Skip to main content

Catatan Perjalanan: Berbanjir-Banjir Dahulu, Berbahagia Kemudian



Jauh-jauh hari, aku sudah membuat janji dengan teman sesama penulis, Fariha, agar kami berangkat bersama ke acara Kampus Fiksi Roadshow Surabaya yang diadakan oleh Penerbit Divapress. Nama kami terdaftar sebagai dua dari 200-an peserta acara keren ini. Tapi belakangan rencana ini agak berubah gara-gara kejadian di luar dugaan: terpilihnya aku sebagai salah satu dari Top 2 Unsa Ambassador 2015.

Apa itu Unsa? Bagaimana mulanya?

Unsa (Untuk Sahabat) adalah komunitas yang mewadahi para penulis untuk belajar dan berkarya dalam suasana persahabatan. Aku mengenal Unsa di Facebook sejak sekitar akhir 2012 lalu. Dari bulan ke bulan, lomba menulis yang diadakan Unsa makin seru. Hampir tiap lomba aku coba ikuti, mulai dari cerpen hingga mininovel.


Ketika Diva Press membuka pendaftaran peserta Kampus Fiksi Roadshow Surabaya, aku spontan mendaftar. Waktu itu beberapa teman berkomentar di salah satu postingan di grup Unsa. Dang Aji Sidik, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Uncle DAS, pendiri komunitas ini, memposting pengumuman seleksi Unsa Ambassador 2015. Isi pengumuman menyebutkan bahwa Tim Unsa sedang menyaring beberapa nama yang hendak dimasukkan ke dalam 10 finalis yang akan berkompetisi memperebutkan gelar Unsa Ambassador 2015.

Jujur saja, yang ada di kepalaku ketika itu cuma satu: gak mungkin aku.

Aku ingat hari itu, 4 November 2014, Uncle DAS mengumumkan 10 nama yang ditunggu-tunggu. Dan, ya, namaku ada di sana. Kaget? Pasti. Aku tidak percaya, karena belum sekali pun aku juara dalam lomba Unsa yang selama ini kuikuti. Inilah ajaibnya Unsa. Dari sepuluh nama penulis itu, agaknya Tim Unsa punya pertimbangan dan kriteria yang aku sendiri tidak tahu detailnya. Yang jelas, aku berucap dalam hati: "Oke, kujalani saja. Apa pun hasilnya, yang penting kuberikan yang terbaik."

Begitulah. Seleksi pun dimulai. Tiap peserta ditugasi menulis karya fiksi sesuai tema dan jenis tulisan yang diminta dengan batas waktu yang ditentukan. Aku sendiri tidak punya target muluk, karena di kepalaku masih mengiang kalimat: gak mungkin aku. Maka, dengan tanpa target, seleksi demi seleksi aku lalui. Dan dengan tanpa target pula, tahu-tahu aku ada di empat besar. Ini di luar dugaan.

Ketika itulah aku ingat Ibu. Selama dua setengah tahun menulis dan rajin ikut lomba, belum satu pun piala kudapat. Mungkin piala Unsa dalam ajang ini bisa membuat hati Ibu senang. Kami tidak pernah merayakan ulang tahun. Sesekali ingin memberi kejutan bolehlah, pikirku.

Aku membatin, "Jadi runner up saja aku bersyukur. Kalaupun tidak, akan ada cara lain untuk memberi Ibu kejutan."

Sampai di sini, aku berharap dan membiarkan semua mengalir; berharap yang baik namun juga siap akan segala kemungkinan. Dan alhamdulillah, kemungkinan yang baik berpihak padaku. Berkat vote teman-teman (syarat menuju Top 3) dan cerpen sastra-religi yang kutulis, judulnya "Wak Kaji dan Suraunya", aku sampai di tahap 2 besar. Bella Vanila, penulis muda berbakat asal Semaranglah, yang maju bersamaku ke tahap ini. Tugas akhir untuk kami adalah menulis cerpen tema lokalitas. Beberapa hari mencari ide, membaca beberapa referensi, akhirnya bahan bagus kudapat dan tugas akhir pun selesai kukerjakan.

