Cerpen ini sebetulnya dibuat saat seleksi ketiga Unsa Ambassador 2015, yakni menulis sebuah fabel. Tetapi karena menurutku kurang greget, jadilah yang kukirim untuk seleksi tersebut adalah cerpen "Jagal" (bisa dibaca di postingan sebelumnya). Entah, mungkin kalau cerpen ini yang waktu itu kukirim, aku tidak lolos ke tahap berikutnya. :D Nah, daripada cerpen "terbuang" ini tetap tersimpan, baiknya diposting juga biar adil, biar teman-teman membacanya. Selamat menikmati! :D
***
Malam itu firman Tuhan berputar. Langit pekat,
hujan menggila, dan petir beberapa jengkal dari kepala. Kota itu tersisa
ujung-ujung gedung bangunan tingginya. Tak lama lagi sirna. Seekor kambing
bernama Bartus menghela napas. Ekor panjangnya ia lingkarkan pantat dan perut.
Cuaca dingin. Bersama Duma, anjing bertanduk yang jadi sahabatnya, Bartus
meringkuk di geladak kapal. Di sekitarnya, kaki manusia-manusia beruntung
pengikut kebenaran tampak memucat.
Duma tak tenang. Dilihatnya bulan lenyap. Awan
terlewat pekat. Ia lirik temannya, Bartus, lalu berpindah ke haluan. Di sana,
Nabi Nuh duduk tepekur. Hamba Tuhan yang indah itu entah memikirkan apa.
Barangkali berdoa, atau bersyukur, entahlah. Baru saja, Kan'an, putranya, meninggal
karena melawan Tuhan.
"Dum," bisik Bartus. "Apa kita
bernasib sama? Anak nabi saja bisa celaka. Apakah kita sebagai binatang juga
celaka?"
Duma membisu. Tak ada yang menjamin. Tapi
setidaknya, jika Nuh membawa mereka, semua pasti baik-baik saja. Bukankah dia
utusan Tuhan?
"Tenanglah."
"Bagaimana bisa tenang? Lihat itu!"
Bartus menunjuk dengan janggutnya.
Duma berdiri. Awan hitam besar tampak melayang di
atas air, puluhan meter di barat, tak jauh dari kapal. Angin berputar kencang
membentuk pasak, menopang awan besar itu. Petir menyelubungi keduanya; membawa
petaka, membawa kematian.
Bartus berdiri di belakang Duma. Keempat kakinya
bergetar. Ribuan tetes air dari langit menghujam wajah keduanya. Kambing ekor
panjang itu gusar. Pada zaman itu, kambing hampir-hampir tidak ada bedanya
dengan monyet, ekornya panjang. Yang membedakan hanya bunyi mengembik, bentuk
mulut, dan bau badan. Sementara, anjing masih bertanduk, hidup dengan liar, dan
berburu ikan untuk makan.
Orang-orang berdesakan masuk. Hewan-hewan lain
panik. Kapal penuh muatan. Hujan semakin deras.
Yang benar saja, batin Bartus. Kalau awan hitam itu kemari, apa
kami bakal selamat?
Seketika badan kapal gemeretak. Angin mendesak
mereka mundur. Kapal linggar. Kalau bukan karena ukurannya yang besar,
sudah dari tadi air bah menelannya. Pasak hitam dengan petir dan awan gelap
itu, entah menyebutnya apa, lebih besar dari perkiraan. Dari jarak dekat, awan
itu bak payung raksasa yang siap menelan kapal.
"Ya Tuhan, selamatkan kami," gumam Duma.
Beberapa keping kayu di haluan, geladak, dan
buritan lepas. Sebagian menghantam satu-dua penumpang, sebagian ditelan ombak.
"Kita masuk!" katanya, sebelum menyadari
Bartus terpaku. Ia berbalik badan.
Badai tinggal sepelemparan batu.
"Bartus! Kau dengar aku?! Ayo!" imbuh
Duma.
