Jauh-jauh hari, aku sudah membuat janji dengan
teman sesama penulis, Fariha, agar kami berangkat bersama ke acara Kampus Fiksi
Roadshow Surabaya yang diadakan oleh Penerbit Divapress. Nama kami terdaftar
sebagai dua dari 200-an peserta acara keren ini. Tapi belakangan rencana ini
agak berubah gara-gara kejadian di luar dugaan: terpilihnya aku sebagai salah
satu dari Top 2 Unsa Ambassador 2015.
Apa itu Unsa? Bagaimana mulanya?
Unsa (Untuk Sahabat) adalah komunitas yang
mewadahi para penulis untuk belajar dan berkarya dalam suasana persahabatan.
Aku mengenal Unsa di Facebook sejak sekitar akhir 2012 lalu. Dari bulan ke
bulan, lomba menulis yang diadakan Unsa makin seru. Hampir tiap lomba aku coba
ikuti, mulai dari cerpen hingga mininovel.
Ketika Diva Press membuka pendaftaran peserta
Kampus Fiksi Roadshow Surabaya, aku spontan mendaftar. Waktu itu beberapa teman
berkomentar di salah satu postingan di grup Unsa. Dang Aji Sidik, atau yang
biasa dikenal dengan sebutan Uncle DAS, pendiri komunitas ini, memposting
pengumuman seleksi Unsa Ambassador 2015. Isi pengumuman menyebutkan bahwa Tim
Unsa sedang menyaring beberapa nama yang hendak dimasukkan ke dalam 10 finalis
yang akan berkompetisi memperebutkan gelar Unsa Ambassador 2015.
Jujur saja, yang ada di kepalaku ketika itu cuma
satu: gak mungkin aku.
Aku ingat hari itu, 4 November 2014, Uncle DAS
mengumumkan 10 nama yang ditunggu-tunggu. Dan, ya, namaku ada di sana. Kaget? Pasti.
Aku tidak percaya, karena belum sekali pun aku juara dalam lomba Unsa yang
selama ini kuikuti. Inilah ajaibnya Unsa. Dari sepuluh nama penulis itu,
agaknya Tim Unsa punya pertimbangan dan kriteria yang aku sendiri tidak tahu
detailnya. Yang jelas, aku berucap dalam hati: "Oke, kujalani saja. Apa
pun hasilnya, yang penting kuberikan yang terbaik."
Begitulah. Seleksi pun dimulai. Tiap peserta
ditugasi menulis karya fiksi sesuai tema dan jenis tulisan yang diminta dengan
batas waktu yang ditentukan. Aku sendiri tidak punya target muluk,
karena di kepalaku masih mengiang kalimat: gak mungkin aku. Maka, dengan
tanpa target, seleksi demi seleksi aku lalui. Dan dengan tanpa target pula,
tahu-tahu aku ada di empat besar. Ini di luar dugaan.
Ketika itulah aku ingat Ibu. Selama dua setengah
tahun menulis dan rajin ikut lomba, belum satu pun piala kudapat. Mungkin piala
Unsa dalam ajang ini bisa membuat hati Ibu senang. Kami tidak pernah merayakan
ulang tahun. Sesekali ingin memberi kejutan bolehlah, pikirku.
Aku membatin, "Jadi runner up saja aku
bersyukur. Kalaupun tidak, akan ada cara lain untuk memberi Ibu kejutan."
Sampai di sini, aku berharap dan membiarkan semua
mengalir; berharap yang baik namun juga siap akan segala kemungkinan. Dan alhamdulillah,
kemungkinan yang baik berpihak padaku. Berkat vote teman-teman
(syarat menuju Top 3) dan cerpen sastra-religi yang kutulis, judulnya "Wak
Kaji dan Suraunya", aku sampai di tahap 2 besar. Bella Vanila, penulis
muda berbakat asal Semaranglah, yang maju bersamaku ke tahap ini. Tugas akhir
untuk kami adalah menulis cerpen tema lokalitas. Beberapa hari mencari ide,
membaca beberapa referensi, akhirnya bahan bagus kudapat dan tugas akhir pun
selesai kukerjakan.
Ini yang mengubah rencanaku dan Fariha. Awalnya
kukira kami berangkat tanggal 25 Januari, tepat di hari diadakannya Kampus
Fiksi Roadshow, Ulang Tahun kelima Unsa, launching buku Cerpil Unsa 2014
"Netizen", sekaligus penobatan Unsa Ambassador 2015 di Balai Pemuda.
