"Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem"
![]() |
Ilustrasi cerpen "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" oleh Ken Hanggara |
Seonggok bayi berbaring di tumpukan sampah. Entah
bayi siapa. Dia menangis karena pagi begitu dingin. Dia menjerit karena lapar.
Dia bergetar karena ingin tahu siapa yang menaruhnya di situ sehingga kulitnya
jadi gatal-gatal, atau ingin tahu siapa ibu-bapaknya yang dengan tega
menelantarkannya.
Bayi itu berbalut kain gorden warna krem.
Dibungkus begitu saja bagaikan lemper, lalu diletakkan di atas kardus bekas
wadah Indomie yang sudah ditata sedemikian rupa. Tak ada yang tahu ada bayi di
situ, karena tumpukan sampah ada di tepi kampung, dekat rawa-rawa, dekat tanah
kosong yang dirimbuni pepohonan bambu.
Bayi itu menangis dan menangis, sehingga misal ada
yang dengar dan orang itu membawa dendam, bisa sirna saking kuatnya getaran
kemanusiaan yang terkandung dalam suara si bayi. Orang itu bisa batal dendam
atau tidak jadi membunuh lawan yang entah di mana, gara-gara tangisan bayi itu
mengundang iba.
Rumah terdekat berjarak sekitar 70 meter, tetapi
penghuninya nenek tua yang tuli. Jadi percuma si bayi menangis makin keras
akibat kedinginan, juga kelaparan. Toh tidak ada yang mendengar, kecuali nanti
kalau ada orang yang masuk ke tanah kosong itu untuk berbuat mesum, atau
sekadar mencari tempat sunyi untuk merenung.
Mendung bergelayut di langit sana. Hawa makin dingin
dan si bayi tidak tahan. Walaupun kain gorden warna krem itu, yang tampak
usang, membalutnya rapi dari leher hingga ujung jemari kaki, tetap saja bayi
itu menjerit-jerit. Mungkin tidak tahan oleh bau jejalan sampah. Atau tidak
tahan ingin pergi mencari tempat baru yang hangat entah di mana. Atau tidak
tahan ingin bertemu sang ibu dan membuat perhitungan karena ibunya kejam dan
tega.
Tapi bayi itu tetap di sana, berbaring dengan
balutan kain gorden warna krem tanpa bisa ke mana-mana, karena dia cuma bayi.
Dia cuma bisa menangis dan bergetar-getar sehingga pecinta bayi dipastikan
mengutuk perbuatan orangtua yang membuang anak kandungnya seperti ini.
Sayangnya di sini tak ada pecinta bayi. Adanya
rimbun pohon-pohon bambu dan pagar berkawat duri, serta tumpukan sampah yang
baunya busuk minta ampun. Sang bayi terus menangis, meski lelah, lapar, kesal,
bingung, heran, dan mungkin bertanya-tanya tempat busuk macam apa ini?
Ketika mendung menebal, angin berembus dari satu
arah. Daun-daun bambu luruh, puncak pohon doyong ke satu sisi dan berkibar
bagai wanita raksasa berrambut keriting mengerikan. Andai pepohonan bambu itu
wanita, meski raksasa, jauh lebih baik karena akan ada yang menenangkan si bayi
atau meninabobokan, juga menyuapinya buah pisang yang pohonnya tumbuh tidak jauh dari tanah kosong agar
si bayi berhenti menangis.
Tapi bisa juga malah lebih buruk: wanita raksasa
itu kira si bayi yang menangis dengan suara bergetar adalah makanan. Camilan
pagi hari. Maka dengan sekali gerakan, hap... bayi itu hilang dari muka
bumi. Pindah ke lambung monster yang entah datang dari dunia mana. Begitu
sampai di lambung, bayi itu mulai tenang, karena rasa hangat menjalari badan.
Ia tidak menangis lagi, kecuali nanti ketika asam lambung mulai melumatnya dan
ia sudah tidak bisa berpikir untuk mencari ibu kandungnya.
