Skip to main content

Para Binatang Berpolitik

    
    Judul buku: Animal Farm
    Penulis: George Orwell
    Kategori: Novel
    Penerbit : Bentang Pustaka
    ISBN : 978-602-291-070-1
    Cetakan 1: Januari 2015
    Tebal : iv + 144 halaman
    Harga: Rp. 34.000,-
   
    Dahulu, di peternakan bernama Manor Farm, hiduplah berbagai binatang ternak yang bisa bicara. Major, babi tua yang dihormati, mengumpulkan teman-temannya dan mulai mempidatokan mimpinya: bahwa suatu saat mereka merdeka dari umat manusia. Ia bagaikan tokoh pembangkit semangat dan pencetus ide mustahil di kalangan binatang ternak: bahwa manusia harus pergi dari bumi Inggris.
   
    Sepeninggal Major, ternyata ide yang tadinya dianggap mustahil itu, benar-benar berjalan. Snowball dan Napoleon, dua babi muda cerdas, yang meneruskan cita-cita itu dalam wujud nyata. Mereka belajar banyak hal mulai dari membaca dan ilmu-ilmu umum yang diperlukan andai nanti mereka berhasil mengusir manusia.

    Pak Jones, pemilik Manor Farm, orangnya agak bodoh dan pemabuk. Para pegawai peternakannya juga malas-malas. Maka, seperti kebetulan saja, pada suatu hari saat para binatang itu mendobrak gudang penyimpanan makanan karena kelaparan, pada saat itulah pemberontakan terjadi. Pak Jones, istrinya, juga para pegawainya, lari lintang pukang tak tentu arah. Hari itu, peternakan itu berganti nama menjadi Animal Farm, yang dikuasai sepenuhnya oleh para binatang.
   
    Yang menarik dari buku ini adalah bagaimana sebuah pesan coba diselubungkan Orwell dalam semangat Snowball memperbaiki kualitas hidup para binatang di situ, juga kepicikan Napoleon yang ingin menjadi pemimpin. Pada mulanya, keberadaan Snowball membuat hidup mereka lebih baik: para hewan sama-sama bekerja dan semua mendapat apa yang berhak mereka dapatkan. Snowball punya ide-ide dan visi ke depan, serta selalu berusaha mewujudkannya. Ia mengajarkan hewan-hewan lain banyak hal. Tapi Napoleon selalu bertentangan prinsip dengannya.
   
    Suatu hari, atas dasar akal-akalan Napoleon, Snowball diusir dari Animal Farm. Dengan segera, kondisi berubah menjadi lebih buruk. Sayangnya, banyak dari mereka yang bodoh hingga mudah ditipu oleh babi penjilat asisten Napoleon yang bernama Squealer, yang bertugas menyebar laporan palsu tentang peternakan itu. Mereka ditipu tentang jumlah panen dan stok makanan, hingga terpaksa bekerja lebih keras dan mendapat lebih sedikit makanan. Mereka ditipu karena tidak banyak yang bisa membaca. Sementara, Napoelon, dengan rakusnya melakukan segala cara demi menguntungkan dirinya sendiri dan para babi. Ia tidak segan membunuh siapa saja yang menentang, serta menuduh Snowball--yang sudah tidak jelas rimbanya--kalau terjadi kesialan di peternakan mereka.
   
    Novel ini alegori politik. Dan agaknya berlaku di segala zaman. Segala intrik yang ada di ceirta ini, umum kita temui di buku sejarah di berbagai tempat, atau malah terjadi di masa kita? Membacanya membuat kita tertawa dan miris.
   
    Ada tiga karakter yang paling menonjol menurut saya, yang jadi senjata Orwell melancarkan sebuah sindiran. Pertama, ketamakan Napoleon. Kedua, kebodohan Boxer (kuda pekerja) yang meskipun ditipu bertahun-tahun lamanya, tetap setiap sampai mati. Ketiga, keapatisan Benjamin (keledai tua) yang meskipun tahu banyak hal, memilih untuk diam dan cenderung masa bodoh. Kedua hal di luar sifat apatis di atas, sudah kita tahu efeknya. Sementara, sifat apatis sendiri, yang ada pada tokoh Benjamin, adalah rasa pesimis yang membuat diri sendiri rugi.
   
    Mimpi yang mulia (Major sang babi tua) serta optimisme (Snowball), harus berjalan seiring dengan kecerdasan yang bukan apatis, serta membuang sifat serakah. Dengan demikian, rumus sebuah "negeri" yang makmur akan mudah tercapai. Tapi, adakah yang seperti itu? Rasanya sulit.
   
    Bacalah ini. Dari segi kover memang kurang menarik, serta beberapa terjemahan dirasa kurang enak (misal: nama peternakan tidak ditulis Animal Farm sebagaimana judul di sampul, tetapi Peternakan Binatang, dan masih banyak lagi), paling tidak isinya tidak membuatmu kecewa. Bayangkan, bagaimana para binatang hidup dalam arena politik yang mereka bangun sendiri?

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri