(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 18 Oktober 2015)
Nenek orang paling kusayang. Tiap malam kami mengobrol di kamar; aku rebah
di paha wanita renta itu, sementara ia berkisah. Dongeng yang bisa membuat
kesedihanku hilang."Moga kamu tidak lagi sedih, ya," bisik Nenek
sesudah mengantarku ke alam tidur. Ia tahu, setiap dongeng yang dibawakan
padaku bisa mengusir kesedihan, namun esok itu bakal kembali; rasa sakit itu,
kepedihan itu, pertanyaan itu. Aku yakin Nenek tahu, tapi entah kenapa ia
selalu diam.
Suatu hari kuusulkan lebih baik kami pergi ke tempat jauh, agar tidak ada
sedih. Kami berdua saja, tanpa Ibu, tanpa orang lain. Aku harap tak ada yang
tahu hingga kami bisa membuat nama baru di sana, lalu hidup bahagia selamanya.
"Nenek sudah tua dan tidak punya uang, Nak."
"Kita bisa cari uang. Aku bisa kerja, Nek."
"Kamu masih kecil."
"Di jalan banyak anak kecil kerja!"
Aku berkeras. Tapi Nenek tetap saja menolak. Lagi pula, memang betul kata
Nenek. Mau pergi ke mana? Ia tak bisa meninggalkan rumah ini. Di sinilah dia
membesarkan Ibu, dan di sini pulalah segala yang terjadi dimulai.
Aku sedih, tapi tetap mendengar dongeng Nenek. Dari tentang hewan baik
hati, sampai dengan kisah putri yang bahagia meski hidup dengan sebatang pohon.
Aku suka kisah putri dengan sebatang pohon itu. Menurutku cerita Nenek selalu
berakhir bahagia, dan itu membuatku lega. Banyak dongeng Nenek karang demi
menyenangkanku. Nenek memang beda dari Ibu. Ibu tidak pernah mendongeng.
Seingatku yang mengajariku baca tulis dulu juga Nenek.
"Aku ingin Ibu membaca dongeng buatku. Tidak perlu mengarang seperti
Nenek, karena mengarang sulit. Di sekolahku pelajaran mengarang dapat nilai
jelek. Mungkin menurun dari Ibu. Jadi cukup dibacakan dongeng oleh Ibu dari
buku koleksiku, aku sudah senang," kataku pada Nenek lain waktu. Nenek
tersenyum. Di matanya ada butir bening yang membuatku jadi ingin menangis.
Kenapa Ibu membenciku? Ia tak memanggilku dengan panggilan seperti yang
teman-temanku dapat, misalnya: 'sayang', 'honey', 'kakak', 'adik', dan
entah apa lagi. Saking banyaknya, aku repot kalau disuruh membuat daftar
panggilan sayang seorang ibu kepada putrinya. Nenek tak pernah menjawab, kalau
sampai pertanyaanku tiba pada: "Kalau tidak pakai panggilan sayang, kenapa
tidak memanggil namaku saja?"
Sejak tahu Nenek menangis diam-diam atas pertanyaan ini, aku jarang bicara
soal nama panggilan. Aku tidak peduli Ibu memanggilku apa. Yang penting aku dan
Nenek bersama dan tiap malam, meski diam-diam dari Ibu, aku mendengar dongeng
Nenek sebelum tidur.
Kadang iri juga dengan tokoh dalam dongeng yang Nenek karang. Putri cantik
bersahabat dengan pohon arbei, misalnya. Ia bahagia memiliki teman sebatang
pohon arbei, meski dibuang oleh ibunya sendiri dari istana dan tidak boleh
pulang. Ia bahagia karena pohon itu ternyata ajaib dan bisa mengundang
peri-peri hutan dari berbagai belahan bumi untuk menghiburnya.
"Kalau putri di dongeng itu punya pohon arbei, aku punya Nenek. Tapi,
putri itu punya teman peri baik hati, yang menanyi, menari, dan menghiburnya
dengan panggung lawakan atau sulap di saat malam, sedang aku tidak. Aku tidak
punya peri-peri hutan seperti putri itu."
Nenek diam mendengar keluhanku.
