"Siluet Ibu"
![]() |
Ilustrasi cerpen "Siluet Ibu" oleh Ken Hanggara |
(Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, Sabtu, 1 Agustus 2015)
Matahari tergelincir ke barat. Sam
bergeming, mengenang hari-hari yang lewat. Tujuh ratus empat puluh tiga hari,
kalau tak salah hitung—atau gampangnya ia biasa menyebut 'tujuh ratus hari
lebih', sejak berpisah dengan Ibu. Lamat-lamat azan maghrib bersahutan dari
surau dan masjid di seluruh kota. Seseorang menyentuh pundaknya.
"Apa lagi?" Seorang bocah, teman
seperjuangannya, tampak meringis. Giginya tak rata, sebagian berlubang.
Wajahnya terlihat amat kumal, tapi ceria. Sam tak tahu harus menjawab apa, jadi
ia hanya diam.
"Ada duit, 'kan?"
Sam mengangguk. Mereka menyusuri lantai
kosong. Debu di hampir semua bagian merata, kecuali tentu jalur menuju balkon;
ada tapak-tapak kaki mungil, jejak Sam, juga temannya, Sabari, yang baru saja
menjemput. Langit-langit penuh sarang laba-laba dan lubang hitam, yang jika
hujan, membuat Sam harus bergeser tempat tidur, atau pindah ke lantai bawah.
Sabari ingin makan di seberang gedung:
bakso spesial plus es teh manis. Alangkah lezat. Itulah kenapa ia mengajak Sam
dan yang lain. "Hari ulang tahunku, Bro," katanya tempo hari, meski
masing-masing teman sesama pengamen harus membayar dengan uang sendiri.
Tiba di anak tangga, Sabari turun dulu.
Sam menyusul. Sabari terus mengoceh soal betapa lidahnya tak bisa lupa sensasi
saat pertama mereka mampir ke warung itu. Dagingnya, kuahnya, sambalnya. Mantap
nian. Ia berkelakar seolah hidup tak pernah berat sebelah.
Lain Sabari, lain pula Sam. Di kepalanya
justru bukan terhidang sajian yang sudah empat bulan mereka rindukan, atau
bukan terhirup aroma bakso yang membikin lidah tak tahan. Di kepala Sam justru
terlukis siluet ibunya. Bukan tak mau Sam pulang. Ia rindu masakan Ibu. Tapi,
satu hal membuatnya tak bisa pergi, kecuali menunggu.
"Nanti kalau aku sudah besar dan
sukses, aku bikin usaha warung bakso saja, ya? Biar bisa makan bakso setiap
hari. Bagaimana menurutmu, Sam? Kira-kira, aku rugi, tidak? Pasti tidak dong.
Aku 'kan bosnya," celoteh Sabari tanpa menoleh ke belakang.
Sam ber-hmm tanpa sekali pun
menyahut.
Rasa bakso itu, betapapun nikmatnya,
membuat hatinya sakit. Rasa yang tidak jauh dari kenangan. Di sana ia lihat Sam
kecil duduk di pangkuan seorang wanita. Berdua saja. Ia tak tanya kemana ayah,
atau apa bayi yang dulu dititipkan Tuhan di perut ibu sudah datang? Sam tak
paham sistem pengiriman bayi yang konon dilakukan malaikat penjaga anak-anak,
begitu sang ibu berdongeng. Yang ia tahu hanyalah: bakso itu terlalu panas dan
lidah mungilnya belum siap bersentuhan dengannya.
"Sabar dong, Sayang. Ditiup dulu,
ya?" bisik wanita itu. Kuah panas dan potongan kecil bakso melewati sapuan
bibir merah indah, sebelum sampai ke mulutnya. Sesekali senandung kanak-kanak
terbit dari sana.
Itulah bibir Ibu. Itulah senandung Ibu.
Gedung kosong ini sudah setahun jadi tempat
bernaung. Di lantai empat Sam biasa melamun, memandang barat, arah kampung
asal, tempat ia lahir dan dibesarkan. Rekaman itu dimulai dengan dia dan
ibunya. Sabari berhenti tiba-tiba sehingga mereka tak sengaja bertubrukan.
"Duh, hati-hati dong!" Muka dekil
Sabari tampak kesal. Sam sadar. Siluet sang ibu lepas sudah. Mereka tiba di
halaman depan gedung. Ilalang dan rumput tumbuh lebat di sana-sini. Beberapa
bocah lain melambaikan tangan dari seberang.
Sam percaya kebencian tak pernah Tuhan
ciptakan untuknya. Setidaknya untuk dia yang terlalu kecil. Di sini, ia punya
banyak teman. Kebersamaan yang belum pernah ia rasa sejak otaknya bekerja
dengan baik sehingga tahu tubuh seorang bayi bukan dikirim dari langit, dengan
kotak semacam kado dan label bertuliskan nama ibunya, melainkan tumbuh dan
berkembang di rahim. Sistem itulah yang bekerja. Ruh yang terbang, bukan fisik.