Belum sempat Bartus merespon, sesuatu menariknya
dari belakang. Rosso, seekor gajah, menjulurkan belalai. Berama sang anjing,
mereka menarik kambing yang asyik melongo. Mereka masuk. Suara takbir dan
pujian bagi Tuhan berulang kali diseru para manusia. Nabi Nuh menyuruh mereka
yang berada di luar untuk bergegas ke dalam.
Puluhan manusia dan berpasang hewan berebut tempat
malam itu, ketika awan gelap sampai di titik akhir. Bulan tak menemani kita,
bisik si kambing pada kawannya. Anjing itu diam. Orang-orang menutup semua
pintu masuk. Mereka tak tahu yang terjadi di luar. Hanya gaduh yang tak bisa
dijelaskan oleh rasa takut. Kematian lebih diharapkan dari rasa takut.
Apa kami celaka? Bartus, kau dengar.
Celaka atau tidak, kita tetap bersama, batin Duma. Mereka tetap sahabat. Begitulah
anjiing itu percaya. Keyakinan itu membuatnya melalui malam panjang lebih
tenang.
Sejak pembangkangan umat Nabi Nuh, puluhan tahun
lamanya kehidupan warga terbelah dua. Sampai di titik akhir mereka dengar
kasak-kusuk: sebagian penduduk akan hijrah ke negeri baru, sebuah negeri yang
jauh dari kedurhakaan. Pada waktu itu kondisi kota kacau. Warga minoritas yang
percaya keesaan Tuhan tersudut. Kapal besar pun dibangun oleh nabi, padahal
mereka tahu negeri ini jauh dari laut. Tapi kebenaran Tuhan sejati. Hujan
"laut", begitu mereka menyebutnya, sebab tujuh samudra bak pindah ke
negeri mereka, membuat tanah itu tenggelam tanpa sisa. Mereka yang melawan
Tuhan binasa.
Para hewan patuh. Pengikut nabi membawa mereka
naik kapal, melarikan diri dari azab ilahi dengan tujuan agar hewan-hewan itu
tidak punah. Ketika itu Bartus dan Duma liar. Mereka ditangkap untuk hijrah ke
lembah baru. Konon, sebagai kambing jantan, Bartus belum kawin. Ia satu-satunya
kambing dataran rendah yang bujang, meski belum terlalu tua. Begitupun Duma.
Mereka sama-sama tak tahu cara mencari pasangan. "Barangkali nanti,
sesampai di negeri baru, kita bertemu jodoh," kata Duma penuh semangat.
Maka berangkatlah mereka.
Dan pagi ini, di atas kapal, setelah hampir meregang
nyawa, mereka menemukan harapan. Langit gelap hilang. Matahari bersinar. Awan
putih bak kapas. Bencana banjir yang dijanjikan Tuhan telah usai. Kapal itu
terdampar di pegunungan.
"Tempat yang indah. Akan kubangun rumah di
bukit itu," ucap Duma menunjuk puncak paling teduh "Di sana aku
berburu untuk hidup. Kau mau ikut?"
Bartus mengangguk, "Tentu saja."
Karena itu tempat yang baik, banyaklah hewan yang
mengikuti mereka. Mereka pergi dengan bebas, sebab manusia tahu, hewan liar
tidak bisa hidup dalam pengawasan. Nabi Nuh dan umatnya membangun hidup baru
dengan hewan-hewan ternak, sementara Bartus, Duma, dan hewan-hewan liar yang
lain, mengadu nasib di bukit sebelah.
Sebagaimana yang diketahui, kapal itu tidak bisa
memuat semua binatang. Maka, dari satu jenis, yang selamat dua atau tiga ekor
saja. Semua binatang yang tidak ikut di kapal, mati oleh banjir.
Peradaban baru dimulai. Bersama gajah, monyet,
harimau, singa, jerapah, badak, buaya, menjangan, dubuk, banteng, dan banyak
dari jenis terakhir hewan-hewan yang ada, Bartus dan Duma membangun kerajaan
satwa di bukit itu. Mereka membuat kesepakatan yang ditandatangani Raja Leon,
singa yang paling disegani. Isi kesepakatan itu, setiap hewan membangun rumah
mereka masing-masing tidak saling berdekatan. Agar anak cucu mereka tidak
saling memangsa kelak jika mereka beranak-pinak.
Tetapi Bartus dan Duma beda pendapat. Mereka lebih
suka berdekatan.
"Kenapa rumah kalian dekat-dekat?" tanya
Rosso.
"Karena kami sahabat, kami tak saling
memangsa," jawab Duma bangga. Walau pemakan daging, Bartus tidak akan
menjadi mangsanya, selamanya. Duma sudah berjanji sejak dulu dan akan dibawanya
janji itu sampai mati.
"Tapi kalau kalian kawin, anak-anak kalian
bisa ribut?"
"Kalau diajari sejak kecil, tidak akan,"
sahut Bartus tenang.
Mereka pun membangun rumah bersebelahan. Seminggu
berlalu, Bartus bosan dengan rumah barunya. Ia terkenang ucapan Rosso. Bukankah
mereka hijrah karena ingin kawin?
"Tapi kita tak tahu di mana anjing dan
kambing betina tinggal. Bukit ini terlalu luas."
"Kalau tidak dicari, tidak akan ketemu."
Atas cerita Rosso, yang sering mampir ke tempat
mereka, Bartus dan Duma tahu, mulai besok Raja Leon mengadakan jamuan seminggu
sekali. Di sana diadakan pesta persaudaraan oleh sang raja bagi para penghuni
bukit.
"Barangkali jodoh kita di sana," kata
Bartus kemudian.
Maka, besok malamya, keduanya pergi. Bartus yang
kurus dan lemah berlari kecil di depan. Di belakang, Duma yang perkasa siap
melindungi temannya dari bahaya. Begitulah mereka, sejak dulu, sejak sebelum Nabi
Nuh membangun kapal. Kebiasaan ini sudah dihafal oleh para hewan yang mengenal
keduanya.
Sesampai istana, Duma yang selama tinggal di atas
kapal tampak kotor, kumal, awut-awutan, tidak diperhatikan, kini menjadi
selebritis. Ternyata, kalau dalam situasi normal dan bersih, anjing ini sangat
tampan. Apalagi tanduk besar yang membentuk setengah lingkaran di kepalanya,
membuatnya tampak jantan dan kuat.
Raja Leon berdecak kagum. "Anjing gagah itu
siapa namanya?"
"Oh, itu Duma. Kenapa, Tuan?" sahut
ajudannya.
"Beri dia tempat terhormat."
Dari jauh dilihatnya beberapa betina jenis lain,
mulai dari dubuk, macan tutul, badak, musang, bahkan buaya, mendesak ingin
mengobrol dengan Duma. Raja Leon tahu, penduduknya yang satu itu istimewa.
Barangkali, kelak, ia bisa menjadikan Duma menantu.
Namun, di sisi lain Duma risih dengan
pujian-pujian itu. Beberapa mengajaknya berdansa, mampir ke rumah, makan,
berkenalan, bahkan ada yang mengajaknya kawin.
"Hei, jangan sembarangan! Anjing seharusnya
kawin dengan anjing!" bantah Bartus yang mulai gerah. Jauh di lubuk
hatinya, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
"Pergi sana. Kambing bau! Kenapa sih berteman
sama dia? Apa Duma kurang bergaul?" celetuk beberapa betina.
Bartus mendengus kesal. Ia pergi. Duma tak bisa
menyusul, karena terjebak oleh rasa kagum hewan-hewan lain. Sejak itu, setiap
ke pesta, Duma dipuja-puji. Mendadak selebritis. Tanduk dan taringnya perpaduan
kejantanan yang menyetarai wibawa Raja Leon. Di mata hewan lain, Duma bak bangsawan dan Bartus hanya
penjilat yang mencari keuntungan belaka.
Maka, cemburu di hati Bartus tumbuh. Hari ke hari
terus berkembang. Ia menyesali keputusannya ikut kapal Nabi Nuh. Pada detik
itu, keberlangsungan hidup lebih ditakutkan dari kebinasaan.
"Bangsat! Mereka tak tahu kita bersahabat
sejak kecil!" umpatnya.
Duma menunduk sedih, tak mau melukai Bartus. Maka,
suatu malam ia menyuruh kambing itu berangkat sendiri.
"Kenapa?" Bartus bertanya. "Jodoh
kita belum ketemu. Kalau kamu punah, dengan siapa anak cucuku bersahabat?"
Selama ini Bartus dan Duma belum menemukan
pasangan. Ratusan hewan liar di pesta itu hanya terpusat pada pujian dan
olok-olok; satu untuk Duma, satu untuk Bartus. Dua pemberian yang tak adil. Dan
mereka tak sempat mencari betina sejenis.
"Aku tak mau kamu jadi bulan-bulanan
mereka," jawab anjing itu singkat
Duma yang bodoh, batin Bartus picik. Kalau aku jadi kamu, tak
cukup mencari pasangan. Aku akan membuat Leon tunduk di kakiku. Dengan tanduk
itu, kamulah idola di kerajaan ini! Kelak sejarah bisa berubah dan raja satwa
akan beralih nama. Kenapa kau menyerah hanya demi kita? Bodoh sekali!
Pada detik ini Bartus lupa. Kebaikan-kebaikan
Duma; bagaimana anjing itu selalu menjaganya, mencarikannya rumput di kala dia
sakit, menahan luka berminggu-minggu akibat menyelamatkannya dari kepungan
sekelompok pengembara yang mencari daging kambing liar, atau menghalau gangguan
kijang dan rusa yang meledek kambing hanya mamalia bodoh. Segala yang mereka
lalui selama ini, Bartus lupa. Hatinya terlalu luka untuk begitu saja dipulihkan.
Hatinya terlalu kotor.
"Baiklah. Aku berangkat. Tapi di tengah jalan
aku bisa celaka kalau bertemu Tortor, badak galak itu. Kamu tahu, tempo hari
dia cemburu gara-gara betinanya memuji tandukmu."
"Oh, ya?" Duma heran. Seingatnya, badak
jantan bernama Tortor itu tidak datang.
"Aku membelamu. Tortor hampir menusukku. Kamu
tahu dia sebesar apa. Waktu itu kamu sibuk mengatasi penggemarmu."
Penjelasan itu membuat Duma cemas.
"Duh, kenapa jadi begini? Menurutmu, apa
solusinya, Tus? Aku malas ke pesta. Aku juga tak nyaman dipuji-puji."
Bartus yang siap dengan akal liciknya, diam sesaat
sebelum bersuara, "Emm... Bagaimana kalau kupinjam tandukmu?"
Duma kaget. Tanpa itu, ia tidak bisa bertahan
hidup.
"Cuma semalam. Besok kukembalikan,"
tambah Bartus dengan wajah tulus, seolah takdir mengharuskannya menyambung
garis keturunan, membangun silsilah baru untuk spesies kambing yang tersisa,
hingga terpaksa ia memakai tanduk itu agar selamat dari marabahaya sepanjang
perjalanan mencari betina.
Di mata Duma, Bartus teman baik. Ia tak mau
mengecewakan. "Baiklah," sahutnya seraya melepas kedua tanduknya.
Lalu dipasangnya tanduk itu ke kepala Bartus. "Jaga baik-baik. Tanpa ini,
aku tak bisa berburu."
Bartus mengangguk girang. Akhirnya! Di tempat
pesta, kambing ini pun jadi pusat perhatian. Ternyata, kalau bertanduk kambing
tak kalah ganteng. Dengan angkuh, ia memamerkan tanduk pinjamannya ke depan
semua betina yang ada. Tak satu mata pun yang tak terpukau. Jika Duma tampak
garang dan perkasa dengan tanduk itu, maka Bartus terlihat flamboyan, jauh
lebih memikat di hati para betina. Puja-puji melaburinya malam itu.
