Skip to main content

[Cerpen]: Duma & Bartus


Cerpen ini sebetulnya dibuat saat seleksi ketiga Unsa Ambassador 2015, yakni menulis sebuah fabel. Tetapi karena menurutku kurang greget, jadilah yang kukirim untuk seleksi tersebut adalah cerpen "Jagal" (bisa dibaca di postingan sebelumnya). Entah, mungkin kalau cerpen ini yang waktu itu kukirim, aku tidak lolos ke tahap berikutnya. :D Nah, daripada cerpen "terbuang" ini tetap tersimpan, baiknya diposting juga biar adil, biar teman-teman membacanya. Selamat menikmati! :D
 ***


Malam itu firman Tuhan berputar. Langit pekat, hujan menggila, dan petir beberapa jengkal dari kepala. Kota itu tersisa ujung-ujung gedung bangunan tingginya. Tak lama lagi sirna. Seekor kambing bernama Bartus menghela napas. Ekor panjangnya ia lingkarkan pantat dan perut. Cuaca dingin. Bersama Duma, anjing bertanduk yang jadi sahabatnya, Bartus meringkuk di geladak kapal. Di sekitarnya, kaki manusia-manusia beruntung pengikut kebenaran tampak memucat.

Duma tak tenang. Dilihatnya bulan lenyap. Awan terlewat pekat. Ia lirik temannya, Bartus, lalu berpindah ke haluan. Di sana, Nabi Nuh duduk tepekur. Hamba Tuhan yang indah itu entah memikirkan apa. Barangkali berdoa, atau bersyukur, entahlah. Baru saja, Kan'an, putranya, meninggal karena melawan Tuhan.
"Dum," bisik Bartus. "Apa kita bernasib sama? Anak nabi saja bisa celaka. Apakah kita sebagai binatang juga celaka?"
Duma membisu. Tak ada yang menjamin. Tapi setidaknya, jika Nuh membawa mereka, semua pasti baik-baik saja. Bukankah dia utusan Tuhan?
"Tenanglah."
"Bagaimana bisa tenang? Lihat itu!" Bartus menunjuk dengan janggutnya.
Duma berdiri. Awan hitam besar tampak melayang di atas air, puluhan meter di barat, tak jauh dari kapal. Angin berputar kencang membentuk pasak, menopang awan besar itu. Petir menyelubungi keduanya; membawa petaka, membawa kematian.
Bartus berdiri di belakang Duma. Keempat kakinya bergetar. Ribuan tetes air dari langit menghujam wajah keduanya. Kambing ekor panjang itu gusar. Pada zaman itu, kambing hampir-hampir tidak ada bedanya dengan monyet, ekornya panjang. Yang membedakan hanya bunyi mengembik, bentuk mulut, dan bau badan. Sementara, anjing masih bertanduk, hidup dengan liar, dan berburu ikan untuk makan.
Orang-orang berdesakan masuk. Hewan-hewan lain panik. Kapal penuh muatan. Hujan semakin deras.
Yang benar saja, batin Bartus. Kalau awan hitam itu kemari, apa kami bakal selamat?
Seketika badan kapal gemeretak. Angin mendesak mereka mundur. Kapal linggar. Kalau bukan karena ukurannya yang besar, sudah dari tadi air bah menelannya. Pasak hitam dengan petir dan awan gelap itu, entah menyebutnya apa, lebih besar dari perkiraan. Dari jarak dekat, awan itu bak payung raksasa yang siap menelan kapal.
"Ya Tuhan, selamatkan kami," gumam Duma.
Beberapa keping kayu di haluan, geladak, dan buritan lepas. Sebagian menghantam satu-dua penumpang, sebagian ditelan ombak.
"Kita masuk!" katanya, sebelum menyadari Bartus terpaku. Ia berbalik badan.
Badai tinggal sepelemparan batu.
"Bartus! Kau dengar aku?! Ayo!" imbuh Duma.
Belum sempat Bartus merespon, sesuatu menariknya dari belakang. Rosso, seekor gajah, menjulurkan belalai. Berama sang anjing, mereka menarik kambing yang asyik melongo. Mereka masuk. Suara takbir dan pujian bagi Tuhan berulang kali diseru para manusia. Nabi Nuh menyuruh mereka yang berada di luar untuk bergegas ke dalam.
Puluhan manusia dan berpasang hewan berebut tempat malam itu, ketika awan gelap sampai di titik akhir. Bulan tak menemani kita, bisik si kambing pada kawannya. Anjing itu diam. Orang-orang menutup semua pintu masuk. Mereka tak tahu yang terjadi di luar. Hanya gaduh yang tak bisa dijelaskan oleh rasa takut. Kematian lebih diharapkan dari rasa takut.
Apa kami celaka? Bartus, kau dengar. Celaka atau tidak, kita tetap bersama, batin Duma. Mereka tetap sahabat. Begitulah anjiing itu percaya. Keyakinan itu membuatnya melalui malam panjang lebih tenang.
Sejak pembangkangan umat Nabi Nuh, puluhan tahun lamanya kehidupan warga terbelah dua. Sampai di titik akhir mereka dengar kasak-kusuk: sebagian penduduk akan hijrah ke negeri baru, sebuah negeri yang jauh dari kedurhakaan. Pada waktu itu kondisi kota kacau. Warga minoritas yang percaya keesaan Tuhan tersudut. Kapal besar pun dibangun oleh nabi, padahal mereka tahu negeri ini jauh dari laut. Tapi kebenaran Tuhan sejati. Hujan "laut", begitu mereka menyebutnya, sebab tujuh samudra bak pindah ke negeri mereka, membuat tanah itu tenggelam tanpa sisa. Mereka yang melawan Tuhan binasa.
Para hewan patuh. Pengikut nabi membawa mereka naik kapal, melarikan diri dari azab ilahi dengan tujuan agar hewan-hewan itu tidak punah. Ketika itu Bartus dan Duma liar. Mereka ditangkap untuk hijrah ke lembah baru. Konon, sebagai kambing jantan, Bartus belum kawin. Ia satu-satunya kambing dataran rendah yang bujang, meski belum terlalu tua. Begitupun Duma. Mereka sama-sama tak tahu cara mencari pasangan. "Barangkali nanti, sesampai di negeri baru, kita bertemu jodoh," kata Duma penuh semangat. Maka berangkatlah mereka.
Dan pagi ini, di atas kapal, setelah hampir meregang nyawa, mereka menemukan harapan. Langit gelap hilang. Matahari bersinar. Awan putih bak kapas. Bencana banjir yang dijanjikan Tuhan telah usai. Kapal itu terdampar di pegunungan.
"Tempat yang indah. Akan kubangun rumah di bukit itu," ucap Duma menunjuk puncak paling teduh "Di sana aku berburu untuk hidup. Kau mau ikut?"
Bartus mengangguk, "Tentu saja."
Karena itu tempat yang baik, banyaklah hewan yang mengikuti mereka. Mereka pergi dengan bebas, sebab manusia tahu, hewan liar tidak bisa hidup dalam pengawasan. Nabi Nuh dan umatnya membangun hidup baru dengan hewan-hewan ternak, sementara Bartus, Duma, dan hewan-hewan liar yang lain, mengadu nasib di bukit sebelah.
Sebagaimana yang diketahui, kapal itu tidak bisa memuat semua binatang. Maka, dari satu jenis, yang selamat dua atau tiga ekor saja. Semua binatang yang tidak ikut di kapal, mati oleh banjir.
Peradaban baru dimulai. Bersama gajah, monyet, harimau, singa, jerapah, badak, buaya, menjangan, dubuk, banteng, dan banyak dari jenis terakhir hewan-hewan yang ada, Bartus dan Duma membangun kerajaan satwa di bukit itu. Mereka membuat kesepakatan yang ditandatangani Raja Leon, singa yang paling disegani. Isi kesepakatan itu, setiap hewan membangun rumah mereka masing-masing tidak saling berdekatan. Agar anak cucu mereka tidak saling memangsa kelak jika mereka beranak-pinak.
Tetapi Bartus dan Duma beda pendapat. Mereka lebih suka berdekatan.
"Kenapa rumah kalian dekat-dekat?" tanya Rosso.
"Karena kami sahabat, kami tak saling memangsa," jawab Duma bangga. Walau pemakan daging, Bartus tidak akan menjadi mangsanya, selamanya. Duma sudah berjanji sejak dulu dan akan dibawanya janji itu sampai mati.
"Tapi kalau kalian kawin, anak-anak kalian bisa ribut?"
"Kalau diajari sejak kecil, tidak akan," sahut Bartus tenang.
Mereka pun membangun rumah bersebelahan. Seminggu berlalu, Bartus bosan dengan rumah barunya. Ia terkenang ucapan Rosso. Bukankah mereka hijrah karena ingin kawin?
"Tapi kita tak tahu di mana anjing dan kambing betina tinggal. Bukit ini terlalu luas."
"Kalau tidak dicari, tidak akan ketemu."
Atas cerita Rosso, yang sering mampir ke tempat mereka, Bartus dan Duma tahu, mulai besok Raja Leon mengadakan jamuan seminggu sekali. Di sana diadakan pesta persaudaraan oleh sang raja bagi para penghuni bukit.
"Barangkali jodoh kita di sana," kata Bartus kemudian.
Maka, besok malamya, keduanya pergi. Bartus yang kurus dan lemah berlari kecil di depan. Di belakang, Duma yang perkasa siap melindungi temannya dari bahaya. Begitulah mereka, sejak dulu, sejak sebelum Nabi Nuh membangun kapal. Kebiasaan ini sudah dihafal oleh para hewan yang mengenal keduanya.
Sesampai istana, Duma yang selama tinggal di atas kapal tampak kotor, kumal, awut-awutan, tidak diperhatikan, kini menjadi selebritis. Ternyata, kalau dalam situasi normal dan bersih, anjing ini sangat tampan. Apalagi tanduk besar yang membentuk setengah lingkaran di kepalanya, membuatnya tampak jantan dan kuat.
Raja Leon berdecak kagum. "Anjing gagah itu siapa namanya?"
"Oh, itu Duma. Kenapa, Tuan?" sahut ajudannya.
"Beri dia tempat terhormat."
Dari jauh dilihatnya beberapa betina jenis lain, mulai dari dubuk, macan tutul, badak, musang, bahkan buaya, mendesak ingin mengobrol dengan Duma. Raja Leon tahu, penduduknya yang satu itu istimewa. Barangkali, kelak, ia bisa menjadikan Duma menantu.
Namun, di sisi lain Duma risih dengan pujian-pujian itu. Beberapa mengajaknya berdansa, mampir ke rumah, makan, berkenalan, bahkan ada yang mengajaknya kawin.
"Hei, jangan sembarangan! Anjing seharusnya kawin dengan anjing!" bantah Bartus yang mulai gerah. Jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
"Pergi sana. Kambing bau! Kenapa sih berteman sama dia? Apa Duma kurang bergaul?" celetuk beberapa betina.
Bartus mendengus kesal. Ia pergi. Duma tak bisa menyusul, karena terjebak oleh rasa kagum hewan-hewan lain. Sejak itu, setiap ke pesta, Duma dipuja-puji. Mendadak selebritis. Tanduk dan taringnya perpaduan kejantanan yang menyetarai wibawa Raja Leon. Di mata hewan lain, Duma bak bangsawan dan Bartus hanya penjilat yang mencari keuntungan belaka.