Tapi beberapa hari sebelum acara, Uncle DAS menghubungi, bilang bahwa dua
finalis Ambassador akan diajak berkumpul, bermalam-minggu, dan menginap semalam
di Surabaya dengan pendiri dan para admin Unsa sebelum acara dimulai. Nah,
otomatis berangkatnya mesti tanggal 24 siang. Karena aku kadung janji pada
Fariha, Uncle DAS memberi solusi bahwa dia bisa ikut.
Kami pun mengubah jadwal pribadi hari itu dan siap
berangkat tanggal 24 Januari. Aku masih ingat saat mewanti-wanti Fariha
agar dia tidak lupa bawa jas hujan. Kami sampai tertawa. Maklum, kami naik
motor. Dan tentu, kukira semua akan baik-baik saja. Jas hujan adalah solusi
terbaik di musim penghujan.
Tapi kenyataan berkata lain.
Tanggal 24 Januari 2015, sekitar pukul 13.45, dari
rumahku yang berada di kawasan Gempol, aku tahu langit Surabaya terang
benderang. Beda dengan langit timur dan selatan yang mendung. Barangkali saat
itu kota Bangil dan Malang hujan deras. Betapa senang. Kukira jas hujan ini
tidak berguna hari itu, walau selalu ada di jok motor. Aku pun berangkat dengan
hati riang. Fariha akan kujemput di dekat UINSA, tempatnya kuliah. Dalam
kepalaku, semua seakan lancar.
Tapi, setengah jam berlalu, di Sidoarjo, mendung
yang tadinya jauh tiba-tiba merayap ke utara. Aku menggaruk kepala... maksudku,
helm. Ternyata prediksiku salah. Titik-titik air mulai menyentak halus. Dalam
keadaan setengah macet, padat-padatnya kendaraan, sebelum Alun-Alun Sidoarjo,
hujan deras pun turun. Benar-benar deras, disertai angin pula.
Aku berhenti, cepat-cepat memakai jas hujan model
Batman. Tahu, 'kan, jas hujan Batman? Yang kalau dipakai berkibar-kibar itu,
lho. Jas hujan model begini sebetulnya agak kubenci, karena tidak bisa menutup
seluruh badan, terutama kaki. Bagaimana aku tetap membawa jas hujan itu, jangan
tanyakan. Bagaimana dia tidak bisa menutup seluruh badanku, juga jangan
tanyakan. Itu rahasia. :v
Motor melaju pelan. Saking derasnya hujan ini,
kacamata terpaksa kulepas. Percuma pakai kacamata, kalau tiap meter harus
mengusap dan mengusap lensanya. Jarak pandang terbatas membuatku mengurangi
kecepatan. Hujan sempat reda, tapi sebentar, sebelum kemudian turun lebih deras
lagi.
Hujan di siang menjelang sore ini membuat jalanan
berubah jadi air. Sampai sekitar pukul 15.15, tinggi air di tepi jalan mencapai
belasan senti. Aku berhenti di tempat yang teduh, walau masih ada tetes-tetes
hujan, tepatnya di bawah jembatan penyeberangan UINSA untuk menunggu Fariha.
Kulepas jas hujanku, lalu menggerutu sendiri. Betapa tidak? Baju dan tas
kering, tapi celana panjangku basah kuyup!
Lima menit berlalu, Fariha datang. Dan ternyata
nasibnya tidak jauh dariku: hanya atasan kami saja yang kering, padahal tujuan
masih lumayan jauh. Ckck. Stasiun Pasar Turi, ke sanalah kami menuju.
Setiba di sana, masih dalam kepungan hujan, dan
jalanan yang makin lama makin banjir, kucari tempat teduh. Motor kunaikkan ke
sebuah trotoar, tidak jauh dari PGS, yang entah tempat untuk apa itu. Mungkin
tempat pembuangan sampah atau semacamnya, entahlah. Ada beberapa kecoa
bermunculan dari sebuah tembok. Di tengah jalan, banjir sudah setinggi hampir
sedengkul. Gara-gara banjir, beberapa kendaraan mogok dan terpaksa didorong.
Ngeri rasanya, melihat pemandangan itu. Rasanya kalau hujan sederas ini, Jalan
Semarang yang kami lalui saat ini jadi jalan terseram bagi motor. Moga-moga
motorku tidak mati nanti, batinku.