Ini yang mengubah rencanaku dan Fariha. Awalnya kukira kami berangkat tanggal 25 Januari, tepat di hari diadakannya Kampus Fiksi Roadshow, Ulang Tahun kelima Unsa, launching buku Cerpil Unsa 2014 "Netizen", sekaligus penobatan Unsa Ambassador 2015 di Balai Pemuda. Tapi beberapa hari sebelum acara, Uncle DAS menghubungi, bilang bahwa dua finalis Ambassador akan diajak berkumpul, bermalam-minggu, dan menginap semalam di Surabaya dengan pendiri dan para admin Unsa sebelum acara dimulai. Nah, otomatis berangkatnya mesti tanggal 24 siang. Karena aku kadung janji pada Fariha, Uncle DAS memberi solusi bahwa dia bisa ikut.

Kami pun mengubah jadwal pribadi hari itu dan siap berangkat tanggal 24 Januari. Aku masih ingat saat mewanti-wanti Fariha agar dia tidak lupa bawa jas hujan. Kami sampai tertawa. Maklum, kami naik motor. Dan tentu, kukira semua akan baik-baik saja. Jas hujan adalah solusi terbaik di musim penghujan.

Tapi kenyataan berkata lain.

Tanggal 24 Januari 2015, sekitar pukul 13.45, dari rumahku yang berada di kawasan Gempol, aku tahu langit Surabaya terang benderang. Beda dengan langit timur dan selatan yang mendung. Barangkali saat itu kota Bangil dan Malang hujan deras. Betapa senang. Kukira jas hujan ini tidak berguna hari itu, walau selalu ada di jok motor. Aku pun berangkat dengan hati riang. Fariha akan kujemput di dekat UINSA, tempatnya kuliah. Dalam kepalaku, semua seakan lancar.

Tapi, setengah jam berlalu, di Sidoarjo, mendung yang tadinya jauh tiba-tiba merayap ke utara. Aku menggaruk kepala... maksudku, helm. Ternyata prediksiku salah. Titik-titik air mulai menyentak halus. Dalam keadaan setengah macet, padat-padatnya kendaraan, sebelum Alun-Alun Sidoarjo, hujan deras pun turun. Benar-benar deras, disertai angin pula.

Aku berhenti, cepat-cepat memakai jas hujan model Batman. Tahu, 'kan, jas hujan Batman? Yang kalau dipakai berkibar-kibar itu, lho. Jas hujan model begini sebetulnya agak kubenci, karena tidak bisa menutup seluruh badan, terutama kaki. Bagaimana aku tetap membawa jas hujan itu, jangan tanyakan. Bagaimana dia tidak bisa menutup seluruh badanku, juga jangan tanyakan. Itu rahasia. :v

Motor melaju pelan. Saking derasnya hujan ini, kacamata terpaksa kulepas. Percuma pakai kacamata, kalau tiap meter harus mengusap dan mengusap lensanya. Jarak pandang terbatas membuatku mengurangi kecepatan. Hujan sempat reda, tapi sebentar, sebelum kemudian turun lebih deras lagi.

Hujan di siang menjelang sore ini membuat jalanan berubah jadi air. Sampai sekitar pukul 15.15, tinggi air di tepi jalan mencapai belasan senti. Aku berhenti di tempat yang teduh, walau masih ada tetes-tetes hujan, tepatnya di bawah jembatan penyeberangan UINSA untuk menunggu Fariha. Kulepas jas hujanku, lalu menggerutu sendiri. Betapa tidak? Baju dan tas kering, tapi celana panjangku basah kuyup!

Lima menit berlalu, Fariha datang. Dan ternyata nasibnya tidak jauh dariku: hanya atasan kami saja yang kering, padahal tujuan masih lumayan jauh. Ckck. Stasiun Pasar Turi, ke sanalah kami menuju.

Setiba di sana, masih dalam kepungan hujan, dan jalanan yang makin lama makin banjir, kucari tempat teduh. Motor kunaikkan ke sebuah trotoar, tidak jauh dari PGS, yang entah tempat untuk apa itu. Mungkin tempat pembuangan sampah atau semacamnya, entahlah. Ada beberapa kecoa bermunculan dari sebuah tembok. Di tengah jalan, banjir sudah setinggi hampir sedengkul. Gara-gara banjir, beberapa kendaraan mogok dan terpaksa didorong. Ngeri rasanya, melihat pemandangan itu. Rasanya kalau hujan sederas ini, Jalan Semarang yang kami lalui saat ini jadi jalan terseram bagi motor. Moga-moga motorku tidak mati nanti, batinku.