Maka, cemburu di hati Bartus tumbuh. Hari ke hari terus berkembang. Ia menyesali keputusannya ikut kapal Nabi Nuh. Pada detik itu, keberlangsungan hidup lebih ditakutkan dari kebinasaan.
"Bangsat! Mereka tak tahu kita bersahabat sejak kecil!" umpatnya.
Duma menunduk sedih, tak mau melukai Bartus. Maka, suatu malam ia menyuruh kambing itu berangkat sendiri.
"Kenapa?" Bartus bertanya. "Jodoh kita belum ketemu. Kalau kamu punah, dengan siapa anak cucuku bersahabat?"
Selama ini Bartus dan Duma belum menemukan pasangan. Ratusan hewan liar di pesta itu hanya terpusat pada pujian dan olok-olok; satu untuk Duma, satu untuk Bartus. Dua pemberian yang tak adil. Dan mereka tak sempat mencari betina sejenis.
"Aku tak mau kamu jadi bulan-bulanan mereka," jawab anjing itu singkat
Duma yang bodoh, batin Bartus picik. Kalau aku jadi kamu, tak cukup mencari pasangan. Aku akan membuat Leon tunduk di kakiku. Dengan tanduk itu, kamulah idola di kerajaan ini! Kelak sejarah bisa berubah dan raja satwa akan beralih nama. Kenapa kau menyerah hanya demi kita? Bodoh sekali!
Pada detik ini Bartus lupa. Kebaikan-kebaikan Duma; bagaimana anjing itu selalu menjaganya, mencarikannya rumput di kala dia sakit, menahan luka berminggu-minggu akibat menyelamatkannya dari kepungan sekelompok pengembara yang mencari daging kambing liar, atau menghalau gangguan kijang dan rusa yang meledek kambing hanya mamalia bodoh. Segala yang mereka lalui selama ini, Bartus lupa. Hatinya terlalu luka untuk begitu saja dipulihkan. Hatinya terlalu kotor.
"Baiklah. Aku berangkat. Tapi di tengah jalan aku bisa celaka kalau bertemu Tortor, badak galak itu. Kamu tahu, tempo hari dia cemburu gara-gara betinanya memuji tandukmu."
"Oh, ya?" Duma heran. Seingatnya, badak jantan bernama Tortor itu tidak datang.
"Aku membelamu. Tortor hampir menusukku. Kamu tahu dia sebesar apa. Waktu itu kamu sibuk mengatasi penggemarmu."
Penjelasan itu membuat Duma cemas.
"Duh, kenapa jadi begini? Menurutmu, apa solusinya, Tus? Aku malas ke pesta. Aku juga tak nyaman dipuji-puji."
Bartus yang siap dengan akal liciknya, diam sesaat sebelum bersuara, "Emm... Bagaimana kalau kupinjam tandukmu?"
Duma kaget. Tanpa itu, ia tidak bisa bertahan hidup.
"Cuma semalam. Besok kukembalikan," tambah Bartus dengan wajah tulus, seolah takdir mengharuskannya menyambung garis keturunan, membangun silsilah baru untuk spesies kambing yang tersisa, hingga terpaksa ia memakai tanduk itu agar selamat dari marabahaya sepanjang perjalanan mencari betina.
Di mata Duma, Bartus teman baik. Ia tak mau mengecewakan. "Baiklah," sahutnya seraya melepas kedua tanduknya. Lalu dipasangnya tanduk itu ke kepala Bartus. "Jaga baik-baik. Tanpa ini, aku tak bisa berburu."
Bartus mengangguk girang. Akhirnya! Di tempat pesta, kambing ini pun jadi pusat perhatian. Ternyata, kalau bertanduk kambing tak kalah ganteng. Dengan angkuh, ia memamerkan tanduk pinjamannya ke depan semua betina yang ada. Tak satu mata pun yang tak terpukau. Jika Duma tampak garang dan perkasa dengan tanduk itu, maka Bartus terlihat flamboyan, jauh lebih memikat di hati para betina. Puja-puji melaburinya malam itu.
