"Lelaki dalam Bus"
![]() |
Ilustrasi cerpen "Lelaki dalam Bus" oleh Ken Hanggara |
(Dimuat di Solopos, Minggu, 9 Agustus 2015)
Bus malam itu masih melaju
ketika Upi sibuk menggaruk pantat. Sesekali matanya menerawang, memandang tepi
jalan yang dihias pepohonan atau rumah penduduk. Tiang lampu sana-sini. Menyala
tapi kelabu. Hidup segan mati tak mau. Kapan masa depan datang? Kapan masa lalu
hilang? Apa hidup hanya berisi masa kini dan kelak mati dengan kondisi tetap
begini?
Asap rokok dari penumpang
yang duduk berjarak dua bangku darinya, membelai pipi Upi yang kumal. Sudah dua
hari tidak mandi, atau tiga. Entahlah. Tidak penting. Tidak ada ibu yang ngomel,
apalagi ayah yang mengajari ini-itu. Langit dan bumi mengajari langsung bocah
itu segala yang perlu dipelajari dan diketahui untuk sekadar hidup, meski bukan
sebagai manusia utuh.
"Siapa tadi?"
Asap rokok masih menebar aroma khas di deret bangku belakang bus yang sudah
sepi. Hanya enam penumpang tersisa. Lainnya bangku-bangku kosong penuh coretan
nomor ponsel antah berantah, nama-nama gebetan, dan umpatan ala jalanan.
Lelaki itu menyapa.
"Bukan
siapa-siapa."
Bus berhenti dekat tikungan.
Tidak jelas di mana ia sekarang. Upi hanya bisa membaca lokasi dari
benda-benda, pemandangan, dan bangunan di sekeliling. Ia tidak pernah mengenal
huruf. Salah satu penumpang turun sebelum bus kembali melaju.
"Bohong."
"Om siapa? Dari mana
tahu kata-kata saya?" Dengan jengkel Upi menyahut lelaki yang menatap
depan itu, tanpa menoleh padanya yang duduk di belakang, di lantai bus yang
hangat dan kotor oleh tanah kering dari sepatu penumpang. Tapi ia tidak
mengharap jawaban. Tidak penting. Sama tidak pentingnya dengan hal-hal yang
tidak perlu diketahui selama hal itu tidak bisa membuat perut kenyang.
Malam semakin kelam.
Gerimis rintik di luar. Bus menambah kecepatan.
Di samping Upi tergeletak
gitar yang pecah jadi tiga. Ia termangu setelah didengarnya batuk berdeham dari
mulut lelaki itu. Rokoknya barangkali habis. Bau tembakau surut. Diraihnya satu
bagian gitar itu. Ada sticker favotirnya di sana, tulisan yang katanya
membentuk namanya; dulu ditempel oleh teman yang kebetulan bisa membaca.
Temannya yang membuatkan sticker itu agar gitarnya bernama.
"U-P-I. Apa itu?"
Tiba-tiba kembali terdengar
suara itu. Lelaki aneh sok tahu. Lelaki aneh yang tidak tahu apa-apa, tapi seperti
mau tahu urusan orang lain, atau seperti merasa paling tahu segalanya. Padahal
orang lain belum tentu mau tahu urusan pribadinya. Dunia begitu menyebalkan.
"Bukan apa."
"Lalu?"
"Bukan apa, tapi
siapa!" Upi menegaskan. Pantatnya sudah tidak gatal, meski panas. Seperti
seseorang meninggalkan setrika di sana, membiarkan tergeletak walau sudah
diputus kabelnya.
Tendangan setan tadi
lumayan. Untung kena pantat. Kalau perut, bisa gawat.
Upi bangkit, melirik
perokok yang menoleh. Wajahnya kelihatan gelap, tertutup bayangan kepalanya
sendiri. Hanya ada satu pencahayaan di badan bus busuk ini. Letaknya tidak
memungkinkan Upi mengenali wajah itu. Tidak penting.
"Upi. Itu namamu,
ya?"
Upi tidak menyahut. Ia
sebal. Hari yang buruk ini tidak ingin ditambahnya buruk dengan obrolan tidak
penting dari orang asing yang juga tidak penting. Tanpa menjawab pertanyaan si
perokok, dipungutnya dua puing lain dari gitarnya. Ditaruhnya di kursi
belakang, paling pojok, lantas bocah itu duduk pula di sana, di tengah. Matanya
memandang gitar itu. Bisakah diperbaiki? Mungkin bisa. Semoga bisa.
