Judul buku:
Mereka Bilang, Saya Monyet!
Penulis:
Djenar Maesa Ayu
Kategori:
Kumcer
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
ISBN :
978-979-22-8991-6
Cetakan 11:
Februari 2013
Tebal : 135
halaman
Cerita pendek
yang bagus adalah yang lugas, spontan, telak, tidak basa-basi, efektif, dan nonjok.
Djenar Maesa Ayu, dalam kumpulan cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet!"
ini membawa semua kriteria cerpen bagus itu. Kenapa saya sebut
"nonjok" dalam satu syarat? Sebab tonjokan memberi bekas di wajah
korban. Di sini korbannya adalah pembaca. Tentu tonjokan dalam cerpen tidak
membuat kesal, justru disukai. Buku ini memberi tonjokan bertubi-tubi bagi saya
setelah membaca beberapa judul cerpennya.
Cerpen
pertama, "Mereka Bilang, Saya Monyet!" (hal. 1) berisi tentang
kehidupan kota dan jerat pergaulan bebas. Para binatang dalam cerpen ini
sesungguhnya manusia, yang digambarkan bagai binatang oleh sosok
"aku", tokoh utamanya, sebab ia sudah muak dengan hidupnya.
"Lintah"
(hal. 11) bergaya simbolik, menceritakan pergolakan batin seorang gadis. Ibunya
punya pacar lelaki bejat, yang kemudian diceritakan seolah-olah lelaki itu
adalah lintah. Lelaki bejat itu pada akhirnya memperkosanya. Ia jatuh pada
persoalan yang semakin besar ketika ibunya sendiri justru mau menikah dengan si
lintah.
Pergolakan
juga bisa ditemukan pada "Waktu Nayla" (hal 67), yang menuangkan
ketakutan akut di diri seorang yang divonis hendak mati dalam jangka waktu
tertentu. Ia tidak ingin waktu mempermainkannya. Ia ingin waktu dimainkannya,
meski itu tidak mungkin terjadi. Perlawanan serupa, namun lebih berskala kecil
ada pada "Manusya dan Dia" (hal 113), yang mana dua jiwa bersemayam
dalam satu badan. Ketidakpastian selalu ada karena (seolah) tidak adanya keputusan
yang benar-benar tepat.
"Melukis
Jendela" (hal. 31) tentang gadis kesepian yang merindukan Ayah dan Ibu di
dunia nyata. Gadis yang tidak bisa mengadu pada orangtua, meskipun sang ayah
masih ada. Ayah tidak peduli. Ayah memilih hidupnya sendiri, meski mereka satu rumah.
Akhirnya si gadis membuat lukisan-lukisan yang membuatnya mengembara ke banyak
tempat, guna membuang segala luka akibat perasaan diperlakukan tidak adil,
serta pelecehan seksual oleh teman-temannya sendiri.
"Namanya,..."
(hal. 91) tidak jauh berbeda dengan "Lintah". Hanya saja, ia lebih
bermasalah dengan orang-orang di luar kehidupan keluarganya. Ibunya seorang
pelacur. Dan ia tidak punya bapak. Tentu saja, ayah kandungnya tidak pernah
jelas. Itu membuatnya tumbuh menjadi gadis licik. Lebih-lebih rasa iri pada
teman-teman lain yang hidupnya lebih enak, juga yang tidak diberi nama aneh
seperti dirinya: Memek.
"Wong
Asu" (hal. 77) menyindir kemunafikan. Sejatinya setiap manusia memiliki
"jiwa anjing" dalam dirinya. Hanya saja, tidak semua orang mampu mengontrolnya,
atau tidak semua orang mau sadar diri bahwa "anjing" akan selalu ada
dalam sudut hati yang picik. Bahwa pada dasarnya setiap manusia punya sisi
buruk, itu benar. Namun apakah setiap orang berani mengakui?
Halusinasi dan
imajinasi ada pada "Durian" (hal. 19) dan "Asmoro" (hal.
103). Keduanya amat kompleks, sebab antara keinginan maya dan nyata hampir
tidak dapat dibedakan. "Asmoro" cukup berhasil bagi saya, namun tidak
dengan "Durian" yang kesannya agak sedikit memaksa.
Begitupun
dengan "Menepis Harapan" (hal. 55) yang kurang begitu nonjok,
hingga terkesan monoton. Beda dengan "SMS" (hal. 43) yang walaupun
strukturnya sekilas tampak monoton, kita digiring dalam pola rapi yang sengaja
dibuat penulisnya sedemikian rupa membentuk suatu jalinan cerita. Bayangkan,
seluruh bagian cerpen ini cuma berisi SMS atau pesan singkat dari dan kepada
beberapa orang lelaki dan perempuan. Namun di balik pesan-pesan itu, ada
skandal dan kisah cinta pelik di gemerlapnya dunia metropolitan.
Dari sedikit
uraian di atas, terlihat hanya dua cerpen yang gagal menurut saya:
"Menepis Harapan" dan "Durian". Selain kedua cerpen itu,
sembilan cerpen lain patut diacungi jempol. Daya gebrak Djenar dalam memilih
kata-kata lugas dan efektif membuat saya kagum. Hampir tidak kita temukan
metafora rumit, atau malah kadang sama sekali tidak ada. Begitu gamblang,
jelas, terang, dan terkadang agak nakal, membuat kumpulan cerpen ini layak
masuk seratus besar buku favorit saya.
Hanya saja,
buku ini tidak bisa dibaca semua usia. Tentunya tidak, sebab sebagian besar isi
cerita berkait-paut tentang dunia gemerlap antara seks, kekerasan, kehidupan
bebas, dan skandal rumah tangga. Buku ini cocok bagi kamu yang ingin belajar
menulis cerpen dengan kata-kata sederhana dan lugas, namun meninggalkan kesan
di hati pembaca. Tonjokan yang bagus memang tidak kelihatan
indah, bukan?
Comments
Post a Comment