Tak ada yang sadar tanduk di kepala Bartus adalah
berkat kejernihan hati Duma. Hanya Rosso yang tahu, sebab ia begitu hafal
bentuk tanduk si anjing. Tapi Bartus tak mengaku. Ia bilang, tanduk itu
didapatnya dari puncak gunung lain. Si gajah pun tak lagi bertanya.
Esoknya Bartus tak pulang. Duma cemas.
Jangan-jangan celaka? Anjing itu hilir mudik, berputar di sekitar pondoknya
sampai dilihatnya Rosso datang. Gajah membawa berita dari pesta semalam bahwa
Bartus tampak bahagia.
"Syukurlah. Aku senang kalau dia
senang."
"Ya. Sekarang di mana Bartus?"
"Tak tahu."
Rosso tersadar. Bukankah Duma bertanduk? Tapi pagi
ini si anjing tampak botak. Duma pun menjelaskan bagaimana akhirnya tanduknya
berada di kepala Bartus.
"Oh, jadi dia bohong? Semalam Bartus bilang
tanduk itu bukan punyamu."
Duma kaget. Tak ada yang lebih mulia di matanya
selain persahabatan. Sekarang, malah ada kabar mengejutkan dari Rosso, gajah
yang polos dan jujur. Tidak, tidak mungkin gajah ini berbohong!
Hari itu, di kaki bukit, setelah berjam-jam
mencari, akhirnya Duma melihat Bartus. Kambing itu dengan congkak memamerkan
tanduk "milik"-nya ke beberapa hewan yang belum pernah ke pesta.
Mereka yang berpasangan memang lebih senang tinggal di rumah saat malam tiba.
"Ini tandukku. Hebat, 'kan? Di pesta, semua
hewan memujiku. Raja Leon saja jarang dipuji!"
"Wah, kamu tampan, Tus! Pasti banyak betina
yang suka!"
Duma tak tahan mendengar itu. Tapi, sebagian hati
kecilnya berkata, mungkin untuk sementara, biarlah Bartus bersenang-senang
dengan tanduknya. Bukankah selama ini dia dicela? Bukankah selama ini Bartus
kecewa?
Ya, mungkin itu alasan Bartus mengakui
tandukku. Agar ia tak dilecehkan. Pasti setelah ini tandukku akan dikembalikan,
batin Duma. Ia mencoba
berpikir positif. Ia pulang tanpa mengganggu Bartus.
Tapi sampai empat hari kemudian, Bartus tak juga
pulang. Di hari kelima Duma marah. Sudah empat hari ia puasa. Tanpa tanduk ia
tak bisa berburu ikan. Hanya dengan tanduk ia bisa berenang. Hanya dengan
tanduk, ia bisa bertahan hidup.
Dengan sisa tenaga, Duma mencari Bartus. Matahari
terik, membakar wajah dan punggung. Duma terus berjalan. Seisi bukit ia
telusuri, Bartus tetap tidak ada. Akhirnya, saat mulai putus asa, saat anjing
itu duduk di kaki bukit, di sisi bukit lain ia melihat Bartus. Rupanya ia
berhasil menemukan kambing betina. Kambing jantan itu merayu gadisnya dengan
tanduk. Duma dibakar rasa cemburu.
"Aku yang rela tidak kawin, malah kau
tusuk dari belakang! Kambing sialan!" batin Duma bergejolak. Ia menggonggong. Moncong
hitamnya basah oleh liur. Ia lari sekencang-kencangnya. "Hei, Bartus!
Kembalikan tandukku!" pekiknya.
Bartus, yang asyik menggoda kekasihnya,
terperanjat. Ia pikir dengan pindah ke bukit lain, Duma bakal melupakan tanduk
dan janjinya. Tapi tidak. Duma justru datang mencarinya. Bartus mundur. Kambing
betina takut dan bersembunyi di balik pohon.