"Nek?"
"Eh, iya? Kenapa, Nak?"
"Aku ingin Nenek juga mengundang peri-peri hutan baik hati untukku.
Bisa, 'kan?"
Nenek lagi-lagi tersenyum. Di sudut matanya ada bulir bening yang sudah
kuhafal. Ia mengelus rambutku.
"Nenek nangis?"
"Enggak. Nenek cuma belum tahu cara mengundang peri-peri itu.
Padahal, seperti yang kamu bilang, Nenek layaknya pohon arbei yang dimiliki
putri cantik. Tapi, Nenek belum tahu caranya memanggil para peri untukmu."
Untuk beberapa saat kami diam.
"Begini saja, besok kita cari cara memanggilnya, biar peri itu
menghibur Zahra tiap malam. Gimana?" kata Nenek dengan mata
berbinar. Air mata di sana kini tampak bagai berlian. Indah. Jemari tua Nenek
mengarah ke wajahku, lantas mengusap sesuatu yang geli di pipiku. Ternyata aku
ikut menangis. "Jangan nangis, ya, Nak?"
Malam itu aku tersenyum sebelum tidur.
*
Plak! Bunyi keras menyentakku. Jantungku melompat. Kedua kaki
lemas dengan sebelah sandal terpakai, sementara sandal lain masih dalam posisi
terbalik di dasar anak tangga. Mataku panas sekali.
"Ke mana?!" Wanita itu berdiri tegak di pintu dapur yang
membatasi bagian dalam rumah dengan kebun. Nenek berdiri di puncak tangga. Aku
belum bisa beralih dari dekat sumur di bawah, terpana, dan Nenek dengan wajah
memerah berusaha menoleh dengan bibir bergetar.
"A, anu... mau ke..."
Plak! Tamparan melayang sekali lagi, membuat Nenek tersungkur
di lantai, tidak sempat melanjutkan penjelasan.
Aku menjemput Nenek yang menerima kekasaran Ibu. Kutatap mata Ibu. Seperti
biasa, mata itu mengerikan. Selama ini Ibu selalu main kasar. Itu biasa. Di
hari Minggu yang seharusnya indah ini, rencana kami memanggil para peri dari
hutan gagal. Malah para tetangga mengintip dari balik pepohonan di sekitar
halaman kami, saling berbisik.
Belum sampai aku meraih Nenek, Ibu mencekal tanganku. "Masuk, Anak
Setan!"
Berikutnya aku tidak tahu bagaimana nasib Nenek. Aku sungguh merasa bersalah.
Gara-gara permintaanku yang aneh-aneh, Nenek ditampar dua kali. Maksud hati
ingin bahagia, dengan peri-peri dari dunia dongeng itu. Dengan begitu
kebahagiaanku lebih lengkap, karena ada Nenek juga di sisiku. Aku belum pernah
merasai kebahagiaan utuh dalam wujud keluarga. Di rumah hanya kami bertiga,
tapi Ibu membenciku. Aku sangat merindukan peri-peri hutan itu. Mungkin dengan
adanya mereka, kami lebih bahagia di tengah derita hidup bersama ibu yang
begitu jahat.
"Nenek tahu cara mengundang peri-peri itu," bisik Nenek saat
bangun tadi. Kami menyelinap. Setiap hari Ibu tidak jauh dari ruang tengah;
menonton TV dengan volume keras dari pagi sampai sore. Ibu tidak memberi izin
keluar untuk main, tapi Nenek bilang kali ini tidak bakal ketahuan. Sayang, perkiraan
Nenek keliru.
"Yang nurut sama Ibu, ya," kata Nenek dengan lirih. Di
bibirnya ada darah. Setelah sekian lama, wajah tua itu jadi sasaran Ibu. Ia
merayapi dinding dapur dan berusaha naik kursi. Aku tidak bisa membantu. Nenek
menyesal. Di matanya seperti ada kesan bahwa kegagalan ini semata karena
jalannya terlalu lama, bukan karena aku yang terlalu memaksa ingin mengundang
peri hutan.
