
sihir aneh. Kekuasaan membuat mata hati menjadi buta. Penglihatan pada darah
dan kematian lalu membuatku terbiasa. Aku kebal. Mungkin yang membuatku rela
berdiri di sini adalah kegagalan merajut cinta. Terlalu klise memang.
"Mereka mengejarmu, lihat saja. Mungkin
sebentar lagi menggiringmu ke bak truk seperti sapi," kata Ibu semalam.
Dia muak melihatku. Dipandanginya tubuhku, seperti memandang sesuatu yang lain,
sesuatu yang bukan anaknya. "Tahu begini, dulu kamu kubiarkan mati. Aku
menyesal memasakkan makanan enak buatmu, menyesal membesarkanmu. Seharusnya
Yanti lebih berhak ketimbang kamu!"
Aku membisu. Ibu terlalu baik untuk kubantah. Ibu
juga terlalu polos untuk memahami, bahwa sejatinya semua ini hanyalah
permainan. Sialnya, aku pun baru menyadari kebodohanku. Sampai akhirnya ibu dan
adikku hilang entah ke mana dan aku bersembunyi ketakutan seperti banci tak
bernyali.
Dari timur ada bunyi tembakan. Kali ini diiringi
jerit orang-orang yang menangis. Apa Ibu dan Yanti di sana? Sekeping papan
roboh. Pintuku kini hancur, sehancur rasaku oleh pengkhianatan seseorang yang
menjanjikan mimpi-mimpi semu. Tak tahu apa yang kulakukan, karena satu-satunya
tempat untuk lari adalah jalan masuk mereka.
Benar kata Ibu. Mereka benar-benar menyeretku bak
sapi di penjagalan. Tak ada yang bisa kubantah, karena sampai sekarang, aku
tetap bisu ketika seseorang menunjukkan lembar surat kabar yang seharusnya
dapat dengan mudah kupahami. Aku memang telanjur bodoh.
Tak butuh waktu lama bagi mereka menjajarkanku
bersama wajah-wajah yang lama kukenal. Seseorang menunaikan tugasnya usai
memisahkan tubuh dan kepala kami. Tak kudengar Ibu dan Yanti. Karena kulihat
wajah-wajah mereka bertumpuk bak gundu di kubangan penuh darah. Mata Ibu tajam
menatapku, hanya saja... sudah tak berbadan. [ ]
Gempol, 30 Sept '15
Comments
Post a Comment