Nah, sembari berteduh inilah, kukirim SMS ke Uncle DAS yang berada di stasiun, menunggu kedatangan Bella dan kakaknya dari Semarang. Setelah beberapa SMS terkirim, kuputuskan langsung menuju hotel yang alamatnya dikirim oleh Uncle DAS. Aku tahu tempat itu.

Fariha sempat berkata: "Tak apa, Kak. Hujan begini ini yang bikin berkesan!" saat kubilang padanya bahwa hujan deras tadi membuat kami tampak lucu. Betapa tidak? Aku sulit membayangkan bagaimana kami nanti, yang tidak membawa celana panjang ganti, sementara celana yang terpakai sudah basah kuyup? :D

Hujan pun reda seiring makin meluapnya volume air di permukaan jalan. Motor kupacu pelan, menyusuri kepungan air bersama kendaraan-kendaraan lain. Mendekati pertigaan, ujung Jalan Semarang, banjir makin dalam. Kalau bukan dengan bantuan dorongan kedua kakiku, kami tidak secepat yang kubayangkan sampai di depan, di pertigaan, tempat yang aman dari air. Mesin motorku hampir mati. Beberapa anak kecil memandangi dari jauh. Barangkali siap memberi bantuan mendorong jika mesinku benar-benar mati, seperti halnya motor-motor lain.

Tapi syukurlah, mesin tetap hidup sampai lepas dari banjir. Kami lega. Sampai di hotel, setelah berkenalan dengan Mas Ridho, salah satu penulis senior di Unsa, aku dan Fariha mencari masjid terdekat di sekitar situ. Ternyata tempatnya lumayan jauh. Tak apalah, sekalian mengeringkan celana. Hehe.

Kembali dari masjid, kami duduk-duduk di ruang tengah. Ada beberapa kursi di sana. Entah sudah berapa topik kami bahas. Cukup lama juga kami menunggu kedatangan Uncle DAS, Bella, dan kakaknya. Kami tidak tahu bahwa ternyata kedatangan mereka mundur dari jadwal sebelumnya gara-gara hujan terlalu deras. Tapi berkat menunggu lama ini, alhamdulillah, memberi banyak waktu agar celana kami cepat kering.

Sekitar pukul 18.00, mereka datang. Kami bersalaman dengan Uncle DAS, Bella, dan kakaknya. Pertemuan pertama yang mengesankan. Setelah beberapa menit ngobrol, Uncle DAS mengajak kami menuju rumah makan Sari Ratu yang tidak jauh lokasinya dari Kebun Binatang Surabaya. Duduk di kursi belakang mobil, sepanjang perjalanan aku mengobrol dengan Mas Ridho yang kutahu dari Facebook bahwa beliau adalah resensor handal. Banyak resensinya yang dimuat. Dari obrolan singkat ini, ada motivasi buatku bahwa sesulit apa pun menembus media massa, janganlah kita menyerah.

Di rumah makan itu aku juga bertemu beberapa sahabat Unsa, di antaranya Mbak Jazim, Mbak Debby, Mas WN Rahman (yang baru kutahu nama panggilannya adalah Widya), dan Denny Herdy (salah satu penulis "Bumi Kuntilanak"). Sembari makan, kami mengobrol panjang lebar soal topik seputar novel, cerpen, lomba menulis, media massa, dan kegiatan sehari-hari. Dari sini aku dapat pelajaran, seolah-olah ada sosok bayangan hitam yang datang dan berkata, "Kamu harus menambah bahan bacaan!"


Oh, ya, harap teman-teman yang membaca tulisan ini janganlah tertawa. Diam-diam, sesungguhnya, saat makan malam ini sesekali aku periksa celana panjangku. Yah, aku bersyukur. Seiring waktu, celana ini makin kering, walau "gempuran" AC membuat sisa-sisa air di celana begitu menusuk bagaikan es batu. Hahaha. :v

Tujuan kami berikutnya Balai Pemuda. Waktu menunjukkan pukul 20.00 lewat. Di Balai Pemuda, kami melihat-lihat gedung tempat diadakannya Kampus Fiksi Roadshow dan acara Ulang Tahun Unsa esok paginya. Seperti sebelum meninggalkan rumah makan tadi, di sini kami sempat foto bersama.