Nah, sembari berteduh inilah, kukirim SMS ke Uncle
DAS yang berada di stasiun, menunggu kedatangan Bella dan kakaknya dari
Semarang. Setelah beberapa SMS terkirim, kuputuskan langsung menuju hotel yang
alamatnya dikirim oleh Uncle DAS. Aku tahu tempat itu.
Fariha sempat berkata: "Tak apa, Kak. Hujan
begini ini yang bikin berkesan!" saat kubilang padanya bahwa hujan deras
tadi membuat kami tampak lucu. Betapa tidak? Aku sulit membayangkan bagaimana
kami nanti, yang tidak membawa celana panjang ganti, sementara celana yang
terpakai sudah basah kuyup? :D
Hujan pun reda seiring makin meluapnya volume air
di permukaan jalan. Motor kupacu pelan, menyusuri kepungan air bersama
kendaraan-kendaraan lain. Mendekati pertigaan, ujung Jalan Semarang, banjir
makin dalam. Kalau bukan dengan bantuan dorongan kedua kakiku, kami tidak
secepat yang kubayangkan sampai di depan, di pertigaan, tempat yang aman dari
air. Mesin motorku hampir mati. Beberapa anak kecil memandangi dari jauh.
Barangkali siap memberi bantuan mendorong jika mesinku benar-benar mati,
seperti halnya motor-motor lain.
Tapi syukurlah, mesin tetap hidup sampai lepas
dari banjir. Kami lega. Sampai di hotel, setelah berkenalan dengan Mas Ridho,
salah satu penulis senior di Unsa, aku dan Fariha mencari masjid terdekat di
sekitar situ. Ternyata tempatnya lumayan jauh. Tak apalah, sekalian
mengeringkan celana. Hehe.
Kembali dari masjid, kami duduk-duduk di ruang
tengah. Ada beberapa kursi di sana. Entah sudah berapa topik kami bahas. Cukup
lama juga kami menunggu kedatangan Uncle DAS, Bella, dan kakaknya. Kami tidak
tahu bahwa ternyata kedatangan mereka mundur dari jadwal sebelumnya gara-gara
hujan terlalu deras. Tapi berkat menunggu lama ini, alhamdulillah, memberi
banyak waktu agar celana kami cepat kering.
Sekitar pukul 18.00, mereka datang. Kami
bersalaman dengan Uncle DAS, Bella, dan kakaknya. Pertemuan pertama yang
mengesankan. Setelah beberapa menit ngobrol, Uncle DAS mengajak kami
menuju rumah makan Sari Ratu yang tidak jauh lokasinya dari Kebun Binatang
Surabaya. Duduk di kursi belakang mobil, sepanjang perjalanan aku mengobrol
dengan Mas Ridho yang kutahu dari Facebook bahwa beliau adalah resensor handal.
Banyak resensinya yang dimuat. Dari obrolan singkat ini, ada motivasi buatku bahwa
sesulit apa pun menembus media massa, janganlah kita menyerah.
Di rumah makan itu aku juga bertemu beberapa
sahabat Unsa, di antaranya Mbak Jazim, Mbak Debby, Mas WN Rahman (yang baru
kutahu nama panggilannya adalah Widya), dan Denny Herdy (salah satu penulis
"Bumi Kuntilanak"). Sembari makan, kami mengobrol panjang lebar soal
topik seputar novel, cerpen, lomba menulis, media massa, dan kegiatan
sehari-hari. Dari sini aku dapat pelajaran, seolah-olah ada sosok bayangan
hitam yang datang dan berkata, "Kamu harus menambah bahan bacaan!"
Oh, ya, harap teman-teman yang membaca tulisan ini
janganlah tertawa. Diam-diam, sesungguhnya, saat makan malam ini sesekali aku
periksa celana panjangku. Yah, aku bersyukur. Seiring waktu, celana ini makin
kering, walau "gempuran" AC membuat sisa-sisa air di celana begitu
menusuk bagaikan es batu. Hahaha. :v
Tujuan kami berikutnya Balai Pemuda. Waktu
menunjukkan pukul 20.00 lewat. Di Balai Pemuda, kami melihat-lihat gedung
tempat diadakannya Kampus Fiksi Roadshow dan acara Ulang Tahun Unsa esok
paginya. Seperti sebelum meninggalkan rumah makan tadi, di sini kami sempat
foto bersama.
Lepas dari Balai Pemuda, mobil bertolak ke Taman
Bungkul. Jujur saja, baru kali ini aku masuk taman ini dalam suasana malam
hari, malam minggu pula. Kami mampir lebih dulu ke kompleks makam Ki Ageng
Bungkul, sebelum menyisir beberapa sudut taman yang penuh oleh muda-mudi.