Tak ada yang sadar tanduk di kepala Bartus adalah berkat kejernihan hati Duma. Hanya Rosso yang tahu, sebab ia begitu hafal bentuk tanduk si anjing. Tapi Bartus tak mengaku. Ia bilang, tanduk itu didapatnya dari puncak gunung lain. Si gajah pun tak lagi bertanya.
Esoknya Bartus tak pulang. Duma cemas. Jangan-jangan celaka? Anjing itu hilir mudik, berputar di sekitar pondoknya sampai dilihatnya Rosso datang. Gajah membawa berita dari pesta semalam bahwa Bartus tampak bahagia.
"Syukurlah. Aku senang kalau dia senang."
"Ya. Sekarang di mana Bartus?"
"Tak tahu."
Rosso tersadar. Bukankah Duma bertanduk? Tapi pagi ini si anjing tampak botak. Duma pun menjelaskan bagaimana akhirnya tanduknya berada di kepala Bartus.
"Oh, jadi dia bohong? Semalam Bartus bilang tanduk itu bukan punyamu."
Duma kaget. Tak ada yang lebih mulia di matanya selain persahabatan. Sekarang, malah ada kabar mengejutkan dari Rosso, gajah yang polos dan jujur. Tidak, tidak mungkin gajah ini berbohong!
Hari itu, di kaki bukit, setelah berjam-jam mencari, akhirnya Duma melihat Bartus. Kambing itu dengan congkak memamerkan tanduk "milik"-nya ke beberapa hewan yang belum pernah ke pesta. Mereka yang berpasangan memang lebih senang tinggal di rumah saat malam tiba.
"Ini tandukku. Hebat, 'kan? Di pesta, semua hewan memujiku. Raja Leon saja jarang dipuji!"
"Wah, kamu tampan, Tus! Pasti banyak betina yang suka!"
Duma tak tahan mendengar itu. Tapi, sebagian hati kecilnya berkata, mungkin untuk sementara, biarlah Bartus bersenang-senang dengan tanduknya. Bukankah selama ini dia dicela? Bukankah selama ini Bartus kecewa?
Ya, mungkin itu alasan Bartus mengakui tandukku. Agar ia tak dilecehkan. Pasti setelah ini tandukku akan dikembalikan, batin Duma. Ia mencoba berpikir positif. Ia pulang tanpa mengganggu Bartus.
Tapi sampai empat hari kemudian, Bartus tak juga pulang. Di hari kelima Duma marah. Sudah empat hari ia puasa. Tanpa tanduk ia tak bisa berburu ikan. Hanya dengan tanduk ia bisa berenang. Hanya dengan tanduk, ia bisa bertahan hidup.
Dengan sisa tenaga, Duma mencari Bartus. Matahari terik, membakar wajah dan punggung. Duma terus berjalan. Seisi bukit ia telusuri, Bartus tetap tidak ada. Akhirnya, saat mulai putus asa, saat anjing itu duduk di kaki bukit, di sisi bukit lain ia melihat Bartus. Rupanya ia berhasil menemukan kambing betina. Kambing jantan itu merayu gadisnya dengan tanduk. Duma dibakar rasa cemburu.
"Aku yang rela tidak kawin, malah kau tusuk dari belakang! Kambing sialan!" batin Duma bergejolak. Ia menggonggong. Moncong hitamnya basah oleh liur. Ia lari sekencang-kencangnya. "Hei, Bartus! Kembalikan tandukku!" pekiknya.
Bartus, yang asyik menggoda kekasihnya, terperanjat. Ia pikir dengan pindah ke bukit lain, Duma bakal melupakan tanduk dan janjinya. Tapi tidak. Duma justru datang mencarinya. Bartus mundur. Kambing betina takut dan bersembunyi di balik pohon.
