Judul buku: Netizen
Penulis: WN Rahman, dkk
Kategori: Kumpulan Cerpen Sastra
Penerbit : UNSA Press
ISBN : 978-602-711-763-1
Terbit : Desember 2014
Tebal : vi+104 halaman
Tema urbanitas menjanjikan sesuatu yang segar untuk dinikmati dalam karya sastra. Tentu saja, karena selain urbanitas dapat mengungkap berbagai sisi kemanusiaan, juga membongkar realita kehidupan sehari-hari, yang biarpun terus dijalani, kita seperti tak jenuh menjadi bagiannya. Karena memang kitalah pembangun urbanitas itu. Karena memang kitalah "manusia kota" itu.
Sejumlah 12 cerpen tema urban disajikan dalam kumpulan cerpen "Netizen", yang merupakan karya terpilih para sahabat UNSA sepanjang tahun 2014 lalu. Di tiap kisahnya, dapat kita temui berbagai problema orang-orang kota dengan cara memahami yang berwarna; bisa tertawa, murung, sedih, menangis, atau bahkan marah.
Sebut saja "Netizen" (hal.1) karya WN Rahman, mengandung sindiran tentang betapa kita terlalu menikmati kehidupan kedua; kehidupan di dunia maya. Padahal, di luar itu, ada kehidupan utama yang sepatutnya tidak kita lupakan sebagai makhluk sosial, yakni kehidupan nyata. Di sini kepekaan diuji; apa kita benar-benar "bergerak", atau hanya "merasa bergerak" untuk mewujudkan kepedulian itu. Di dunia nyata semua serba pasti. Jika bergerak, maka kita benar-benar hidup. Lalu, apa yang terjadi jika pergerakan itu hanya ada di seputar dunia maya? Apa kita masih layak disebut hidup?
"Jam Tua" karya Kurnia Gusti Sawiji (hal.19) mengingatkan kita akan peran waktu. Manusia tak punya kuasa apa pun untuk menolak pergerakannya, sedang ia kelak sudah pasti akan mati. Pertempuran dengan waktu kadangkala membuat orang yang tidak bisa bersyukur pada hidupnya menjadi gila. Ketidakpuasan atau tidak adanya rasa syukur serta kesadaran diri, juga dapat kita temukan di "Picardia" karya Rusmin Nuryadi (hal.37). Betapa manusia sering lupa, hingga tenggelam pada nafsu duniawi.
Cerpen-cerpen lain yang tak kalah menarik adalah "Beringin" karya M. Hasbi (hal. 27) dan ""Dua Amplop Merah" karya Pramastri Sisimaya (63). Di kedua cerpen ini kita melihat kekelaman hati manusia dengan masalah hidup mereka. Seorang pelacur yang tidak ingin anaknya kelak mengikuti jejaknya, justru melihat kenyataan menggiriskan di masa depannya. Sementara sepasang suami istri yang kurang berkomunikasi dengan baik, yang saling merasa bersalah akibat tidak kunjung punya anak--di cerpen karya Pramastri--sama-sama menyesal sebab mereka justru menjalani kesialan yang lebih sial!
Problema rumah tangga juga bisa kita temukan di "Wanita dengan Seribu Makian Kekasihnya" karya Edi Akhiles (hal. 55) dan "Bang Bang Tut" karya Rizky Angga (hal. 87). Edi Akhiles mengangkat kepolosan dan kejalangan dalam sebuah kesenjangan sosial. Dua wanita dengan nasib yang jauh berbeda, meski hidup dan bernapas di jarak beberapa meter saja. Sedang Rizky Angga mencoba mengurai kekerasan dalam rumah tangga, atau barangkali kebrengsekan lelaki yang tak tahu diri, yang pada akhirnya harus mati akibat kekesalan menumpuk di hati sang istri.
Bagi saya buku ini tidak sekadar bercerita soal realita, melainkan membawa pesan, entah langsung atau tidak, entah serius atau dengan tertawa, menangis, dan marah; bahwa beginilah kehidupan kota yang setidaknya bisa kita "hindari" atau malah jalani?
Membaca buku ini bak membuka koran, yang di dalamnya diwarnai banyak problema, mulai dari kriminalitas, skandal, KDRT, hingga kesenjangan sosial. Maka nikmatilah warna-warni perkotaan dalam buku ini, dan Anda mungkin akan tersentak. Siapa tahu Anda adalah satu dari sekian banyak kisah dalam buku ini, yang Anda sendiri malu untuk mengakuinya?
