(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 18 Oktober 2015)
Sebagaimana biasa, anak itu lahap menghabiskan jatahnya. Tak
tanggung-tanggung, dua piring nasi goreng plus belasan tusuk sate ayam, masuk
ke perut yang buncit. Di akhir ritual—tepatnya jadwal wajib di akhir hari:
makan malam—satu tangan gempal mencari gelas besar, sementara satu lainnya
memungut tusuk gigi untuk menghela serat daging yang nyangkut di sela
gusi.
"Lain waktu Ibu perlu inovasi!" ucapnya saat ditatapnya teh yang
mengisi penuh gelasnya. Teh hangat. Ia bukan protes karena yang hendak diminum
adalah teh basi atau bekas tadi pagi yang kupanaskan biar tak kentara basi. Ia
ingin, setiap kuberi minum, yang didapat bukan itu-itu saja.
Inovasi gundulmu, rutukku dalam hati. Tapi aku mengangguk. Sebagai
sasaran, aku membeku. Sebagai ibu, itu tugasku. Tapi, tanganku kok ya gatal?
Sekali waktu ingin kutempeleng. Oh, tidak. Memangnya aku kuat? Barangkali
enakan disembelih, dimutilasi, lalu ditusuk-tusuk, dan disate. Lebih enteng
karena aku bisa menggunakan pisau dan sarung tangan. Tidak mengotori kulitku
dengan darahnya. Sekalian tak perlu kulak daging di pasar beberapa hari,
sedangkan warung tetap buka. Laba tetap ngalir.
Kupandangi bibir hitamnya yang rakus. Basah dan digerumbuli buliran nasi.
Suatu tingkah pola yang membuatku mengira aku bukan sedang gila bila niatku
benar terjadi. Hanya terdesak, mungkin. Tapi aku manusia. Tak tega? Bukan.
Lebih tepat kusebut mustahil. Alangkah besar cinta suamiku pada tukang makan
ini, pemuda yang dulu hinggap di perutku dalam ukuran tak lebih dari anak
tikus, yang lantas berkembang dan berkembang hingga brojol dan menjadi
sebesar bagal di usianya yang menjelang dua puluh. Tukang kuras beras dan
dompet. Tukang bikin emosi.
Mungkin aku tidak takut diringkus polisi, dipotret sana-sini, jadi bahan
omongan karena telah menjadi ibu yang gila; menjual daging anaknya dalam wujud
sate, atau sekadar membuang bagian-bagian jasad secara terpisah di seluruh
penjuru kota. Dan aku juga tidak takut andai anak jelek itu kelak menjadi hantu
gentayangan yang terus menerus mengganggu hidupku. Apa peduli?
Aku malah tenar. Namaku melegenda. Disebut di mana-mana, tidak sekadar
koran lokal seperti di masa mudaku, melainkan juga koran nasional. Bahkan
televisi ramai memajang wajahku, walau disensor.
Tapi aku cinta Mas Sugeng dan tindakan segila itu mungkin cuma khayalanku
saja. Mungkin aku tidak benar-benar berani melihat darah, apalagi sampai
membuat sate dari tubuh manusia.
Entah kenapa, segoblok apa pun suamiku, tak ada yang lebih ganteng
ketimbang dia dan aku tak suka dia jadi milik orang lain. Aku selalu kepincut
setiap kali kami berbaring bersama, meski bukan sedang melakukan hubungan
laiknya suami-istri. Dan aku manut kalau-kalau Mas Sugeng berkata, "Penuhi
semua yang anakmu minta."
Oalah, Mas Sugeng, Mas Sugeng, kalau bukan karena kamu....
Aku sering mengeluh, tapi tidak terang-terangan. Kuturuti dan kuikuti saja.
Paling mendengus sebal, itu pun sebentar. Lalu membal rasa sebal padaku, berupa
ocehan sang anak yang lama-lama lebih mirip taik kebo ketimbang darah
daging.
Ibu macam apa kau, mungkin itu yang orang lain pikir, andai dengan lugas
kuucap betapa diamku selama meladeni permintaan ini-itu dari pemuda ini adalah
karena muak, lalu diam-diam menyusun rencana membunuh.
