Dulu saya tak tahu. Manusia berbahagia di atas
penderitaan, tapi kami tak bisa memilih jalan. Saya pergi dan melihat tragedi
dengan mata kepala. Sesuatu membuka hati saya untuk lapang. Entah kelapangan
itu datang karena terpaksa atau suatu keharusan. Yang jelas, kesendirianlah
yang mendidik saya seperti ini.
Nama saya Numa. Saya anjing kurap yang paling
kurap. Dulu saya dipuja-puja, diberi makanan yang lebih dari batas yang saya
sanggup, sampai perut saya kembung, kemudian orang-orang menyiapkan hari besar
untuk saya. Saya cantik dan gemuk!
Tapi saya tak paham tujuan manusia. Apa itu untuk
bersenang-senang atau sekadar perwujudan rasa syukur kepada dewa? Menurut saya
mereka terlalu kejam. Saya masih kecil untuk tahu kenapa mereka membawa dan
mendiamkan saya di tempat tertutup. Memang, saya bukan dikurung, tapi saya
tidak bisa ke mana-mana, dan saya terlalu bodoh untuk menyadari bahwa saya
terisolasi.
Suatu hari saya berkenalan dengan babi. Sebut saja
Yus. Dia babi paling bau yang saya tahu. Tapi saya suka. Yus jujur dan kalau
boleh saya bilang, dia sangat bodoh. Barangkali karena otak babi terbuat dari
cacing, dia tidak bisa berpikir. Dan barangkali karena itu saya berteman
dengannya. Kami sama-sama kecil, lucu, dan dicintai. Tapi saya dan Yus tidak
merasakan cinta yang besar di mata manusia ketimbang apa yang kami ikat
sendiri.
Saya pernah kenal anjing atau babi lain, tapi tak
ada yang sebaik Yus. Kami tinggal di kampung yang agaknya dibuat khusus untuk
kami dengan bahan empat sisi dinding setinggi langit. Kami tak tahu ukuran
pastinya. Tepatnya tak punya satuan. Kami anjing dan babi, tidak butuh itu.
Yang jelas dinding itu sangat tinggi dan kalau Anda melihatnya dari tempat kami
bermain, Anda pasti percaya kalau langit dapat dicapai dari dinding itu.
Perkara dinding ini sempat membuat saya dan Yus berdebat. Saya percaya di atas
langit ada kehidupan yang membuat kami ada.
"Suatu hari, kalau kita sudah besar, kita
bisa belajar terbang untuk tahu bagaimana Dewa Langit memberi kita makan,"
kata saya.
"Tidak bisa. Di langit mana pun tidak ada
dewa. Dan yang memberi makan kita bukan mereka," kata Yus.
"Lalu siapa?"
"Manusia-manusia itu. Kalau tidak ada mereka,
kita tidak makan."
Benar juga. Tanpa manusia, kami tak makan. Tapi
apa manusia sama dengan dewa? Saya belum tahu. Sejauh yang saya tahu, manusia
bisa berbuat sesuai kemauan mereka. Dewa juga begitu, bukan?
"Berarti manusia itu dewa," kata Yus.
Tapi saya merasa perlu mencari tahu.
"Kalau manusia itu dewa, kita tidak akan
dibiarkan di sini. Kita tidak didiamkan di tempat yang hanya ada tembok, ember,
pisau, terali, panci, tali, pagar, dan anjing-anjing serta babi-babi yang
berebut makan!" sanggah saya. "Pasti ada benda-benda lain yang lebih
menarik mata dan tidak membuat kita saling berebut!"
Akhirnya, karena belum cukup umur dan bingung,
kami memilih bermain dan tak membahas dewa lagi. Hanya sekali waktu kami
berharap agar suatu saat bisa terbang dan hinggap di dinding itu, melihat
sesuatu di atas sana, atau bahkan memanjat langit seperti apa yang selalu saya
bayangkan.