Banyak penjual dari berbagai usia menjajakan dagangan. Saking ramainya, tempat
ini seperti tidak akan sepi sampai besok subuh.
Pukul 23.00, tujuan kami selanjutnya kawasan
Ngagel, mampir ke tempat nongkrong yang menyediakan beberapa varian susu
hangat dan gorengan. Rasa kantuk menyerangku. Barangkali karena sehari
sebelumnya kurang tidur. Tapi hari esok kuyakin lebih seru dari sore hingga
malam ini.
Lewat jam 12 malam, kami kembali ke hotel dan
tidur. Uncle DAS menyewakan dua kamar untuk Mas Widya, Mas Ridho, aku, Bella,
Fariha, dan Yolanda (kakak Bella). Tiap kamar untuk tiga orang. Esoknya, pukul
06.00, kami berlima (tanpa Mas Widya, karena dia bilang, "Masih
ngantuk." saat diajak Mas Ridho keluar. Heheh :D ) jalan-jalan ke sekitar
Tugu Pahlawan. Tempat ini juga ramai. Banyak masyarakat kota Surabaya dari
semua usia berolahraga di sini. Hari Minggu yang menyenangkan.
Di luar kompleks monumen kami temukan banyak
penjual makanan. Di sinilah kami sarapan pagi itu. Aku, Fariha, dan Mas Ridho
memilih soto ayam, sementara Bella dan kakaknya memilih mie ayam. Kami sarapan
bersama puluhan orang lain, duduk di trotoar dengan alas seadanya, di bawah
naungan sebatang pohon kecil, di tengah lalu lalang pengunjung Tugu Pahlawan
dan matahari yang hangat. Ini seru. Bella sempat mencandai Fariha yang agak
susah menghabiskan sarapannya, "Ayo, habisin. Cuma setahun sekali
kok. Hehe."
Usai sarapan, kami kembali ke hotel, nonton TV
sejenak, mandi, dan bersiap check out untuk meluncur ke Balai Pemuda
pada pukul 08.30—sesuai arahan dari Uncle DAS sebelum meninggalkan kami
semalam.
Di Balai Pemuda, ternyata sudah lumayan banyak
peserta yang datang. Antrean di pintu masuk mulai penuh. Aku dan Fariha yang
sejak awal membawa motor, datang lebih lambat setelah rombongan Uncle DAS dan
kru Unsa lain yang naik mobil. Kami menembus barisan, menyapa beberapa teman
lain sesama penulis, lalu mencari tempat duduk di dalam.
Sampai di sini, aku lebih banyak membaca buku
selagi menunggu acara dimulai. Acara dibuka oleh host yang kemudian
kutahu bernama Mas Aldo. Rupanya acara dimulai dengan launching buku
Cerpil Unsa 2014, "Netizen", untuk kemudian disambung dengan
pengumuman siapakah di antara aku dan Bella yang terpilih sebagai Unsa
Ambassador 2015.
Launching buku "Netizen" diisi tanya jawab singkat
pada Mas Widya selaku penulis cerpen terbaik di buku tersebut, foto bersama
beberapa penulisnya, serta pembacaan salah satu cerpen karya Pak Edi Akhiles,
CEO Divapress, yang juga tercantum di buku ini, oleh Mbak Debby.
Akhirnya, tibalah kami di acara berikutnya, yakni
penobatan Unsa Ambassador 2015. Jantungku berdebar kencang. Sejujurnya bukan
karena menanti hasilnya. Sejak awal, pencapaian menuju Top 2 pun, sudah lebih
dari cukup bagiku. Aku hanya cemas dan punya firasat, bakal dikerjain oleh
host yang kocak dan seperti tidak henti menyelipkan canda di tiap
kalimatnya itu. Dan benar, saat Mas Aldo mengundangku dan Bella ke depan,
hampir tiap kalimat serius ia selipi guyonan. Acara jadi tampak
menyenangkan bagi 200-an peserta yang hadir di sana, tapi memulaskan perutku.