"Katamu kamu tidak butuh kawin. Jadi buat apa tanduk ini? Ikhlaskan saja," sahut Bartus.
Duma naik darah. Tak ada lagi toleransi. Tak ada lagi persahabatan. Bartus sudah berkhianat dan kini terang-terangan tak mau mengembalikan tanduknya.
"Kembalikan! Kalau tidak..."
"Kalau tidak, kenapa? Kamu mau memakanku, ha? Tidak, kamu sudah berjanji, Duma!"
Jantung si anjing berdegup kencang. Ya, ia memang tidak akan memakan Bartus. Ia sudah berjanji dan janji seekor anjing adalah janji sehidup semati, tidak akan dilanggar sampai ajal menjemput.
Walaupun angkuh dan kurang ajar, Bartus takut melihat wajah Duma yang semarah ini. Taringnya bermunculan, hingga terpikir akankah lehernya terluka, seperti seorang manusia yang dulu pernah akan menyembelihnya? Duma perkasa. Kekuatannya tidak tertandingi. Sedangkan dia sendiri, meski bertanduk, belum paham bagaimana cara menggunakan tanduk itu untuk bertempur. Lagi pula, kambing itu terlalu kurus.
Bartus ngeri, meski ia tahu Duma tidak mungkin melanggar janji.
"Kembalikan tandukku! Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup!"
"Oh, tidak. Dengan tanduk ini, justru hidupku lebih baik. Tidak ada lagi hewan yang mencelaku!"
Tak buang waktu, setelah membantah, Bartus lari meninggalkan betinanya yang terkencing-kencing di bawah pohon. Duma mengejarnya sekuat tenaga. Bartus pikir, kelebihannya berlarilah yang bisa mengalahkan Duma. Tapi ia salah. Anjing itu justru menyusulnya seiring berjalannya waktu. Hanya beberapa menit, jarak mereka tinggal sejengkal saja.
"Kambing sialan!" umpat Duma seraya melompat dengan sisa tenaga. Kakinya sudah lelah. Dibukanya moncong berliur itu, diraihnya sesuatu yang tidak membuatnya melanggar janji, namun memberi pelajaran bagi si kambing.
"Waadaaaaoowww!!!" teriak Bartus seketika setelah Duma menutup moncongnya erat. Ekor panjangnya tergigit!
Duma mencengkeram ekor itu dengan taring-taring tajamnya. Tidak, Bartus tidak bisa lari lagi. Dengan begini, pikir si anjing, kambing sialan itu akan mengembalikan tandukku.
Namun, dasar Bartus keras kepala, ia tak menyerah. Meski kesakitan, ia berhasil kabur dengan mengorbankan ekor panjangnya. Pantatnya berdarah-darah. Duma yang kehilangan daya buat mengejar, hanya sanggup memandangi ekor Bartus di depan moncongnya, sementara kambing itu entah lari ke mana.
Sejak hari itu, kambing yang berekor panjang tidak lagi berekor, melainkan bertanduk. Sementara, anjing yang harusnya bertanduk, malah botak. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Duma belajar dari serigala kerabat jauhnya, yang membantunya meninggalkan kebiasaan makan ikan. Bartus yang tak terima atas kehilangan ekornya, menghasut Puspus, kepala keluarga kucing, bahwa anjing hendak menguasai danau di sisi selatan bukit, agar ikan-ikan di sana hanya menjadi miliknya saja.
Akibat kelicikan Bartus, kini anjing dan kucing bermusuhan. Meski demikian, Duma mendidik anak cucunya untuk tidak melanggar janji. Itulah kenapa sampai hari ini hampir semua anjing di muka bumi tidak mau memangsa kambing. [ ]

(Pasuruan, 21 Nov '14)
Terinspirasi dari buku dongeng "Mengapa Anjing Tak Bertanduk?" terbitan Nestle Dancow.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.