Dalam dunia literasi, seorang penulis atau pengarang aslinya
tidak butuh pujian, karena pujian itu enak seperti sate kambing, atau
setidaknya seperti ditraktir makan tiga kali (walau lauknya tempe penyet). Sate
kambing jelas rasanya enak, bagi yang suka. Bagi yang tidak suka, silakan ganti
kata-kata di atas dengan sate ayam, sate bebek, sate sapi, atau sate apa saja,
terserah. Intinya semua jenis sate, atau masakan apa pun yang dimasak dengan
baik dan berharga mahal, pasti rasanya enak to? Sedangkan, ditraktir tempe
penyet tiga kali itu kebiasaan orang Indonesia. Percaya nggak percaya, itulah
kita, karena kita suka yang gratis-gratis, walau agak kampungan.
Sudah, tak usah dibikin ribut gimana-gimana, wong saya tentu
tidak berhasrat mengatakan tempe itu kampungan atau sate kambing itu bangsawan.
Yang saya bilang adalah: pujian itu enak banget, dan kalau diberikan secara
cuma-cuma, kita bisa ketagihan. Tapi jangan salahkan kalau nanti yang sampean
dapat ujung-ujungnya cuma bikin lari ke WC, lantas BAB. Makan apa saja, entah
enak entah gratis, ujung-ujungnya jadi (maaf) tahi.
Disadari atau tidak, selain tahi, ada masalah lain yang
bakal sampean terima, di antaranya: penyakit mematikan akibat kebanyakan makan
sate kambing (baca: makanan enak), serta dirasani (digosipi) tetangga sebagai
si kismin yang doyan makan. Ya iya to, wong sampean senang sama makanan gratis!
Kira-kira seperti itulah pujian. Maka, jelas kenapa seorang
penulis atau pengarang sama sekali tidak butuh pujian, karena itu rasanya enak.
Jangan bilang pujian itu tidak enak. Dari lubuk hati
terdalam, saya percaya setiap manusia pasti setuju kalau pujian itu enak, meski
dalam sehari-harinya dia bersabda bak Zarathustra: “Pujian itu racun dunia!”
Nyatanya, bahkan orang yang paling membenci pujian pun diam-diam memuji dalam
hatinya.
Di dunia literasi, menurut saya, yang dibutuhkan oleh
penulis atau pengarang cuma kritik atau hinaan. Di luar kedua hal itu, tidak
lain hanyalah sampah (kecuali ide bagus dan honor tentu saja. Haha). Aslinya
begitu. Tapi ya kalau disuruh memilih, orang pasti lebih suka dikritik
ketimbang dihina. Ya, to?
Bagaimanapun, kritik ada aturannya. Ada yang destruktif dan
ada yang konstruktif. Ada yang merusak, ada pula yang membangun. Dalam tata
cara mengkritik yang baik, seperti yang ditulis Setiyono dalam Manajemen Kritik
(FAM, 2012), kritik yang konstruktif dianjurkan demi perbaikan kualitas,
sekaligus memperkecil kemungkinan hubungan buruk antara subjek dan objek. Tapi,
buat saya, sekadar kritik kurang tandas memenuhi kebutuhan dasar penulis atau
pengarang. Penulis atau pengarang sangat butuh dihina!
Kritik punya aturan, sedangkan hinaan tidak. Ia datang
sebagai bandang emosi yang didasari oleh rasa benci atau muak.
Nah, di sinilah mestinya kita tahu “madu hinaan”. Kalau
pujian diibaratkan yang enak-enak, kritik plus hinaan adalah segala sesuatu
yang enek-enek. Bagi saya, barang enek itu jarum suntik. Sampean boleh
bayangkan hal enek apa dalam hidup ini.
Semakin banyak keenekan yang kita hadapi akan menempa kita
untuk lebih kuat lagi, meski kudu muntah-muntah dulu. Tapi, kata orang Jawa,
witing tresno jalaran saka kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa.
Bayangkan, sampean paling enek ketemu pocong, karena hantu
mirip lontong ini serem sangat. Tapi, pocong itu setiap waktu mendatangi
sampean. Ia ada di mana-mana, membuntuti tiada habisnya, seperti fans berat
minta tanda tangan sambil bilang: “Bang, minta dipeluk dong!” Apa yang bakal
terjadi? Saya yakin sampean sebal, lalu berdiri dan mulai berani melawan pocong
ini.
Begitu pula dengan kritik dan hinaan. Semakin sering dua hal
itu datang, semakin penulis atau pengarang akan tahu bahwa ia harus keluar dari
zona aman. Ia harus keluar dari cangkangnya guna melawan serbuan rasa enek
dengan cara sebaik-baiknya.
Sumpah, ini cara paling realistis karena muntah-muntah
sungguh tidak enak. Ya, to? Semakin sering kita temui barang enek, semakin
sering kita muntah. Dan itu sungguh sangat menyiksa, Brada! Tentu saja, biar
tidak muntah, caranya cuma satu: lawan!
Hidup memang keras. Begitulah kenyataannya. Kalau kata
Simbah saya: “Kita tak perlu belajar dari orang kaya. Yang kita perlukan adalah
belajar dari orang miskin.”
Lho, kok bisa? Ya, karena jadi orang kaya itu serbamudah;
apa pun yang kita mau langsung tercapai. Tetapi menjadi orang miskin itu semua
serbasulit. Maka, belajar dari segala yang tidak enak (baca: keenekan) ala
orang miskin, tidak akan membuat kita terlena.
Dunia ini terlalu keras buat orang-orang manja!
Penulis atau pengarang haram manja. Kalau masih manja,
pulang saja ke ketiak sang bunda.
Sumber gambar: biermann-medizin.de
Dimuat di basabasi.co pada 4 Juni 2015
Comments
Post a Comment