Hahah. :3 Bagian yang memalukan buatku adalah ketika aku dan Bella diberi
tantangan oleh host ini untuk bercerita bebas dengan satu clue benda
yang dia tunjuk secara asal. Masing-masing kami diberi waktu satu menit untuk
bercerita, bukan menulis. "Kalau menulis kan sudah biasa!" kata host
itu. Dan hasilnya, cerita garing pun kuhasilkan. Serasa ada bunyi jangkrik,
"Krik, krik, krik," di sekitar kupingku gara-gara cerita ngalor-ngidul-ku
yang tak jelas. Ckck. :D
Kira-kira 10-15 menit kami di-kerjain oleh
Mas Aldo, sampai akhirnya Uncle DAS dan Mbak Jazim, selaku pendiri dan pengurus
Unsa, maju ke depan dan membawa amplop berisi hasil penjurian kepada finalis
Top 2. Di meja bundar yang ada di panggung, sebelumnya ditata rapi dua piala,
dua bingkisan buku, beberapa hadiah tambahan, dan uang tunai. Selempang
bertuliskan Unsa Ambassador 2015 juga disiapkan untuk siapa yang terpilih. Saat
host membacakan angka-angka hasil penjurian, aku tidak begitu
mencermati, apalagi mengingat. Yah, sampai detik ini, aku dan Bella masih di-kerjain.
Heheh.
Aku yakin, apa pun yang terjadi, sudah diatur
oleh-Nya. Aku yang bisa dibilang baru sebatas anggota grup Unsa, yang mencoba
untuk menulis lebih baik, dan mencoba untuk terus belajar, seolah tak percaya
mendengar namaku disebut sebagai Unsa Ambassador 2015, setelah
selingan-selingan "ketegangan" dari host. "Biar mirip kayak
di TV," begitu katanya. Piala, bingkisan buku, dan uang tunai kuterima
dengan perasaan masih tidak percaya. Benarkah ini? Ya, ini benar, bisik
seseorang di sana yang entah siapa.
Yang lebih tak kusangka adalah ketika Mbak Jazim
mengambil satu buku tebal yang dari sampulnya saja membuatku tersentak:
kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, "Senja & Cinta yang
Berdarah". Ya, buku tebal yang harganya lumayan itu. Sudah lama aku
mencari, tapi selalu kehabisan. Dan hari itu, Mbak Jazim menghadiahkannya padaku,
membuat semangat menulisku kian meroket. Terima kasih, Mbak. :)
Kesan dan pesan hanya singkat kuucap; sekitar
konsistensi menulis. Itu saja. Bahkan aku lupa mengucap terima kasih dan
kesan-kesan lain yang harusnya diucap. Barangkali karena gugup. Nanti-nanti,
sekembali ke tempat duduk, saat acara Kampus Fiksi dimulai, aku baru sadar dan
menepuk jidat. Betapa cerobohnya!
Maka, lewat tulisan ini, aku mengucap terima kasih
banyak kepada Uncle DAS, Mbak Jazim, Mas Ridho, dan semua admin Unsa, baik yang
kukenal maupun belum. Kalau boleh dibilang, ini ajaib. Ya, ajaib. Sebelumnya,
hanya sebagian dari mereka yang kukenal. Itu pun sebatas di dunia maya. Tapi di
Unsa, batas-batas semacam itu tak ada. Ibarat kata, "Siapa pun kamu, dari
mana pun kamu berasal, selama niat dan mau berusaha, pasti bisa berkarya
bersama Unsa!"
Hari itu aku belajar, bahwa pencapaian dan
kebahagiaan bukan semata soal apa yang bisa dilihat dan disentuh, tapi juga apa
yang dirasa oleh hati. Dan aku merasa, Unsa sudah menjadi bagian dalam hidupku.
Terima kasih. Ini kado awal tahun yang manis.
Selesai acara Kampus Fiksi Roadshow, maka
selesai pulalah seluruh acara hari itu. Saat melangkah ke tempat parkir, aku berucap, "Banjir-banjir kemarin, gak
nyangka berujung ini. Alhamdulillah." Dan Fariha pun mengamini,
"Yap. Dan berkesan."
Kutatap langit, ada mendung di selatan. Kami pakai
jas hujan saat itu juga, walau belum ada hujan. Kali ini tidak perlu cemas.
Tiba-tiba saja jas hujan Batman jadi temanku. :)
26-27 Januari 2015
Oleh: Ken Hanggara, freelance writer/editor, Unsa Ambassador 2015, anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.
wah, ternyata perjalanan di Surabaya kemarin jadi catatan panjang begini ya. keren, Mas Ken! saya juga punya tulisan tentang perjalanan kemaren. akan saya persiapkan untuk diunggah ke blog. ini blog saya, Mas: www.zyadahsite.blogspot.com
ReplyDeletesalam manis,
Zyadah