"Tipu Daya"
![]() |
Ilustrasi cerpen "Tipu Daya" oleh Ken Hanggara |
Kali kesekian eranganmu
mencabik gendang telingaku. Darah melukis sungai pada dingin wajah bidadari
setengah iblis, tapi kau belum puas. Kau lepaskan dan hempaskan kesal dari
balik bukit kembarmu lewat sebilah pisau. Ya, pernah kutanam cinta dan rasa
nafsu di kedua bukit itu, dulu. Lalu kamu pasrah dan diam, bahkan menikmati
hari-hari terakhir keberadaan suamimu yang sama sekali tak kau cintai. Kepadaku
waktu itu kau berkata penuh tekanan, "Segera kerjakan!"
Dalam gemingku, kenangan
terpancar dari bening bola matamu. Seakan Tuhan dan iblis bersatu padu dalam
suatu rekayasa imajinatif. Suatu hal yang mustahil. Kau duduk di bangku pusat
kerumunan kru dan perkakas shooting. Dari balik topi lebar, kau titah
segala-galanya dengan telunjuk berkuku merah. Kau bersandar angkuh sebagaimana
sutradara bekerja.
Alangkah manis dan patut
diincar, pikirku. Dulu dan sekarang sama saja. Prinsipku tak berubah andai
sekarang kita tidak dalam kondisi ini. Kau dan aku membangun layar rekayasa dan
membuat orang-orang tercengang; bagaimana mungkin perempuan mungil mengatur
semesta di sekelilingku yang amat luas? Bagaimana mungkin ia sulap akalku
seakan Tuhan yang disembah olehku sejak bayi tidak lagi berlaku di mata
bejatku?
Harapanku iblis
menikahimu, bahkan menjadikan tubuhmu boneka yang dikendali dengan tali-temali,
sehingga yang terjadi memang suatu bencana. Tak ada tipu daya. Tak ada
halusinasi. Aku dengan badan lebam dan lumpuh kini, megap-megap dalam kuasa tak
seberapamu—yang menjadi begitu luar biasa oleh bantuan Iblis. Aku lebih suka,
bila saatnya tiba, habisi saja sehabis-habisnya.
"Kau yakin
kenyataan bahwa iblis dan Tuhan yang berseberangan membuat dirimu
selamat?" tanyamu sinis.
"Ya!"
"Bagaimana kalau
sebaliknya?"
"Maksudmu?"
"Tak bisa dibedakan
antara hitam dan putih. Samar-samar antara neraka dan surga, antara iblis dan
Tuhan. Apa yang kau lakukan?"
"Enyah kau
jalang!"
Darah kembali mengalir
ketika kau, dengan segala upaya picikmu, memperdayaku sekali lagi. Sebilah
pisau menari mengikuti lentur tubuh sintalmu. Kau bergoyang dalam situasi
ganjil. Dikepung aroma kematian, dirimu semakin liar tak terkendali.
Kenangan itu kau tempel
permanen di otakku, seakan kedua bola matamu punya sihir, sehingga arsip kita
terkuak dalam suatu layar. Tontonan barbar dengan kau sebagai sutradara dan
penulis skenario. Tubuhku nyasar di ruang kosong dengan sebutir kepala
manusia menggelinding ke kolong meja. Bau amis terdeteksi. Tapi harum tubuhmu
merayapi badanku, menutup amis, merajai keadaan, sehingga lalat yang berlompatan
di sekitar hidung dan rambutku tak ada artinya.
Kita pernah menikah
dalam persekutuan laknat. Tubuh mungilmu dan gempalku menyatu sebagaimana iblis
memperdaya bidadari di pojok surga dan mereka diam-diam kawin tanpa
sepengetahuan Tuhan. Adakah yang begitu? Tidak. Tuhan pasti tahu meski kau
bilang 'tidak'. Tapi katamu, kita memang seharusnya begini dan apa pun
ceritanya, setidak-masuk-akal apa pun, toh segalanya telah terjadi. Iblis dan
bidadari menikah di taman surga!