Syukurlah pohon bambu adalah pohon, bukan wanita
raksasa, sehingga betapapun butuhnya bayi itu akan kehadiran sosok wanita,
tetaplah kejam kalau sampai ia ditelan dan dicerna begitu saja. Karena bayi itu
bukan camilan. Bayi itu juga bukan permen. Bayi itu anak manusia, hasil
hubungan badan di suatu tempat. Entah dengan atau tanpa cinta, entah dengan
atau tanpa restu. Bayi itu hasil persatuan sel telur dan sperma dalam perut
seseorang.
Kenapa Tuhan menciptakan bayi dari nafsu? Bayi itu
mungkin tidak tahu ia hadir karena adanya nafsu di suatu hari yang lama,
setidaknya lewat dari tujuh bulan lalu. Ia hadir karena hasrat seseorang yang
sifatnya amat sementara. Dan kini, begitu lahir, ia ditelantarkan. Wajar bayi
itu menangis. Mungkin kesal karena tidak tahu siapa ibunya. Mungkin jengkel
karena lahir dari rahim wanita bernasib jelek. Kalau wanita yang mengandung
dirinya tidak bernasib jelek, sekarang dia ada di gendongan seseorang, jadi
rebutan dicium, ditimang bergiliran di sebuah keluarga. Semua memujanya. Semua
merindunya. Dan ia punya rencana masa depan yang disusun seapik-apiknya.
Tapi bisa juga yang terjadi tak semanis itu. Bisa
juga ia digendong dengan muka cemberut oleh seorang ibu. Lalu seorang lelaki
datang dan memaki-maki istrinya. Bayi itu ingin pergi ke tempat jauh karena
rumahnya sangat berisik. Ia tidak bisa tidur tenang karena bapak ibunya
bertengkar setiap hari. Dan ia mulai lapar karena ternyata di rumah itu ada
banyak bayi, yang berwajah lebih tua dari dirinya.
Nasib tidak bisa ditebak. Begitu pula si bayi
berbalut kain gorden warna krem ini; yang tergeletak tanpa daya, dan cuma bisa
menangis di atas kardus bekas wadah Indomie yang ditata sedemikian rupa.
Sesekali sebelah tangannya menepis wajah karena satu dua ekor lalat terbang di
sekitar. Barangsiapa melihat dan mendengar suara sang bayi pasti langsung
datang dan ada seribu satu kemungkinan yang terjadi. Mungkin ia dipungut dan
dianggap anak. Dirawat dan dibesarkan penuh kasih sayang. Disekolahkan dan
dididik dengan benar. Diajari agama biar kelak masuk surga. Diarahkan sehingga
masa depannya jelas, tidak seperti ibu dan bapak kandungnya yang bejat dan
entah di mana.
Tapi, lagi-lagi, bisa saja nasib buruk terjadi.
Misal ia diambil lantas dijual untuk mendapat sejumlah uang. Di tempat baru
itu, si bayi dirawat seadanya oleh sekelompok preman. Dibesarkan seenak udel.
Tidak disekolahkan. Tidak dikirim ke guru ngaji. Hidup dengan mengamen dari
satu bus ke bus lain, mengemis dari satu rumah makan ke rumah makan lain. Ia
juga dipaksa mencuri. Jalanan membuatnya lupa bahwa dulu ia pernah mencari
ibunya sendiri di suatu pagi yang dingin di tepi kampung, dalam balutan kain
gorden warna krem, di atas kardus bekas wadah Indomie. Ia tidak diarahkan sehingga
kalau besar nanti jadi bajingan persis bapak atau ibunya.
Betapa malang dan kasihan bayi itu. Mendung tebal
menjatuhkan satu dua tetes air. Kalau bukan karena rimbun pohon bambu di
dekatnya, ia sudah basah dalam waktu dua menit. Tapi, bayi itu pelan-pelan
merasakan tetes air menyentuh kening, lalu turun ke alis, ke hidung, ke pipi,
ke dagu. Ada yang masuk mulut, ada yang membuat mata pedih secara tiba-tiba dan
ia menangis makin kencang.
Sungguh ajaib. Bayi itu menangis tiada henti tanpa
kehabisan suara. Barangkali Tuhan memberinya stok suara seperti penyanyi level
internasional yang bisa bernyanyi dan bernyanyi sampai dua jam tanpa putus.
