Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca.
***
Di halaman depan sebuah masjid, perempuan itu tampak disambut oleh beberapa anak. Mereka lucu-lucu, berseragam biru dan hijau, berebut saling mencium tangannya. Sudah menjadi rutinitas setiap sore bagi Bu Endang—begitu beliau dikenal oleh warga kampung—mengajar ngaji anak-anak usia 5 hingga 12 tahun di salah satu dusun di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Tak ada yang mengira masa kecil yang beliau jalani begitu jauh dari kehidupannya hari ini. Lahir dari keluarga kaya dan terpandang, serba kecukupan, dengan berbagai fasilias yang harusnya membuat Endang kecil tumbuh menjadi remaja gaul, bebas, atau bahkan tidak teratur, justru membawanya ke tengah cahaya.
Di antara sepuluh bersaudara, Endang yang menonjol dalam hal mengaji. Ini tak lepas dari didikan sang ayah yang disiplin. Namun, seiring berjalannya waktu, pekerjaan dan kesibukan sebagai wanita karier seolah menjadi benteng untuk mewujudkan salah satu keinginannya: menjadi guru ngaji. Tetapi siapa sangka, pertemuan dengan pemuda pecinta alam, yang kelak menjadi suaminya, merobohkan satu per satu dinding benteng itu?
Hari ini kita bisa melihat bukti tidak adanya penghalang apa pun bagi mimpi mulia seorang Endang. Lepas ashar, beliau yang telah menikah selama lebih dari tiga dekade dan mempunyai tiga orang putra ini, berjalan ke sebuah masjid yang berjarak sekitar 0,7 kilometer dari rumahnya. Tidak peduli hujan, tidak peduli panas, beliau tetap berangkat, hanya untuk menularkan ilmu agama pada murid-muridnya.
Tak ada yang menyangka, Endang yang dulu dikenal sebagai "orang kantoran", bermetamorfosis menjadi Bu Endang guru mengaji. Hijrah dari kota yang serba ada ke desa yang tidak semua kebutuhan hidup bisa tercapai—lebih-lebih keadaan ekonomi tidak seperti dulu setelah beberapa kali cobaan menimpa keluarganya—justru membuka jalan mimpi itu. Berbagai kegiatan rutin pengajian, mulai dari yang diadakan oleh RW hingga kelurahan, semua diikuti. Maka, beliau mengenal banyak tokoh agama dan masyarakat. Satu per satu gambaran tentang "orang kantoran" yang melekat erat di benak warga kampung pun, pelan-pelan gugur, melihat keseharian yang mulai berbeda dari seorang Endang.
Pergaulan dengan mereka yang dekat dengan tuhan, membuat Endang mempunyai satu mimpi baru: ingin pergi haji. Hanya saja, seperti yang kita tahu, keadaan ekonomi sudah tidak seperti dulu. "Dulu belum kepikiran pergi haji. Padahal kalau ditabung, gaji saya dan suami cukup," ungkapnya. Pada masa-masa "jaya" itu, Endang dan suami senang membantu orangtua dan saudara mereka yang membutuhkan, sampai-sampai melupakan bahwa menabung itu penting untuk masa depan. Dan panggilan hati itu justru datang saat kondisi sudah berubah.
Namun meski demikian, tidak ada yang perlu disesali, begitu tutup Endang ketika sekali lagi seorang tetangga bertanya. Maka, sepasang suami istri ini pun menyimpan harapan bahwa kelak mereka benar-benar bisa menyentuh Ka'bah.
Di balik munculnya keinginan baru itu, pertengahan tahun 2007, Endang merasa bahwa mungkin jalan mimpi menjadi guru ngaji tidak pernah ada. Selain karena soal tempat, banyaknya jumlah guru mengaji di kampung pun menjadi tantangan tersendiri. Beliau pribadi tidak enak atau sungkan untuk sekadar mengucap keinginan itu di depan sahabatnya yang seorang haji—yang kebetulan seorang pengurus sebuah TPQ.
Namun di sinilah keajaiban hadir. Melihat kemampuan mengaji Endang yang baik, tanpa diminta, Hajah Um, begitu nama sahabatnya itu, berujar, "Kalau Dik Endang mau, akan saya rekomendasikan ke pimpinan TPQ. Biar bisa bantu ngajar. Kebetulan salah satu guru ngaji sudah pindah."
Tentu saja, tawaran ini bak bergelas-gelas air segar di tengah padang pasir. Endang tidak menolak. Dengan segera, beliau menyandang gelar "guru mengaji", meski tanpa bayaran.
"Ilmu yang bermanfaat itu baik. Jika ditularkan untuk anak-anak itu, Ibu rasa sudah lebih dari cukup membahagiakan hati, ketimbang sekadar materi yang cepat habis," tuturnya suatu waktu pada salah satu anaknya, ketika ditanya kenapa ibu mau jalan jauh-jauh, menentang panas dan hujan tanpa mendapat apa-apa.
Betapa tidak bahagia? Dukungan dari keluarga memudahkan semuanya. Di antara semua guru mengaji di TPQ tersebut, Bu Endanglah yang paling dikenal dan dicari para murid. Ketelatenan dan kesabaran dalam mengajar, membuat mereka mencintai beliau.
"Saya tidak tahu kenapa anak-anak itu datang ke rumah, ketika terpaksa mereka tidak bisa masuk di sore hari, entah karena urusan sekolah atau apa. Mestinya mereka bisa ke rumah guru-guru lain yang lebih dekat untuk melanjutkan pelajaran ngaji. Tapi mereka justru kemari," katanya ketika pernah dalam satu bulan, setiap pagi, beberapa sepeda tampak terparkir di halaman depan rumahnya. Dari dalam terdengar suara ceria anak-anak mengaji.
Keseharian sebagai guru ngaji ini tentu menguatkan keinginannya untuk pergi haji, meski untuk mewujudkan itu masih jauh jalan yang ditempuh. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada, jawaban itu terngiang kembali di benak guru ngaji ini. Metamorfosis yang ia alami setelah menikah, membuatnya lebih dekat kepada tuhannya.
"Walau belum kesampaian pergi ke Mekah, melihat anak-anak itu pintar ngaji saja saya sudah bersyukur," ucapnya.
Langkah kaki itu membelah jalan sore yang syahdu. Entah kapan mimpi keduanya terwujud. Yang jelas, sampai hari ini, dijalaninya hari-hari seperti biasa, dengan doa dan rasa syukur. [ ]
***
"Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.
Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.
Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.
Di halaman depan sebuah masjid, perempuan itu tampak disambut oleh beberapa anak. Mereka lucu-lucu, berseragam biru dan hijau, berebut saling mencium tangannya. Sudah menjadi rutinitas setiap sore bagi Bu Endang—begitu beliau dikenal oleh warga kampung—mengajar ngaji anak-anak usia 5 hingga 12 tahun di salah satu dusun di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Tak ada yang mengira masa kecil yang beliau jalani begitu jauh dari kehidupannya hari ini. Lahir dari keluarga kaya dan terpandang, serba kecukupan, dengan berbagai fasilias yang harusnya membuat Endang kecil tumbuh menjadi remaja gaul, bebas, atau bahkan tidak teratur, justru membawanya ke tengah cahaya.
Di antara sepuluh bersaudara, Endang yang menonjol dalam hal mengaji. Ini tak lepas dari didikan sang ayah yang disiplin. Namun, seiring berjalannya waktu, pekerjaan dan kesibukan sebagai wanita karier seolah menjadi benteng untuk mewujudkan salah satu keinginannya: menjadi guru ngaji. Tetapi siapa sangka, pertemuan dengan pemuda pecinta alam, yang kelak menjadi suaminya, merobohkan satu per satu dinding benteng itu?
Hari ini kita bisa melihat bukti tidak adanya penghalang apa pun bagi mimpi mulia seorang Endang. Lepas ashar, beliau yang telah menikah selama lebih dari tiga dekade dan mempunyai tiga orang putra ini, berjalan ke sebuah masjid yang berjarak sekitar 0,7 kilometer dari rumahnya. Tidak peduli hujan, tidak peduli panas, beliau tetap berangkat, hanya untuk menularkan ilmu agama pada murid-muridnya.
Tak ada yang menyangka, Endang yang dulu dikenal sebagai "orang kantoran", bermetamorfosis menjadi Bu Endang guru mengaji. Hijrah dari kota yang serba ada ke desa yang tidak semua kebutuhan hidup bisa tercapai—lebih-lebih keadaan ekonomi tidak seperti dulu setelah beberapa kali cobaan menimpa keluarganya—justru membuka jalan mimpi itu. Berbagai kegiatan rutin pengajian, mulai dari yang diadakan oleh RW hingga kelurahan, semua diikuti. Maka, beliau mengenal banyak tokoh agama dan masyarakat. Satu per satu gambaran tentang "orang kantoran" yang melekat erat di benak warga kampung pun, pelan-pelan gugur, melihat keseharian yang mulai berbeda dari seorang Endang.
Pergaulan dengan mereka yang dekat dengan tuhan, membuat Endang mempunyai satu mimpi baru: ingin pergi haji. Hanya saja, seperti yang kita tahu, keadaan ekonomi sudah tidak seperti dulu. "Dulu belum kepikiran pergi haji. Padahal kalau ditabung, gaji saya dan suami cukup," ungkapnya. Pada masa-masa "jaya" itu, Endang dan suami senang membantu orangtua dan saudara mereka yang membutuhkan, sampai-sampai melupakan bahwa menabung itu penting untuk masa depan. Dan panggilan hati itu justru datang saat kondisi sudah berubah.
Namun meski demikian, tidak ada yang perlu disesali, begitu tutup Endang ketika sekali lagi seorang tetangga bertanya. Maka, sepasang suami istri ini pun menyimpan harapan bahwa kelak mereka benar-benar bisa menyentuh Ka'bah.
Di balik munculnya keinginan baru itu, pertengahan tahun 2007, Endang merasa bahwa mungkin jalan mimpi menjadi guru ngaji tidak pernah ada. Selain karena soal tempat, banyaknya jumlah guru mengaji di kampung pun menjadi tantangan tersendiri. Beliau pribadi tidak enak atau sungkan untuk sekadar mengucap keinginan itu di depan sahabatnya yang seorang haji—yang kebetulan seorang pengurus sebuah TPQ.
Namun di sinilah keajaiban hadir. Melihat kemampuan mengaji Endang yang baik, tanpa diminta, Hajah Um, begitu nama sahabatnya itu, berujar, "Kalau Dik Endang mau, akan saya rekomendasikan ke pimpinan TPQ. Biar bisa bantu ngajar. Kebetulan salah satu guru ngaji sudah pindah."
Tentu saja, tawaran ini bak bergelas-gelas air segar di tengah padang pasir. Endang tidak menolak. Dengan segera, beliau menyandang gelar "guru mengaji", meski tanpa bayaran.
"Ilmu yang bermanfaat itu baik. Jika ditularkan untuk anak-anak itu, Ibu rasa sudah lebih dari cukup membahagiakan hati, ketimbang sekadar materi yang cepat habis," tuturnya suatu waktu pada salah satu anaknya, ketika ditanya kenapa ibu mau jalan jauh-jauh, menentang panas dan hujan tanpa mendapat apa-apa.
Betapa tidak bahagia? Dukungan dari keluarga memudahkan semuanya. Di antara semua guru mengaji di TPQ tersebut, Bu Endanglah yang paling dikenal dan dicari para murid. Ketelatenan dan kesabaran dalam mengajar, membuat mereka mencintai beliau.
"Saya tidak tahu kenapa anak-anak itu datang ke rumah, ketika terpaksa mereka tidak bisa masuk di sore hari, entah karena urusan sekolah atau apa. Mestinya mereka bisa ke rumah guru-guru lain yang lebih dekat untuk melanjutkan pelajaran ngaji. Tapi mereka justru kemari," katanya ketika pernah dalam satu bulan, setiap pagi, beberapa sepeda tampak terparkir di halaman depan rumahnya. Dari dalam terdengar suara ceria anak-anak mengaji.
Keseharian sebagai guru ngaji ini tentu menguatkan keinginannya untuk pergi haji, meski untuk mewujudkan itu masih jauh jalan yang ditempuh. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada, jawaban itu terngiang kembali di benak guru ngaji ini. Metamorfosis yang ia alami setelah menikah, membuatnya lebih dekat kepada tuhannya.
"Walau belum kesampaian pergi ke Mekah, melihat anak-anak itu pintar ngaji saja saya sudah bersyukur," ucapnya.
Langkah kaki itu membelah jalan sore yang syahdu. Entah kapan mimpi keduanya terwujud. Yang jelas, sampai hari ini, dijalaninya hari-hari seperti biasa, dengan doa dan rasa syukur. [ ]
Itu, apakah Ibu-nya bang Ken sendiri yang diceritakan? kalau iya, wah subhanallah sekali.. semoga keinginan terbaiknya itu bisa segera terwujud, aamiin..
ReplyDeleteoiya, hanya sekadar memberi masukkan, semoga kata 'tuhan' yang di atas bisa segera diganti yo bang dengan huruf kapital yang lebih baik, keyz? terima kasih, semoga sukses selalu dengan karya2-nya.. :)
Nb:
#itu kecoa seperti-nya memang menjengkelkan sekali dilihatnya, pengen banget bisa diusir agar tidak menganggu konsentrasi membaca, hehe