Dulu saya tak banyak tahu. Saya bodoh walau tak
sebodoh Yus. Saya bodoh karena mungil. Tapi, sebagai anjing, saya merasa hidup
ini terlalu sepi untuk dihabiskan berdua saja dengan babi bau, polos, dan tak
bisa membedakan mana makanan basi dan mana yang masih hangat.
Suatu pagi saya malas makan. Kepala saya pusing.
Bocah kecil yang rutin memberi saya makan, memandikan saya, menggendong saya,
mengandangkan saya, manusia kecil yang barangkali seumuran saya—andai saya
manusia—tiba-tiba menangis dan bilang, "Ma, anjingnya rewel!"
Lalu ibunya datang dan meraih saya. Saya dielus,
ditimang, dan dengan penuh perhatian, ia membawa saya ke dalam mobil, pergi ke
suatu tempat setelah sebelumnya bersuara, "Numa sakit."
Sepanjang hari itu adalah hari yang membuka
wawasan, dan barangkali aib. Saya tak bisa membedakan apa kebusukan manusia
bisa disebut aib bagi diri mereka, atau justru wawasan bagi binatang macam
saya. Jelasnya, saya mulai tahu, dinding itu tidak sekadar menjadi jalan untuk
memanjat langit. Di balik dinding itu, saya melihat dunia yang lebih luas!
Ibu bocah tadi membawa saya ke kota, begitu
manusia menyebutnya. Tidak banyak yang saya ingat pada bagian ini. Maaf kalau
Anda, sebagai pembaca cerita ini, kecewa. Sebab seumur hidup hanya sekali itu
saja masa kecil saya merasakan sesuatu yang lain, yang berkesan tapi sebentar,
sementara ingatan saya belum bekerja dengan baik. Yang saya ingat hanya
ekspresi ingin tahu Yus sekembali saya dari sana: "Dari mana saja kamu?
Aku kira tidak kembali... seperti mereka."
"Tenanglah. Aku di sini," kata saya.
Lalu saya ceritakan semua yang saya lihat di kota. Oh, ya, hal kedua yang juga
saya ingat hari itu adalah saya dibawa ke seorang yang bisa menyembuhkan
pusing. Saya diobati. Jatah makan saya ditambah. Agar cepat pulih, katanya.
Tapi wawasan yang saya dapat dari sini membuat cara pandang kami berubah;
segala pemandangan, segala kenyataan itu: di balik tembok ada kehidupan.
Bukankah itu ajaib?
"Jadi, di balik tembok itu ada dunia
lain?" Yus tak percaya.
Sejak hari itu pula kami berjanji, suatu hari,
setelah dewasa, kami akan terbang dan melihat semuanya.
"Tapi kita tidak punya sayap. Bagaimana bisa
terbang?" tanya Yus.
Saya baru sadar. Selama ini, saya hanya terbang
dalam khayalan.
"Mudah saja," kata saya setelah berpikir
cukup lama. "Kita minta bantuan burung. Dia bisa mengajari kita
terbang."
Yus mengangguk-angguk. Tapi saya tahu ada masalah
baru yang kami hadapi. Di tempat ini tidak ada burung. Mereka selalu takut
untuk hinggap di tembok itu. Tak tahu kenapa. Dan yang lebih membuat saya
bingung adalah pertanyaan Yus selanjutnya:
"Kalau ke kota, apa mungkin kita tak
kembali... seperti mereka?"
Mereka? Benar juga.
Di sini kami tidak sendiri. Tapi kami merasa
hubungan kami saja yang cocok, hingga teman lain menjadi tidak spesial dan
sering kami abaikan. Mereka anjing-anjing dan babi-babi lain yang saya kenal.
Umur kami berbeda-beda. Dari waktu ke waktu, tempat ini dimasuki penghuni baru:
bayi-bayi babi dan anjing yang basah (entah datang dari mana), serta
ditinggalkan oleh mereka yang sudah besar dan tua. Kami tak tahu ke mana yang
dewasa pergi. Manusia membawanya. Manusia yang memiliki. Dan kami tak pernah
tahu di mana bapak dan ibu kami. Barangkali, dulu sekali, sudah pergi.