Lepas dari Balai Pemuda, mobil bertolak ke Taman Bungkul. Jujur saja, baru kali ini aku masuk taman ini dalam suasana malam hari, malam minggu pula. Kami mampir lebih dulu ke kompleks makam Ki Ageng Bungkul, sebelum menyisir beberapa sudut taman yang penuh oleh muda-mudi. Banyak penjual dari berbagai usia menjajakan dagangan. Saking ramainya, tempat ini seperti tidak akan sepi sampai besok subuh.

Pukul 23.00, tujuan kami selanjutnya kawasan Ngagel, mampir ke tempat nongkrong yang menyediakan beberapa varian susu hangat dan gorengan. Rasa kantuk menyerangku. Barangkali karena sehari sebelumnya kurang tidur. Tapi hari esok kuyakin lebih seru dari sore hingga malam ini.

Lewat jam 12 malam, kami kembali ke hotel dan tidur. Uncle DAS menyewakan dua kamar untuk Mas Widya, Mas Ridho, aku, Bella, Fariha, dan Yolanda (kakak Bella). Tiap kamar untuk tiga orang. Esoknya, pukul 06.00, kami berlima (tanpa Mas Widya, karena dia bilang, "Masih ngantuk." saat diajak Mas Ridho keluar. Heheh :D ) jalan-jalan ke sekitar Tugu Pahlawan. Tempat ini juga ramai. Banyak masyarakat kota Surabaya dari semua usia berolahraga di sini. Hari Minggu yang menyenangkan.

Di luar kompleks monumen kami temukan banyak penjual makanan. Di sinilah kami sarapan pagi itu. Aku, Fariha, dan Mas Ridho memilih soto ayam, sementara Bella dan kakaknya memilih mie ayam. Kami sarapan bersama puluhan orang lain, duduk di trotoar dengan alas seadanya, di bawah naungan sebatang pohon kecil, di tengah lalu lalang pengunjung Tugu Pahlawan dan matahari yang hangat. Ini seru. Bella sempat mencandai Fariha yang agak susah menghabiskan sarapannya, "Ayo, habisin. Cuma setahun sekali kok. Hehe."

Usai sarapan, kami kembali ke hotel, nonton TV sejenak, mandi, dan bersiap check out untuk meluncur ke Balai Pemuda pada pukul 08.30—sesuai arahan dari Uncle DAS sebelum meninggalkan kami semalam.

Di Balai Pemuda, ternyata sudah lumayan banyak peserta yang datang. Antrean di pintu masuk mulai penuh. Aku dan Fariha yang sejak awal membawa motor, datang lebih lambat setelah rombongan Uncle DAS dan kru Unsa lain yang naik mobil. Kami menembus barisan, menyapa beberapa teman lain sesama penulis, lalu mencari tempat duduk di dalam.

Sampai di sini, aku lebih banyak membaca buku selagi menunggu acara dimulai. Acara dibuka oleh host yang kemudian kutahu bernama Mas Aldo. Rupanya acara dimulai dengan launching buku Cerpil Unsa 2014, "Netizen", untuk kemudian disambung dengan pengumuman siapakah di antara aku dan Bella yang terpilih sebagai Unsa Ambassador 2015.

Launching buku "Netizen" diisi tanya jawab singkat pada Mas Widya selaku penulis cerpen terbaik di buku tersebut, foto bersama beberapa penulisnya, serta pembacaan salah satu cerpen karya Pak Edi Akhiles, CEO Divapress, yang juga tercantum di buku ini, oleh Mbak Debby.

Akhirnya, tibalah kami di acara berikutnya, yakni penobatan Unsa Ambassador 2015. Jantungku berdebar kencang. Sejujurnya bukan karena menanti hasilnya. Sejak awal, pencapaian menuju Top 2 pun, sudah lebih dari cukup bagiku. Aku hanya cemas dan punya firasat, bakal dikerjain oleh host yang kocak dan seperti tidak henti menyelipkan canda di tiap kalimatnya itu. Dan benar, saat Mas Aldo mengundangku dan Bella ke depan, hampir tiap kalimat serius ia selipi guyonan. Acara jadi tampak menyenangkan bagi 200-an peserta yang hadir di sana, tapi memulaskan perutku. Hahah. :3 Bagian yang memalukan buatku adalah ketika aku dan Bella diberi tantangan oleh host ini untuk bercerita bebas dengan satu clue benda yang dia tunjuk secara asal. Masing-masing kami diberi waktu satu menit untuk bercerita, bukan menulis. "Kalau menulis kan sudah biasa!" kata host itu. Dan hasilnya, cerita garing pun kuhasilkan. Serasa ada bunyi jangkrik, "Krik, krik, krik," di sekitar kupingku gara-gara cerita ngalor-ngidul-ku yang tak jelas. Ckck. :D