Dalam pikiran macam-macam,
kakinya berayun. Tubuh tegak lurus. Tubuh kurus berkeringat. Bau asam dan
knalpot. Bau jalanan. Bau apa saja. Bus bergoyang, menggoyang badan Upi yang
kecil. Jalanan mulai kasar. Sekasar hidupnya yang misteri.
Puing-puing malang.
Sebentar lagi jadi sejarah, atau malah terlupakan. Sial! Bagaimana mungkin ia
tega merusak benda ini? Dasar setan keparat!
Seseorang membanting gitar
itu tanpa ampun tadi. Tak ada yang menolong, meski masih ada tujuh atau delapan
penumpang. Dari caci-maki pemuda itu, mungkin mereka kira Upi patut diberi
pelajaran. Padahal yang brengsek pemuda itu, bukan aku. Jadi tidak sempat
ngamen. Mau makan apa? Besok gimana?
"Kok diam?"
"Om siapa?"
Lelaki itu tersenyum. Oh,
dia masih punya rokok. Kantung kemejanya mengembung. Ada sebungkus di sana.
Jemari tebal nan hitam mengambil sebatang, menyulut dengan jemari lain dari
tangan lain, dan dengan segera asap-asap bergerombol di deret bangku belakang lagi.
"Saya Norman. Siapa
pemuda tadi?"
Tampaknya orang itu masih
tertarik membahas si perusak. Kenapa harus dibahas? Tidak adakah hal lain yang
lebih penting, di tengah ketidakpentingan yang sudah ia bawa? Tapi Upi cuma
diam. Ia enggan menatap lagi puing-puing gitarnya, karena kalau itu terus
dilakukan, ia akan tidak berhenti kepikiran soal hari esok dan makanan.
Perutnya lapar, sedangkan ia tak punya uang. Masa depan yang suram.
"Teman."
"Setahu saya tidak ada
teman seperti itu."
Benar, 'kan? Orang ini memang
sok tahu. Tapi sudahlah. Semua sudah terjadi. Dan semua sudah kadung
menebak-nebak. Bahkan sejak ia mengucap salam pembuka tadi saja, sudah banyak
yang curiga. Kecil-kecil kok tindikan? Kecil-kecil kok tatoan? Mau jadi apa
besok? Mau jadi penjahat? Rampok? Maling? Begal? Koruptor? Pikiran-pikiran itu,
meski tidak satu pun terucap dari mulut penumpang yang melihat dengan seksama
bak menelanjanginya di tempat umum, dapat Upi tangkap dari mata mereka yang
"merasa" tahu.
Maka ia putuskan diam.
Sesekali melirik gitarnya yang sudah tidak bisa dipakai mengamen, setidaknya
malam ini, dan kemungkinan besar besok, besok lusa, besok lusanya besok, dan
seterusnya atau selamanya. Hari ini hari yang sial baginya.
"Tinggal di
mana?" Lelaki perokok itu bertanya. Tidak seantusias tadi. Barangkali
merasa Upi terganggu, jadi pertanyaan ini sekadar basa-basi prihatin ala orang
kota, yang jika nanti bus berhenti dan salah satu dari mereka turun, berpisah,
entah kapan bertemu lagi, atau mungkin tidak lagi bertemu seumur hidup sampai
kiamat, semua akan terlupa, terhapuskan oleh titik-titik gerimis dari langit
malam nan kelam.
"Di pasar."
"Pasar, kan,
banyak."
"Dekat pertigaan
tugu!"
"Oh."
Sepi melompong. Hanya derak
lantai bus penuh karat dan bekas permen karet, bunyi desing angin dari jendela
setengah terbuka, dan gerung mesin pasang-surut dari sopir yang gemar ugal-ugalan.
Jika suara-suara ini
tidak ada, mungkin orang ini bisa mendengar bunyi perutku. Upi mengeluh dalam hati. Ia hanya bisa
mengembuskan napas tanpa mengadu. Kepada siapa? Dia tidak punya siapa-siapa
untuk mengadu? Nanti setelah bus menurunkannya, ia harus berebut tempat dengan
kucing-kucing pasar, mencari lapak-lapak tukang sayur yang kosong dan hangat
buat bermalam.