Tapi, yah, aku selalu dan selalu menganggap itu khalayan. Pengusir sakit
hati. Pelepas lelah. Atau sekadar pembalasan dendam dalam suatu pikiran.
Semacam itulah batasku. Apa lagi alasannya kalau bukan karena dia hasil
perkawinanku dengan Mas Sugeng?
Dulu kami menikah bukan karena terpaksa, meski orang menganggapnya
demikian. Suka sama suka, begitu suatu koran menulis kisah perempuan hamil di
luar nikah, tetapi sang pacar tidak dihukum penjara karena mau bertanggung
jawab. Sulit membayangkan kalau Mas Sugeng waktu itu ditahan dan kami tak
ketemu. Barangkali anak yang ada dalam kandunganku itu kuiris kecil-kecil lalu
kujadikan bakso—sebelum ia sempat lahir dan dikeluarkan oleh tukang aborsi.
Atau barangkali anak itu sudah kutaruh di depan pintu rumah seseorang dalam
keadaan basah oleh darah, atau sekalian kulempar ke tempat sampah biar dirubung
semut dan mati. Tapi, itu tak terjadi.
Oh, Gusti, kalau niat yang numpuk di kepala ini bukan dosa,
kuwujudkan malam ini. Dan mungkin, sesudah kueksekusi anak ini, aku sedikit menyesal
dalam buncah kemenangan, bahwa kenapa tidak dari dulu saja kubunuh?
Dulu-dulu sih ada niat itu. Aku bahkan menyiapkan alibi agar tak seorang
pun mengira bahwa aku, sang ibu kandung, menghabisi anak sendiri yang tukang
makan dan bikin onar. Puncak kemarahanku ketika itu, saat pertama niat ini
muncul adalah ketika warungku sepi. Seperti biasa, anak itu datang dan minta
makan. Mengajak teman-teman sesama pengangguran, yang doyan mabuk, main remi,
atau sewa pelacur dari uang yang kemungkinan besar hasil mbajing.
Aku heran, anak-anak busuk itu, perutnya tercipta dari apa sih? Makan
banyak tapi tak kenyang-kenyang. Dasar perut serigala! Mending Werkudara
berguna bagi saudara- saudaranya di Pandawa untuk membabat habis pasukan
Kurawa. Sedangkan ini, bukan berguna, malah brengsek.
Aku pikir, barangkali dia bukan anakku. Barangkali itu anak setan, yang
kebetulan lahir dari rahimku. Mungkin setan, pada suatu malam usang, mampir ke
kamarku dan menaruh janin ke perutku. Penitipan tanpa izin, yang akhirnya
menyulitkanku selama bertahun-tahun.
Oh, Tuhan, andai benar dia anak titipan setan, bakar saja hidup-hidup.
Bukan lagi seperti sate, tapi Nabi Ibrahim. Hanya saja, kalau nabi itu selamat
berkat kemuliaan, anak setan ini biarlah mampus sekalian!
Mas Sugeng tidak ada di TKP, jadi tidak tahu. Mungkin apesku. Ah, kalau
suamiku ada, belum tentu juga marah pada si anak dan mengira itu bercanda!
Suamiku sabar. Atau memang dasarnya goblok. Apakah kegoblokan seseorang bisa
menular?
Suatu kali aku merasa jadi orang paling goblok sedesa. Kenapa bisa cinta
setengah mampus pada Mas Sugeng? Kenapa mempertahankan anaknya, yang malam itu,
usai permintaannya kutolak—uang tiga belas juta—ngajak teman-temannya
meraba-rabaku, menutup warungku, menyekapku, dan membuatku bangun besoknya
dalam keadaan setengah gila!
Ya, aku setengah gila akibat setengah bugil. Dan setengah bagian yang
memalukan itu kelak tumbuh menjadi kegilaan total. Suatu ketika orang boleh
menganggapku gila seratus persen. Gila yang sudah tidak bisa diwaraskan. Apa
kata orangtuaku? Mereka akan menganggap ini karma atau omong kosong apalah,
yang membuatku tambah sedih. Pernikahanku dengan Mas Sugeng tidak direstui oleh
mereka. Aib ini bisa jadi makanan empuk.
Aku tidak mau jadi makanan empuk karena itu tidak enak. Anak setan itu
memakanku ramai-ramai dengan geng bejatnya, lalu melepehku hingga berlumuranlah
aib di sekujur badanku. Kubayangkan, kalau semua manusia di dunia ini melakukan
hal yang sama, mau jadi apa aku?
Jadi kuanggap malam itu mimpi buruk. Tidak ada anak setan dan
teman-temannya yang menggagahiku, menjadikanku bancakan. Tidak ada semua
itu. Yang ada cuma jadwal wajib makan malam yang harus kupenuhi untuk
mengenyangkan perut-perut pemalas. Mas Sugeng tidak boleh tahu. Bayangkan kalau
dia tahu. Seorang ibu yang ternoda dua kali. Pertama, oleh setan di suatu malam
usang. Kedua, oleh setan-setan yang doyan makan.
Mas Sugeng tidak bakal percaya begitu saja dan justru bisa menuduhku
selingkuh. Begitu tuduhan tersebar, tetangga pada bisik-bisik. Hasutan dari
kanan kiri setiap hari. Si goblok manut pada kehendak alam, karena berpikir
dirinya diinjak-injak oleh wanita yang dulu dihamili lalu dinikahinya. Tak
kepikiran kalau anaknya itu sebenarnya adalah anak setan dan akulah korbannya.
Sungguh bajingan. Anak itu makan dengan lahap setiap hari, dari pagi hingga
pagi, di warungku, warung yang dibangun bapaknya, yang juga pula menjadi tempat
tragedi berlangsung, tanpa sedikit pun risih. Sekali waktu memesan, ingin
dibuatkan ini-itu. Aku toh mengangguk. Sebagai sasaran, aku membeku. Sebagai
ibu, itu tugasku.
Tapi, tanganku kok ya gatal?
Kegilaanku menyempurna. Kubangun tembok di sekelilingku dan tak boleh ada
yang memanjat. Agar Mas Sugeng tidak gusar dan berpikir dirinya tidak becus,
karena membuatku hamil janin yang kini menjadi setan sebesar bagal.
Begitulah aku diam dan membayangkan hari yang manis di saat warungku meraup
laba tanpa modal besar. Cuma dengkul, pisau, plus kegilaan, aku bisa menjual
sate yang banyak. Aku bisa menghabisi anak titipan setan sehingga hidupku menjadi
tenang. Lalu kupikirkan mau kubuang ke mana kepala itu? Ke selokan, tidak. Ke
belakang rumah, tidak. Mungkin kubuang ke septic tank biar tidak ada
yang tahu karena sama-sama bau busuk.
Melihat anak itu lahap memakan jatahnya, ingin rasanya aku muntah. Inovasi,
kata dia lagi, tidak harus selalu yang mengenyangkan. Inovasi bisa juga yang
mengenakkan, seperti misalnya menjadikanku barang mainan.
"Ibu kayaknya seneng gitu," celetuknya melengos
kanan-kiri.
Tawa terpingkal-pingkal sampah masyarakat lain kudengar. Dan, oh, mestinya
mereka hati-hati karena kadang orang bisa berubah pikiran. Tentu, kalau sekadar
anak setan saja yang kuhabisi, mungkin aku masih akan menjadi santapan yang
lain. Kukira hanya dengan membunuh setiap setan yang berkeliaran dalam hidupkulah,
aku bisa bebas dari hidup yang membingungkan.
Tunggu saja, batinku, sambil menggenggam bungkusan kecil. Di situ ada
gambar tikus, yang kadang berubah menjadi setan meringis, sehingga aku semakin
bingung; kalau mereka mampus, apa mungkin sate-sateku laku? Kukira, orang mikir
dua kali, sebelum bertanya-tanya, "Sate apa ini, kok rasanya beda?"
Ketika kujawab sate setan, orang-orang kabur dan warungku gulung tikar.
Oalah, Mas Sugeng, Mas Sugeng! Apa yang harus kulakukan? [ ]
Gempol, 19 Sept '15
Comments
Post a Comment