"Sang Model"
![]() |
Ilustrasi cerpen "Sang Model" oleh Ken Hanggara |
(Dimuat di tamanfiksi.com, edisi 05, September 2015)
Begitu Sanjaya berkemas
pulang, Marlina—model yang sempat naik daun sepuluh tahun lalu, yang tenggelam,
tak lagi muncul karena masalah narkoba—menarik lembut lengannya. Mata mereka
beradu beberapa detik, dan berhenti karena ingat mereka tidak bisa bertemu lama
di luar jam kerja. Sanjaya, atau biasa dipanggil San, atau cukup dengan Jay
saja, beringsut dan mengambil perlengkapannya yang jatuh berguling di lantai
semenit lalu.
"Apa kamu datang
lagi?" Wanita itu bertanya setengah cemas, tapi lebih terkesan pasrah.
Tahun-tahun yang gemilang telah pudar. Barangkali tidak akan bisa kembali,
meski ia berharap bisa memancing satu-dua kenangan lama menjadi suatu hal yang real.
"Entah." San
menjawab pendek.
"Tidak bisa tidak.
Aku belum dapat salinannya."
Marlina tersenyum dan
melirik penuh arti, menyimpulkan sendiri nasib hubungan mereka di masa depan,
dari kecerobohan San meninggalkan laptop di ruang kerja di rumahnya
sana, sehingga lelaki itu belum benar-benar menuntaskan pekerjaan sebelum ia
seharusnya pergi.
"Kurirku kemari dua
hari lagi," kata San, membuka pintu kamar.
Marlina mendengus kesal
dan bicara dengan suara lantang, bahwa bisa saja Jay menghindar, lari seperti
dulu, tapi sebagai mantan partner—tepatnya mantan kekasih gelap, yang
memutuskan bersahabat setelah kasus narkoba mencuat dan pudar ditelan waktu—Marlina
juga berhak datang ke rumahnya, andai ia tidak mau mengantar salinan hasil
pemotretan malam ini.
San berhenti. Tubuhnya
membeku dan tampak bagai patung batu hidup, yang diam di tempat meski wajahnya
berkerut-merut dan lubang hidung jadi kembang kempis. "Ada Nila,"
begitu kalimat pendeknya terlontar; tegas dan lugas, seperti keputusan final
yang tidak bisa direvisi.
Marlina tak acuh. Ia
biarkan San—atau yang ia panggil Si Genit Jay—bimbang, lalu menimbang
sebaiknya ia datang sendiri ke apartemen yang menurutnya busuk ini, demi
mengantar salinan foto Marlina dalam compact disk.
Sesuai harapan model
itu, San tidak berdaya. Sekali memutuskan, Marlina tidak mungkin menunda, apalagi
membatalkan. Itu khas dirinya yang keras kepala. San tidak bisa membayangkan
pertemuan di rumahnya nanti, di depan Nila pula, dengan mantan kekasih yang
penuh cerita miring, membuat bencana masa lalu kembali dalam bentuk berbeda.
"Kau menang." San akhirnya berkata.
"Ayolah, Jay-ku
yang genit," goda Marlina, "kamu tidak usah berpura-pura."
Sanjaya tak mau buang
waktu—ia janji mengajak Nila, istri sahnya, makan malam, jadi ia tidak
pedulikan ucapan itu dan memutuskan segera pulang. Pura-pura? pikirnya. Kau
tidak banyak berubah, Marlina. Kau sama sampai tua nanti. Dasar wanita jalang!
Marlina mengantarnya
sampai lobi. Sepanjang lorong hingga lift, keduanya tak bicara sepatah
kata pun. Hanya sesekali wanita cantik itu mengungkit masa lalu, seperti
misalnya saat pertama kali mereka datang kemari. "Kamu itu baik, Jay. Aku
tahu. Nggak mungkin kamu yang pelit mau membayar uang sebanyak itu untuk
memberiku tempat tinggal di kota ini. Kota yang katamu busuk. Padahal kamu tahu
kota ini sangat indah dan penuh kesan."