"Katamu kamu tidak butuh kawin. Jadi buat apa
tanduk ini? Ikhlaskan saja," sahut Bartus.
Duma naik darah. Tak ada lagi toleransi. Tak ada
lagi persahabatan. Bartus sudah berkhianat dan kini terang-terangan tak mau
mengembalikan tanduknya.
"Kembalikan! Kalau tidak..."
"Kalau tidak, kenapa? Kamu mau memakanku, ha?
Tidak, kamu sudah berjanji, Duma!"
Jantung si anjing berdegup kencang. Ya, ia memang
tidak akan memakan Bartus. Ia sudah berjanji dan janji seekor anjing adalah
janji sehidup semati, tidak akan dilanggar sampai ajal menjemput.
Walaupun angkuh dan kurang ajar, Bartus takut
melihat wajah Duma yang semarah ini. Taringnya bermunculan, hingga terpikir
akankah lehernya terluka, seperti seorang manusia yang dulu pernah akan
menyembelihnya? Duma perkasa. Kekuatannya tidak tertandingi. Sedangkan dia
sendiri, meski bertanduk, belum paham bagaimana cara menggunakan tanduk itu
untuk bertempur. Lagi pula, kambing itu terlalu kurus.
Bartus ngeri, meski ia tahu Duma tidak mungkin
melanggar janji.
"Kembalikan tandukku! Kalau tidak, kau akan
menyesal seumur hidup!"
"Oh, tidak. Dengan tanduk ini, justru hidupku
lebih baik. Tidak ada lagi hewan yang mencelaku!"
Tak buang waktu, setelah membantah, Bartus lari
meninggalkan betinanya yang terkencing-kencing di bawah pohon. Duma mengejarnya
sekuat tenaga. Bartus pikir, kelebihannya berlarilah yang bisa mengalahkan
Duma. Tapi ia salah. Anjing itu justru menyusulnya seiring berjalannya waktu.
Hanya beberapa menit, jarak mereka tinggal sejengkal saja.
"Kambing sialan!" umpat Duma seraya
melompat dengan sisa tenaga. Kakinya sudah lelah. Dibukanya moncong berliur
itu, diraihnya sesuatu yang tidak membuatnya melanggar janji, namun memberi
pelajaran bagi si kambing.
"Waadaaaaoowww!!!" teriak Bartus
seketika setelah Duma menutup moncongnya erat. Ekor panjangnya tergigit!
Duma mencengkeram ekor itu dengan taring-taring
tajamnya. Tidak, Bartus tidak bisa lari lagi. Dengan begini, pikir si anjing,
kambing sialan itu akan mengembalikan tandukku.
Namun, dasar Bartus keras kepala, ia tak menyerah.
Meski kesakitan, ia berhasil kabur dengan mengorbankan ekor panjangnya.
Pantatnya berdarah-darah. Duma yang kehilangan daya buat mengejar, hanya
sanggup memandangi ekor Bartus di depan moncongnya, sementara kambing itu entah
lari ke mana.
Sejak hari itu, kambing yang berekor panjang tidak
lagi berekor, melainkan bertanduk. Sementara, anjing yang harusnya bertanduk,
malah botak. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Duma belajar dari
serigala kerabat jauhnya, yang membantunya meninggalkan kebiasaan makan ikan.
Bartus yang tak terima atas kehilangan ekornya, menghasut Puspus, kepala
keluarga kucing, bahwa anjing hendak menguasai danau di sisi selatan bukit,
agar ikan-ikan di sana hanya menjadi miliknya saja.
Akibat kelicikan Bartus, kini anjing dan kucing
bermusuhan. Meski demikian, Duma mendidik anak cucunya untuk tidak melanggar
janji. Itulah kenapa sampai hari ini hampir semua anjing di muka bumi tidak mau
memangsa kambing. [ ]
(Pasuruan, 21 Nov '14)
Terinspirasi dari buku dongeng
"Mengapa Anjing Tak Bertanduk?" terbitan Nestle Dancow.
Comments
Post a Comment