Penulis: WN Rahman, dkk
Kategori: Kumpulan Cerpen Sastra
Penerbit : UNSA Press
ISBN : 978-602-711-763-1
Terbit : Desember 2014
Tebal : vi+104 halaman
Tema urbanitas menjanjikan sesuatu yang segar untuk dinikmati dalam karya sastra. Tentu saja, karena selain urbanitas dapat mengungkap berbagai sisi kemanusiaan, juga membongkar realita kehidupan sehari-hari, yang biarpun terus dijalani, kita seperti tak jenuh menjadi bagiannya. Karena memang kitalah pembangun urbanitas itu. Karena memang kitalah "manusia kota" itu.
Sejumlah 12 cerpen tema urban disajikan dalam kumpulan cerpen "Netizen", yang merupakan karya terpilih para sahabat UNSA sepanjang tahun 2014 lalu. Di tiap kisahnya, dapat kita temui berbagai problema orang-orang kota dengan cara memahami yang berwarna; bisa tertawa, murung, sedih, menangis, atau bahkan marah.
Sebut saja "Netizen" (hal.1) karya WN Rahman, mengandung sindiran tentang betapa kita terlalu menikmati kehidupan kedua; kehidupan di dunia maya. Padahal, di luar itu, ada kehidupan utama yang sepatutnya tidak kita lupakan sebagai makhluk sosial, yakni kehidupan nyata. Di sini kepekaan diuji; apa kita benar-benar "bergerak", atau hanya "merasa bergerak" untuk mewujudkan kepedulian itu. Di dunia nyata semua serba pasti. Jika bergerak, maka kita benar-benar hidup. Lalu, apa yang terjadi jika pergerakan itu hanya ada di seputar dunia maya? Apa kita masih layak disebut hidup?
"Jam Tua" karya Kurnia Gusti Sawiji (hal.19) mengingatkan kita akan peran waktu. Manusia tak punya kuasa apa pun untuk menolak pergerakannya, sedang ia kelak sudah pasti akan mati. Pertempuran dengan waktu kadangkala membuat orang yang tidak bisa bersyukur pada hidupnya menjadi gila. Ketidakpuasan atau tidak adanya rasa syukur serta kesadaran diri, juga dapat kita temukan di "Picardia" karya Rusmin Nuryadi (hal.37). Betapa manusia sering lupa, hingga tenggelam pada nafsu duniawi.
Cerpen-cerpen lain yang tak kalah menarik adalah "Beringin" karya M. Hasbi (hal. 27) dan ""Dua Amplop Merah" karya Pramastri Sisimaya (63). Di kedua cerpen ini kita melihat kekelaman hati manusia dengan masalah hidup mereka. Seorang pelacur yang tidak ingin anaknya kelak mengikuti jejaknya, justru melihat kenyataan menggiriskan di masa depannya. Sementara sepasang suami istri yang kurang berkomunikasi dengan baik, yang saling merasa bersalah akibat tidak kunjung punya anak--di cerpen karya Pramastri--sama-sama menyesal sebab mereka justru menjalani kesialan yang lebih sial!
Problema rumah tangga juga bisa kita temukan di "Wanita dengan Seribu Makian Kekasihnya" karya Edi Akhiles (hal. 55) dan "Bang Bang Tut" karya Rizky Angga (hal. 87). Edi Akhiles mengangkat kepolosan dan kejalangan dalam sebuah kesenjangan sosial. Dua wanita dengan nasib yang jauh berbeda, meski hidup dan bernapas di jarak beberapa meter saja. Sedang Rizky Angga mencoba mengurai kekerasan dalam rumah tangga, atau barangkali kebrengsekan lelaki yang tak tahu diri, yang pada akhirnya harus mati akibat kekesalan menumpuk di hati sang istri.
Bagi saya buku ini tidak sekadar bercerita soal realita, melainkan membawa pesan, entah langsung atau tidak, entah serius atau dengan tertawa, menangis, dan marah; bahwa beginilah kehidupan kota yang setidaknya bisa kita "hindari" atau malah jalani?
Membaca buku ini bak membuka koran, yang di dalamnya diwarnai banyak problema, mulai dari kriminalitas, skandal, KDRT, hingga kesenjangan sosial. Maka nikmatilah warna-warni perkotaan dalam buku ini, dan Anda mungkin akan tersentak. Siapa tahu Anda adalah satu dari sekian banyak kisah dalam buku ini, yang Anda sendiri malu untuk mengakuinya?
Comments
Post a Comment