Tentu bukan Nenek yang salah. Peri-peri baik hati! Gara-gara mereka, aku
paksa Nenek sampai ia ditampar. Padahal, selama ini aku yang sering ditampar,
bukan Nenek. Ia tua dan jalannya tertatih-tatih. Ia penyakitan dan kurus.
Ditampar seperti itu, tentu lebih sakit daripada ketika aku yang mengalami. Meski
tak sebahagia teman-teman, badanku tidak kurus.
Dengan kasar Ibu mendorongku ke ruang tengah.
"Anak Setan! Masuk kamar! Tahu gini, kubunuh aja kamu!
Setan!"
Aku terhuyung. Ibu dorong punggungku berkali-kali. Ingin membantu Nenek,
tapi aku tidak berani. Aku tahu peri-peri hutan itu ada di dongeng, tapi bukan
tidak mungkin Nenek mengundangnya. Buktinya ia mau susah-susah mengajakku
menyelinap ke kebun. Tapi, rencana itu lebih baik kulupakan. Harusnya aku cukup
bahagia dengan adanya Nenek.
*
Malamnya aku dihukum setelah Ibu mendengar lebih rinci alasan kami mau
keluar. Nenek tak mengurangi satu kalimat pun, bahwa kami akan pergi mengundang
peri-peri baik hati. Akibatnya, Ibu benar-benar membawaku ke kebun dan
mengikatku di pohon nangka. Nenek tidak bisa mencegah saat Ibu menyeretku
sambil membawa tali tampar.
"Harusnya dulu kamu kubuang ke tempat sampah! Setan!"
Ibu memaki-maki lalu mengikatku. Tak ada yang menolong. Tetangga tahu sudah
lama Ibu membenci dunia luar. Apa aku datang dari benih lelaki yang tinggal di
dunia luar, aku tak tahu. Kenapa Ibu menyebutku 'anak setan', bukan 'sayang', 'honey',
atau 'Zahra', aku tak tahu. Setahuku, sejak bisa meningat, Ibu menganggapku
anak setan. Ia memukul setiap hari, dan puncaknya malam ini. Bertubi-tubi
tangan dan kakinya menyerangku. Aku merintih, pedih.
"Tidur sini! Makan tuh peri!" Ibu
meninggalkanku dalam keadaan antara sadar dan tidak. Kepalaku pusing. Saat
gerimis turun, butir-butir cahaya mendekat padaku, berputar-putar mengelilingi
kepala dan mencolek-colek pipiku. Kubuka mata, tapi tak bisa. Kelopak mataku
rasanya sangat berat.
Mau nyanyi lagu apa? Suara yang indah menanyaiku.
Kujawab, "Bunda."
Suara itu menyahut, Lagu siapa, ya?
"Tidak tahu, pokoknya aku pernah dengar lagu berjudul
Bunda. Lagu yang bagus."
Baiklah, semoga kamu terhibur.
Hujan turun saat mataku terbuka. Denting piano mulai terdengar dan lagu
Bunda permintaanku mulai dinyanyikan. Indah sekali. Jauh lebih indah dari
penyanyi aslinya. Dari rumah, samar-samar Ibu mengumpati Nenek. Ia
menyebut-nyebut nama seseorang: Memang Sutan setan!
Tak ada suara Nenek, tapi di sini, buah arbei jatuh menimpa wajahku dan
belasan makhluk mungil bersayap emas terbang ke sana kemari. Lagu 'Bunda' belum
usai saat sesuatu mengelus rambutku; dahan pohon arbei! Ia bertanya minta
didongengkan apa malam ini.
"Putri arbei dan peri-peri hutan."
Baiklah. Sini, rebah di pangkuan Nenek.
Pohon itu pun memelukku. Senyumnya sama, tapi ia tidak lagi menangis. [ ]
Gempol,
Agustus - Oktober 2015
KEN
HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni
1991. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi. Freelance editor yang
belajar jadi wiraswasta. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young
Writer Award 2014 dan nominator (4 besar) ajang Siwa Nataraja Award 2015
kategori cerpen. Kini menjabat Unsa Ambassador 2015.
Aku belajar banyak dari tulisan-tulisanmu, Ken.
ReplyDeleteSukses terus ya!