Kira-kira 10-15 menit kami di-kerjain oleh Mas Aldo, sampai akhirnya Uncle DAS dan Mbak Jazim, selaku pendiri dan pengurus Unsa, maju ke depan dan membawa amplop berisi hasil penjurian kepada finalis Top 2. Di meja bundar yang ada di panggung, sebelumnya ditata rapi dua piala, dua bingkisan buku, beberapa hadiah tambahan, dan uang tunai. Selempang bertuliskan Unsa Ambassador 2015 juga disiapkan untuk siapa yang terpilih. Saat host membacakan angka-angka hasil penjurian, aku tidak begitu mencermati, apalagi mengingat. Yah, sampai detik ini, aku dan Bella masih di-kerjain. Heheh.

Aku yakin, apa pun yang terjadi, sudah diatur oleh-Nya. Aku yang bisa dibilang baru sebatas anggota grup Unsa, yang mencoba untuk menulis lebih baik, dan mencoba untuk terus belajar, seolah tak percaya mendengar namaku disebut sebagai Unsa Ambassador 2015, setelah selingan-selingan "ketegangan" dari host. "Biar mirip kayak di TV," begitu katanya. Piala, bingkisan buku, dan uang tunai kuterima dengan perasaan masih tidak percaya. Benarkah ini? Ya, ini benar, bisik seseorang di sana yang entah siapa.

Yang lebih tak kusangka adalah ketika Mbak Jazim mengambil satu buku tebal yang dari sampulnya saja membuatku tersentak: kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, "Senja & Cinta yang Berdarah". Ya, buku tebal yang harganya lumayan itu. Sudah lama aku mencari, tapi selalu kehabisan. Dan hari itu, Mbak Jazim menghadiahkannya padaku, membuat semangat menulisku kian meroket. Terima kasih, Mbak. :)

Kesan dan pesan hanya singkat kuucap; sekitar konsistensi menulis. Itu saja. Bahkan aku lupa mengucap terima kasih dan kesan-kesan lain yang harusnya diucap. Barangkali karena gugup. Nanti-nanti, sekembali ke tempat duduk, saat acara Kampus Fiksi dimulai, aku baru sadar dan menepuk jidat. Betapa cerobohnya!

Maka, lewat tulisan ini, aku mengucap terima kasih banyak kepada Uncle DAS, Mbak Jazim, Mas Ridho, dan semua admin Unsa, baik yang kukenal maupun belum. Kalau boleh dibilang, ini ajaib. Ya, ajaib. Sebelumnya, hanya sebagian dari mereka yang kukenal. Itu pun sebatas di dunia maya. Tapi di Unsa, batas-batas semacam itu tak ada. Ibarat kata, "Siapa pun kamu, dari mana pun kamu berasal, selama niat dan mau berusaha, pasti bisa berkarya bersama Unsa!"


Hari itu aku belajar, bahwa pencapaian dan kebahagiaan bukan semata soal apa yang bisa dilihat dan disentuh, tapi juga apa yang dirasa oleh hati. Dan aku merasa, Unsa sudah menjadi bagian dalam hidupku. Terima kasih. Ini kado awal tahun yang manis.

Selesai acara Kampus Fiksi Roadshow, maka selesai pulalah seluruh acara hari itu. Saat melangkah ke tempat parkir, aku berucap, "Banjir-banjir kemarin, gak nyangka berujung ini. Alhamdulillah." Dan Fariha pun mengamini, "Yap. Dan berkesan."

Kutatap langit, ada mendung di selatan. Kami pakai jas hujan saat itu juga, walau belum ada hujan. Kali ini tidak perlu cemas. Tiba-tiba saja jas hujan Batman jadi temanku. :)

26-27 Januari 2015
Oleh: Ken Hanggara, freelance writer/editor, Unsa Ambassador 2015, anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.

Comments

  1. wah, ternyata perjalanan di Surabaya kemarin jadi catatan panjang begini ya. keren, Mas Ken! saya juga punya tulisan tentang perjalanan kemaren. akan saya persiapkan untuk diunggah ke blog. ini blog saya, Mas: www.zyadahsite.blogspot.com

    salam manis,
    Zyadah

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.