"Kau iblis... dan
aku bidadarinya," katamu.
Sejak itu, tradisi dan
aturan lama jebol. Berkali-kali bukit kembar kita singgahi dan kita merayap
dari satu titik ke titik lain, sembunyi dari kejaran orang bayaran keluarga.
Jika suatu waktu tak seorang pun mencium keberadaanmu, kita bisa tinggal di
suatu gua sampai berhari-hari. Bercumbu, makan, bercumbu lagi, makan lagi.
Persis binatang! Pergi dari pasungan untuk kepuasan, kau terjang tembok
diskriminasi pendosa. Kau terabas tatanan yang ditegakkan bapak kandungmu
dengan susah payah sampai harus berkorban harga diri.
"Dulu saja,"
kataku padamu usai menanam cinta di antara kedua bukit kembarmu, "kau
begitu lemah dan tanpa harapan. Sekarang, kau berbeda."
"Kurasa kau suka
dengan diriku yang baru?" tanyamu kecewa sambil meraba-raba kolong tempat
tidur dan mengambil sepotong lengan pucat. Dari jari manis lengan tak bertuan
itu, kau ambil sebuah cincin berlumur darah. Lalu kau katakan bahwa cincin ini
lebih pas untukku, meski aku amat kurus. Kau paksa aku memakainya. Aku takut,
tetapi aku memasangnya juga dengan penuh rasa jijik.
"Seharusnya kita
tidak tidur di atas potongan-potongan tubuh ini!"
Tapi kau, dengan kesan
baru yang kenes sekaligus sinting, melirik manja dengan bibir menipis dan
kepala direbahkan ke ketiakku. Mengelus-elus dadaku dengan telapak tangan
berlumuran darah. "Apa pun katamu, toh segala rencana terlaksana."
"Sempurna! Dan kita
bercinta di tengah koloni lalat!"
Sekali waktu kita pindah
ruang lain, ke gua lain, dalam pengembaraan penuh risiko. Semua itu hanya demi
tidak tertangkap basah atau sekadar pergi dari rasa muak mau muntah akibat
bau-bau anyir—yang kini menjadi busuk, mengganggu tidur dan selera makan.
Katamu, aku makan saja
dengan lahap. Tak usah memusingkan soal bau atau selera. Karena
potongan-potongan tubuh dan kepala itu sudah tertinggal jauh di belakang. Tapi
kubilang, selera makan berbanding lurus dengan perasaan. Kau tersinggung.
"Perasaan," katamu, "tidak selalu begitu. Aku dari tahun ke
tahun sudah muak, tapi toh rela menjadi kasur bagi lelaki gembrot."
"Kita beda."
"Bagaimana?"
"Kau diciptakan
untuk menjadi kasur. Dan lelakimu memang babi."
"Kau yang
babi!"
"Babi lebih polos
dari iblis, 'kan?"
"Kukira kau bukan
iblis, bukan juga babi. Baiklah, kau yang malaikat dan akulah iblisnya. Gimana?"
Kujawab bahwa sebaiknya
kita tidak usah bermetafora. Iblis dan malaikat amat susah dibedakan dalam
kasus ini. Kerumitan yang kau rancang membuatku setengah gila menjalani hidup
baru. Buanglah bayang-bayang surga, dan sebut sejujurnya dengan sekadar tempat
tidur perkawinan tanpa restu. Lalu kita anggap perbuatan dosa tempo hari adalah
harga yang harus dibayar.
Namun, kamu dengan
kemampuan menitah lewat telunjuk berkuku merahmu, dari waktu ke waktu semakin
berubah. Suatu malam kukutuki diri karena merasa jadi bagian dari skenariomu.