Maka, bisa saja peristiwa itu
salah. Bila saatnya tiba, segala sesuatu bisa kembali. Termasuk ibu dan ayah,
dan mungkin bayi itu. Barangkali. Semoga. Sam terus berharap. Sam
mengenang ini di depan warung. Sabari mengangkat telunjuk, dan menghitung.
Lagaknya persis guru olahraga mengabsen para siswa dengan galak karena
pelajaran hari itu berlari, "Nisa, Dery, Firman, Anton, ..."
Sam membayangkan telunjuk itu milik Ayah.
Ia tatap lekat telunjuk mungil Sabari yang hitam, lalu membatin, "Bukan
salahku, bukan salahku." Sam tak lupa Ayah dengan murkanya berkata
lantang, "Terkutuk! Karena dia cita-citaku kandas!" Betapapun ia tak
tahu apa-apa, setidaknya ia mengerti lelaki itu mulai membencinya.
Sejak itu hanya Ibu yang ada di hidupnya.
Sejak itu, ia lukis siluet Ibu di
benaknya.
Sam sadar saat Sabari menariknya masuk.
Pemilik warung tak curiga, karena tahu anak-anak ini, meski kotor dan dekil,
tetap membayar sesudah makan. Sabari menyebut jumlah mangkuk yang dipesan,
sekaligus memohon potongan harga pada bibi penjual bakso. Permintaan
dikabulkan. Mereka bersorak-sorai.
Sam tenggelam dalam kesedihan saat
teman-temannya bercanda. Sam memandang keluar. Lampu-lampu jalan serempak
menyala. Arus lalu lintas makin padat. Di meja ini, dulu, ia dan Ibu duduk
berdua. Di meja ini, dulu, peristiwa itu terjadi.
Sabari menepuk pundak Sam saat semangkuk
bakso dan teh manis dihidangkan di depannya. Sam tergeragap dan meraba-raba
kantung celananya. Rupanya bolong. Uang hasil ngamen seharian tak
bersisa. Untunglah, teman-temannya baik. Mereka sepakat patungan untuk membayar
jatah mangkuk Sam.
"Hilang lagi? Kenapa setiap kali kita
makan, duitmu selalu hilang?"
"Maaf. Aku tak tahu." Sam
menyesal.
"Banyak melamun sih."
Sam menatap mangkuknya. Asap tipis
mengepul. Ia ambil sendok dan garpu, lalu makan. Tak ada lagi canda. Semua
tekun menikmati bakso. Dan agaknya tak ada yang terlalu banyak berpikir,
kecuali Sam. Di kepalanya masih ada siluet Ibu. Kali ini, wanita itu
menenangkan dirinya yang tak sabar ingin pulang.
"Tunggu dulu, Nak. Ibu habiskan dulu
baksonya. Sabar, sabar."
Sam menelan potongan pertama bakso, tapi
air matanya meleleh. Tujuh ratus hari lebih setelah bertahun-tahun siksaan yang
ia terima, telah berlalu. Andai saja, ia dan Ibu tidak kemari hari itu, mungkin
ia tak pernah disiksa oleh ayahnya, hingga akhirnya sang ibu meninggal karena
luka batin dan ia diusir karena tak dianggap. Andai saja.
Tapi itu terjadi. Sam kecil melonjak tak
sabar. Bayangan kedua kakinya tampak menendang-nendang. Prang! Bunyi
benda pecah. Gelas! Pekik kesakitan sang wanita. Air panas tumpah melukai
sedikit kulitnya dan sebagian besar kulit sang ibu. Ibu refleks melompat hingga
perutnya yang besar membentur tepi meja.
"Darah di mana-mana. Ada darah di
mana-mana," desis Sam tak sadar.
"Kenapa, Bro?"
"Darah. Aku melihat darah, Ri!"
Sabari dan teman-teman menoleh. Tak paham.
Yang mereka tahu: bakso itu makin nikmat dengan saus tomat. Sam membanting
sendok dan garpu lalu pergi. Di tepi jalan ia mematung. Barat sudah beda dari
masa lalu. Dan masa lalu tidak akan sama dengan masa kini.
Sam rindu kampungnya. Rindu Ibu, rindu
Ayah, dan seorang adik yang tak pernah ia punya. Tapi kebencian membuatnya terbuang.
Hingga kini ia berharap keajaiban mengizinkannya bertemu dengan Ibu, meski
hanya melalui batu nisan. [ ]
Marvelous!!!!
ReplyDelete