Pertanyaan itu saya simpan dalam kepala, sambil
menunggu kedatangan burung yang mau mengajari kami terbang. Setiap hari,
selesai makan, kami duduk di halaman "kampung", tak peduli anjing dan
babi lain tertawa. Kami terus menatap salah satu dinding yang menghubungkan kami
dengan suara-suara. Ah, saya belum bilang, ya? Tempat di seberang dinding ini
gaduh. Anda tahu, kadang-kadang kami dengar manusia bertengkar, manusia
tertawa, atau anjing menangis dan babi menguik-nguik kesakitan? Saya
takut yang terakhir. Saya tak takut anjing menangis, sebab saya tak menangis.
Tapi Yus bilang, "Mungkin babi itu lapar." Saya percaya sebab saya
bukan babi. Dan saya tak pernah lapar. Saya hafal suara itu, sebab hampir
setahun lamanya kami menunggu.
Suatu sore kami beruntung. Di saat suara-suara
gaduh yang kami kira datang dari kampung tetangga itu sampai pada puncaknya,
saat semua bersahutan sampai telinga kami berdenging sebab terbiasa dekat
dengan tembok yang satu itu, seekor burung hinggap. Burung dara yang putih
bersih, tapi wajahnya penuh rasa takut.
Saya menyapanya dengan maksud agar dia mau menjadi
teman kami. Selama ini tak pernah ada burung yang benar-benar hinggap.
Untunglah cara saya jitu. Burung itu terbang ke "kampung" kami, masuk
ke tengah bangunan dengan bahan empat sisi tembok setinggi langit yang dihuni
hanya oleh puluhan anjing dan babi ini.
Ia mendarat tergesa-gesa.
"Aku hampir mati! Boleh sembunyi di
sini?" kata burung itu.
Akhirnya, kami punya teman baru. Saya dan Yus
menyembunyikannya. Takut burung itu celaka. Takut burung itu mati. Banyak
ketakutan saat kita masih kecil. Saya rasa Anda setuju dengan perkataan itu.
Lani, begitu kami menyapa burung itu, mengaku kabur dari sangkarnya setelah
seorang manusia hendak menyembelihnya. Ia terpaksa bersembunyi ke tempat yang
barangkali lebih berbahaya dari majikan manusianya; ke tempat kami.
Saya waktu itu masih kecil. Sudah saya bilang.
Dulu saya tak sadar manusia berbahagia di atas penderitaan. Tapi dari Lani saya
mendengar banyak hal di luar akal dan nalar. Satu-satunya alasan burung tidak
berani mendekat ke tembok kami membuat saya bergidik.
"Di tempat macam ini ada darah dan kematian.
Banyak cerita dari paruh ke paruh. Mereka bilang ini konspirasi.
Manusia-manusia itu lahir dan membangun peradaban untuk membantai. Awalnya aku
tak percaya. Tapi, setelah melihat langsung, kurasa semua burung di muka bumi
berada dalam bahaya."
"Kenapa begitu?"
"Mereka saksi kejahatan para manusia. Aku
salah satunya. Dan hari ini aku hampir meregang nyawa!"
"Manusia sayang binatang. Buktinya kami
diberi makan, dan kampung ini adalah hasil kebaikan mereka," kata Yus.
"Tapi itu untuk kematianmu! Kamu kira apa
alasan kami menjauhi tembok-tembok tinggi ini?"
Saya, tentu saja, sebagai anjing yang cantik dan
gemuk, yang dicinta dan disayang manusia, tidak percaya walau merasa ngeri.
Semua cerita tidak berguna jika tanpa bukti.
"Tidak ada bukti kalau kalian tidak keluar
dari sini. Atau, barangkali, tanpa keluar pun kalian akan mendapatnya,"
jawab Lani pelan, setelah saya memintanya memberi bukti.
"Caranya?"
"Tunggu sampai dewasa. Tapi begitu bukti di
depan mata, kalian tidak bisa pulang, tidak bisa mengabarkan ke yang lain.