Seekor iblis menggerayangimu suatu malam karena aku tidak bisa lagi menambal
pintu dan jendela-jendela di kamar tempat kita berlindung dari perpisahan. Ide
berpisah adalah mimpi buruk dan kau amat phobia. Untuk itulah, katamu,
kita harus menambal setiap pintu dan jendela dengan uang kalau tetap mau
bersama.
"Kita beli minyak
kesturi dan gumpalan kain untuk menambal pengetahuan dunia luar, sekaligus
mengusir sisa-sisa bau dari potongan tubuh masa lalu."
Tapi aku tak bisa
melakukannya. Bayang-bayang itu terekam jelas dalam pikiran: seorang lelaki
meronta-ronta. Kau pekikkan semangat juang padaku seolah-olah kita bermain di
sore pada musim libur sekolah, seolah ada tradisi mengepung seekor babi di
kampungmu. Tugasku menjebak binatang jelek itu, lalu menjeratnya, mengerat
lehernya hingga mati kehabisan darah. Dan kau bersorak-sorai menyiapkan
bumbu-bumbu guna memasak daging babi itu untuk dimakan bersama.
Ketika kepala itu lepas,
kau jambak rambutnya dan kau pandangi penuh rasa puas. "Sate? Tidak, tidak
bisa! Gulai? Tidak juga. Dibuang saja!" Lalu sebutir kepala penuh darah
menggelinding ke kolong meja!
Yang berikutnya kuingat
adalah: kau dengan jari telunjukmu menitah ini-itu, yang entah kenapa begitu
mudah kululuskan, tanpa sedikit pun berpikir menolak, seakan aku budak yang
tunduk pada bukit kembar menggiurkan itu. Tunduk setunduk-tunduknya pada nafsu
hewani di luar akal sehat.
Dengan riang kau
sodorkan sehelai karung, lalu melepas penutup tubuh dan melompat ke surga
ciptaanmu. Alangkah jauh kau yang dulu dan kau yang sekarang. Kecantikanmu tak
berubah, walau seribu tahun sekalipun. Namun, kau dengan perangai lembutmu,
tidak lagi ada di wajah dingin ini.
Kurindukan tutur bahasa
priayimu ketika itu, "Kita kawin lari, Mas. Bapak lho utang-utangnya
banyak banget. Aku sedih." Percakapan itu lekat di ingatanku, meski tak
sekuat pembunuhan berencana yang kita lakukan terhadap suami yang kau kawini
dengan terpaksa sebulan kemudian akibat utang-utang bapakmu. Lelaki babi,
katamu.
Sejauh ini para hidung
belang senang menyaru bagai bidadara-bidadara dan kamu dengan bangga melantik
dirimu sebagai iblis wanita termanis. Sejujurnya aku tak suka. Akhirnya kukutuki
diri karena tak bisa menghujanimu uang. Iblis menggerayangimu malam demi malam
karena aku tidak bisa lagi menambal pintu dan jendela-jendela di kamar tempat
kita berlindung dari perpisahan. Hanya Iblis yang bisa menambalnya.
Kau lepaskan dan
hempaskan kesal dari balik bukit kembarmu lewat sebilah pisau, saat kubunuh
iblis kesayanganmu dengan tangan kosong. Sembelih saja, katamu. Tapi kubilang,
aku tak sudi mengotori tangan atas titahmu.
"Tentu saja. Babi
dan iblis itu beda. Tapi, aku tak pernah tahu kamu ini sebetulnya apa, Mas!
Kukira salah besar kusebut dirimu malaikat!"
"Terserah saja kau
sebut aku apa."
"Ya baguslah.
Akhirnya kita mati. Tanpa tambalan di pintu dan jendela ruangan ini, aku dan
kamu tidak akan melanjutkan hubungan."
Maka, tertawalah kau,
Iblis, dengan segala tipu dayamu! [ ]
Gempol, 30 Agustus 2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, resensi. Freelance editor yang belajar jadi wiraswasta. Juara
2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan nominator (4
besar) ajang Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Kini menjabat Unsa
Ambassador 2015.
Comments
Post a Comment