San melengos. Kata-kata
itu lagi. Ia muak dan bosan. Bahkan, kalau bisa memilih, ia lebih suka terjebak
di masa sebelum mengenal Marlina dulu. Masa-masa bersih, yang sempat ia kira
menjenuhkan, tapi kini begitu ia rindukan. Hidup sebagai direktur utama di
sebuah perusahaan besar, single, dikejar-kejar wanita cantik,
memiliki rumah mewah di beberapa kota, menyantuni anak-anak yatim, dan berharap
suatu saat mendapat jodoh yang tepat, yang tidak sekadar cantik, tetapi juga
berkepribadian baik.
"Tapi benar. Kalau
tidak ketemu kamu, barangkali aku sudah bunuh diri. Makanya kusebut kamu baik,
Jay. Ini keluar dari lubuk hatiku. Kamu harus tahu."
Mereka tiba di lobi.
Sanjaya tidak ingin bicara dengan Marlina. Ia datang ke tempat ini saja sudah
dianggapnya sebagai tindakan bodoh dan ceroboh. Ia pikir Marlina pergi jauh
dari kota ini. Ia pikir Marlina tidak mengganggu hidupnya lagi. Sudah lima
tahun sejak kejadian itu, mereka tidak lagi bertemu. Persahabatan yang dimulai
dengan cara terpaksa harus putus begitu saja, setelah San memutuskan menikahi
Nila dan memulai hidup baru dengan tenang.
Sebelum mobil yang
menjemput San tiba, Marlina dengan sinisnya berujar, "Paling tidak aku
tahu terima kasih. Tahu gimana rasanya miskin. Utang di mana-mana.
Kuliah putus. Tapi setelah kamu datang, semua berubah. Hidupku jadi lebih baik.
Keluargaku naik kelas, dari miskin menjadi berduit. Semua berkat kamu. Yah,
meski akhirnya masalah-masalah baru datang."
Sanjaya tidak lupa
pertemuan pertamanya dengan Marlina di sebuah kafe. Gadis manis yang lesu dan
menyimpan kesedihan. San yang hobi fotografi menyadari ada potensi di diri
Marlina, begitu selesai ia mengambil beberapa gambar wajah manis itu diam-diam.
Ketika itu mereka belum kenal. San memandangnya dari jarak beberapa kursi,
melihat ada kesulitan besar menimpa pegawai kafe yang manis itu.
"Aku tidak lupa
kalimat pertamamu, Jay," kata Marlina saat sorot lampu mobil terlihat.
"Coba tebak." Karena San diam, Marlina sendiri yang melanjutkan,
"'Mestinya kamu punya masa depan. Dan, yah, sejak itu aku resmi jadi
modelmu, meski masih amatir."
Mobil jemputan berhenti
di depan mereka. San menoleh, mengangguk, lalu tanpa bicara, masuk ke kursi
belakang dan menutup pintu. Ia melihat Marlina melambaikan tangan dengan senyum
nakal—suatu hal yang tidak ia sangka ada pada jiwa wanita itu. Dulu Sanjaya
melihat Marlina bagai mutiara, terbenam dalam lumpur pekat, tidak ada yang
menemukan, sampai nasib membawa mereka bertemu. San menawarkan sesuatu pada
Marlina, setelah mereka berkenalan dan tahu masalah apa yang menimpa si gadis.
Ternyata klise: utang-piutang. San dengar ada lomba fotografi, di mana para
peserta bebas memotret apa pun. Pemenangnya dapat hadiah jutaan rupiah.
Dimulailah kerjasama itu.
Mereka menang. San
memberikan seluruh hadiahnya untuk Marlina. Sementara gadis itu sendiri
menganggap Jay sebagai malaikat. Sejak itu kegiatan fotografi mereka tidak bisa
dibendung. Hari-hari kian sibuk. Tawaran demi tawaran datang. Mereka pergi ke
berbagai tempat, menginap di luar kota, mengikuti perlombaan, atau sekadar
mencari tempat yang bagus untuk latar belakang. Hingga akhirnya keduanya
meneken kontrak eksklusif dengan majalah mode ternama ibu kota dengan Marlina
sebagai maskot.