Bayi yang tangguh. Ia bisa punya masa depan kalau tidak mati. Mungkin jadi
penyanyi. Mungkin jadi tentara. Tapi siapa yang memungutnya dari tempat
terpencil?
Hujan mulai deras dan bayi itu jelas tidak bisa
menghindar. Ia bergetar-getar dan menggigil. Ia menangis dan tidak bisa
berpikir lagi soal ibunya. Ia sangat lapar.
Kalau saja ada malaikat lewat, yang memang sengaja
diutus Tuhan, sehingga bayi itu terkejut dan senang, lalu berkata dalam hati,
"Wah, kamu malaikat, ya?" Malaikat itu mengangguk dan menyuapinya
sepiring bubur. Minumya sebotol susu hangat, bukan teh botol, karena malaikat
tidak tahu teh macam itu. Si bayi pun diajak ke rumah besar dengan kamar yang
nyaman dan hangat. Di sana ia tidur dengan tenang tanpa pusing memikirkan hari
esok.
Entah dari mana bayi itu tahu arti kata malaikat.
Yang ia tahu orang itu berwajah cahaya dan sangat mulia. Dan yang ia tahu, ibu
dan bapak yang membuangnya tidak sebaik itu, sehingga mungkin suatu saat
sesudah bayi itu tumbuh dewasa, ia anggap sepasang manusia itu adalah setan.
Tapi, tentu, sang bayi berbalut kain gorden warna
krem ini masih menangis bergetar. Hujan belum akan reda dalam waktu dekat.
Seseorang yang membuang bayi ini tidak terpikir kalau sebentar lagi turun
hujan, sehingga siapa pun itu tidak membuatkan naungan bagi si bayi. Kalau saja
bayi ini bisa berdiri, lalu menggunakan tangannya sebagaimana fungsi tangan manusia
dewasa; ia bisa membangun tenda dari kardus bekas wadah Indomie dan tidak perlu
kedinginan. Sayangnya, dia cuma bayi yang bisa menangis dan menangis, serta
lapar. Tidak bisa bikin kerajinan tangan.
Saat hujan jatuh, lalat-lalat berhamburan dan menyebar
tak tentu arah. Tumpukan sampah busuk dan menyengat hidung siapa saja, termasuk
hidung si bayi yang suci dan mungil. Berbagai sampah bercampur baur. Tidak
dipisah antara yang basah dan yang kering, sehingga kuman penyakit dan segala
jenis binatang kecil yang mungkin ada di sana tidak pilih-pilih tempat.
Tapi bayi itu tidak bisa menutup hidung dari bau.
Dan ia juga tidak bisa menggaruk leher yang tiba-tiba gatal dan panas. Dua ekor
semut merayap dan melekat di sana. Bayi itu menjerit kencang. Air matanya deras
bercampur hujan. Semut-semut lain mendapat undangan dari kawannya. Semut-semut
berbaris. Semut-semut masuk kuping, mulut, dan balutan kain gorden warna krem.
Bayi itu mengejang-ngejang dan tangisnya kian
keras. Pada saat itu seseorang datang dan tahu betapa malang kondisi bayi
mungil yang belum satu hari dilahirkan. Orang itu mendekat dan mengusir
semut-semut nakal. Diraihnya sang bayi, dipeluknya, diciuminya sampai puas. Ia
beri nama Adam, karena selama ini tidak pernah punya anak.
Adam anak pertama, manusia kecil pertama yang ia
miliki. Dan ia melenggang diiringi olok-olok: "Bayine sopo, Tin?
Genderuwo tah?"[1]
Wanita itu tak menggubris selain mengusap daster yang bolong-bolong untuk
dijadikan selendang.
Para warga tak berani mengambil sang bayi, yang
entah milik siapa, karena takut dilempar batu sebagaimana kebiasaan Tini
melempar jendela tetangga. Tapi setidaknya dia berjasa, menyelamatkan Adam dari
kemungkinan mati dirubung semut, sehingga cerita ini bisa sampai ke telinga
Anda dari satu-satunya orang yang ada di tumpukan sampah pagi itu.
Gempol, Juli - September 2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Juara 2 wakil Indonesia di ASEAN Young Writer Award
2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Menjabat Unsa
Ambassador 2015.
Comments
Post a Comment