Bus berhenti dan menurunkan
dua orang lagi. Gerimis berubah hujan. Di luar sana, beberapa warung sate dan
nasi goreng yang masih buka, menyorotkan sinar redupnya ke wajah Upi yang
menggeser pantat ke samping kiri. Lebih nyaman melihat pemandangan, walau yang
dipandang cuma itu-itu saja; tempat sampah, lampu merah, losmen-losmen murahan
tempat para PSK mangkal, dan beberapa kendaraan yang entah berisi siapa
dengan tujuan apa.
Daripada melihat
gitar-gitar itu.
"Saya percaya kamu
tidak seperti itu."
Kali ini suara itu lebih
dekat, seperti ada yang memasang TOA di dekat kuping. Upi terperanjat.
Tahu-tahu lelaki perokok ada di sampingnya, duduk bersandar. Sebelah tangannya,
jari jemarinya, mengapit puntung rokok yang setengah. Sebelah lainnya memegang
puing gitar yang ada sticker bertuliskan "UPI" dengan warna
hijau mentah. Wajah orang ini terlihat. Pipi bergeronjal bekas jerawat masa
muda. Kulit gosong; barangkali karena kerasnya hidup, seperti hidupnya. Wajah
tegas, nyaris persegi oleh rahang yang kaku, namun hangat dilihat. Model lelaki
yang membuat siapa pun merasa aman.
"Lalu?"
"Saya percaya kamu
anak baik. Saya tahu tipe orang yang menghajarmu tadi. Saya hafal. Saya lebih
tua dari kamu."
Meski Upi merasa
jelas-jelas kalimat itu tanda si perokok "merasa" paling tahu, ia
tidak tersinggung. Ia pun percaya, tanpa harus diucap, bahwa lelaki perokok ini
telah melahap asam garam jauh lebih banyak daripada dia, atau pemuda yang
menghajar dan merusak gitarnya tadi.
"Om benar. Tapi itu tidak
mengubah gitarku."
Lelaki itu tersenyum.
Ditaruhnya puing gitar itu. Ia hisap rokok dengan mata agak menyipit, rahang
mengeras, pipi mengempong. Sensasi kenikmatan umum ala pecandu tembakau. Tangan
kanan yang tak memegang apa pun merogoh ke saku celana. Bus berhenti sekali
lagi. Dua orang turun. Setiap yang datang akan selalu pergi, begitupun
sebaliknya. Semua terjadi sedemikian rupa dalam hidup Upi.
Sebuah dompet dari bahan
kulit terbaik tampak mengilap di mata Upi. Lelaki itu menjatuhkan puntung yang memendek,
menginjaknya dengan sepatu hingga mati. Sepatu itu disadari oleh Upi begitu
mahal. Ia tahu ukuran harga suatu benda dari sejauh mana benda itu menyilaukan
mata. Kedua tangan besar dan hitam milik si perokok bekerjasama mengambil
sesuatu dari dalam dompet.
"Buatmu."
Upi melongo keheranan.
Orang asing ini, meski tadi menyebalkan, kenapa begitu baik? Dua ratus ribu
bukan jumlah sedikit. Tidak hanya beli gitar baru saja, tetapi juga baju ganti.
Sudah beberapa minggu ini Upi tidak ganti baju. Badannya penuh jamur dan kuman.
Tapi Upi ragu. Apa maksudnya?
"Ambil saja. Anggap
hasil ngamen hari ini."
Ia tahu pemuda tadi
mengambil semua uang Upi.
Bus berhenti. Lelaki itu
mengembalikan dompet ke saku celananya, lalu berdiri dan turun, meninggalkan
sejuta tanya di kepala kecil Upi yang bersemir merah. Di tepi jalan, lelaki itu
memandang depan dengan mata berkaca-kaca. Seperti itulah cara dia mengikuti.
Seperti itulah cara dia mencari tahu. Entah kapan dia bisa bertemu kembali.
Bocah malang yang dulu ibunya ia bunuh. Bocah hasil perselingkuhannya. [ ]
Gempol, 11 Maret - 2
Agustus 2015
Comments
Post a Comment