Pekerjaan lama San harus
ditinggalkan. "Saatnya terbang, lepas dari sangkar," kata San ketika
itu. Ia sudah kaya. Baginya uang tidak lagi menarik hati. Kesepian karena
terlalu lama sendiri, membuat San ingin menghabiskan sisa masa mudanya di usia
hampir kepala empat, dengan dunia baru. Aktivitas fotografi jadi pelampiasan
setelah bertahun-tahun hidup sebagai robot di bawah aturan. San menemukan jati
diri tepat di saat ia menemukan potensi dalam diri Marlina.
San membeli apartemen
untuk modelnya. Sebetulnya ia punya pacar ketika itu, namanya Nila. Tapi
intensitas pertemuan dengan Marlina yang padat membuat mereka nekat bemain api.
San cukup cerdik menyembunyikan ini tanpa ada yang tahu, termasuk rekan-rekan
seprofesi. Mereka tahu hubungan keduanya sebatas partner, yang jika bisa
dibilang lebih dari itu, mungkin sebatas saudara angkat.
Sayangnya, Marlina mulai
bertingkah. Setahun sejak ia terkenal, ia lepas kendali. Dunia gemerlap dan
narkoba menjeratnya. Ia ditangkap membawa beberapa jenis narkoba di sebuah
klub. Namanya coreng. San memutus kontak dengan dunia fotografi. Ia menyendiri
enam bulan, sampai bertemu lagi dengan mantan modelnya di ruangan khusus bagi
para penjenguk, di sebuah panti rehabilitasi.
Sanjaya lalu menikah dan
tidak lagi mendengar kabar Marlina. Ia ingin melupakan masa lalu. Marlina yang
manis dan pendiam, ternyata cepat lupa diri dan hanyut di tengah deras arus
pergaulan bebas. San sempat mengutuki diri. Meski keluarga Marlina terangkat
derajatnya oleh uang dan ketenaran, anak perempuan mereka hancur. Marlina
bahkan tidak menuntut apa-apa setelah San menidurinya beberapa kali.
Sering San membatin,
"Mungkin ini salahku, tidak sepenuhnya salah Marlina. Dia jalang karena
aku. Dia rusak karena kami tidak bisa mengontrol diri. Kalau saja salah satu
dari kami menolak—atau terpikir soal menikah, membangun rumah tangga, bukan kumpul
kebo—masa depan bisa saja berbeda."
Tapi San mencintai Nila,
tidak seperti pada Marlina yang lebih ia lihat dengan kacamata nafsu. San
menekuni hobi fotografi lagi, sesekali menerima tawaran memotret, dengan
bayaran yang lumayan untuk memberi dia dan Nila kesenangan kecil, seperti malam
malam berdua, misalnya.
Sore ini Sanjaya tidak
menyangka. Klien yang memanggilnya adalah orang yang dulu sempat hidup
bersamanya dalam kesenangan semu. Ia kira mantan modelnya sudah pergi ke
kampung asal, atau malah bunuh diri dan kini dikubur entah di mana. Tapi, ia
salah. Marlina bahkan tak ragu melepas satu demi satu penutup tubuhnya, hanya
untuk memancing hasrat lama sang fotografer.
San berharap ini mimpi
buruk. Ia bantah tema yang Marlina pilih, tapi wanita itu tidak mau berubah.
San pikir, baiklah, cuma pekerjaan. Blitz-blitz berkelebatan di
lekuk tubuh yang masih bagus. Jika dulu yang ia simpan dalam bingkai sekadar
wajah ayu Marlina, kini semua berbeda. San—atau Si Genit Jay, menurut Marlina—tak
berkutik saat melihat Marlina berpose tanpa sehelai pun kain penutup. Di saat
terakhir, sang model sempat berkata:
"Jangan pikir aku
jual diri, Jay. Ini pekerjaan baruku. Majalah internasional yang dikecam di
sini tahu kecantikanku. Aku beruntung di usia yang menginjak kepala tiga,
mengingat industri ini sangat ditentukan oleh usia dan tampilan seorang model.
Kamu tahu itu. Aku tidak bangkrut. Ini semata soal perasaanku padamu." [ ]
Gempol, 26 Juli
2015
Comments
Post a Comment