Kalian jadi bagian konspirasi. Potongan hidup yang sial. Pada detik itu kalian
sudah mati!"
Kata-kata Lani tidak saya pahami. Tapi, demi
mendengar kata "keluar", saya memberinya penawaran. Saya katakan,
saya akan percaya padanya, tapi dia harus ajari kami terbang.
"Tapi kalian tak punya sayap. Dengan apa
kalian terbang?"
Setelah berpikir, agaknya tak mungkin anjing dan
babi bisa terbang. Saya tahu saya anjing, tapi saya tidak sebodoh babi, walau
masih kecil. Bukankah sudah saya bilang? Jadi saya sekarang tahu bahwa percuma
meminta Lani mengajari kami terbang sekadar melihat dunia luar atau mengintip
Dewa Langit pemberi hujan. Kami tidak bersayap.
Tapi, meski tidak mengajari terbang, Lani menjadi
teman kami. Sesekali ia pergi mencari makan dan membawa kabar dari luar. Ia
terbuka tapi saya merasa masih ada yang disembunyikannya. Pada hari itu, di
kampung kami, ada beberapa ekor anjing dan babi dewasa diarak keluar dari
kamar. Beberapa manusia tertawa antar sesamanya, membawa teman-teman kami
dengan temali. Itu pemandangan biasa. Tapi Lani bergumam. "Seperti yang
kubilang. Ini konspirasi! Tempat ini termasuk. Kalian tahu dibawa ke mana
teman-teman kalian yang sudah besar tadi?"
Kami menggeleng.
"Tunggu sampai aku membawamu keluar!"
ucap Lani sebelum terbang menjauh.
Malam itu bergumpal pertanyaan menghantui; tentang
eksistensi dewa, konspirasi, dan kasih sayang manusia. Apakah politik balas
budi berlaku bagi anjing dan babi, pada saat itu saya tak tahu. Yang saya tahu
cuma satu: wajah takut Lani mengandung semua jawaban. Alangkah takjubnya saya
ketika melihatnya datang malam itu membawa sebuah kunci. Dengan itu kami bisa
keluar, melihat dunia dan isinya yang ajaib.
Tapi Yus berubah pikiran. Dia merasa cerita Lani
tidak masuk akal dan lebih mirip bualan. Dia memilih tinggal saja. Lani kecewa,
apalagi saya. Saya paksa ikut, tapi Yus bebal. Dasar pemalas, umpat saya
dalam hati. Tinggal sejengkal saja kami sudah berada di luar. Tapi Yus
bergeming. Lani menarik kuping saya. Akhirnya kami pergi berdua. Saya pikir,
mungkin, Yus tidak pergi dalam waktu lama. Dia masih muda untuk dibawa. Dan
saya pikir, nanti saya akan kembali menjemputnya.
Dengan bantuan Lani, saya menembus lorong di luar
sisi salah satu tembok, yang akhirnya membawa saya ke dunia luar. Dunia yang
saya rindukan. Tapi saya cemas. Siapa yang memberi saya makan? Siapa yang
mengandangkan saya? Bahkan di luar sini sama sekali tidak ada kamar!
"Itu lebih baik. Ada nasib yang lebih buruk
dari ini," kata Lani setelah beberapa hari saya menggelandang. Saya
mengeluh karena terbiasa menggantungkan hidup pada manusia. Tapi, semua rahasia
akan Lani ungkap. Dia membawa saya ke satu tempat, ke tempat yang saya rasa sudah
saya kenal dari suara-suaranya. Hari itu, iring-iringan babi dan anjing keluar
dari kampung saya. Beberapa orang, termasuk majikan manusia saya, tampak
mengawal mereka.
Lani tahu jalan aman. Tidak ada yang melihat kami.
Dari lubang di dinding, kami mengintip semua yang terjadi di kampung sebelah,
tempat yang saya hafal lewat tangisan anjing dan babi lapar menguik-nguik.
Betapa saya tak percaya. Entah marah, sesal, atau kecewa, saya tak bisa
bedakan. Ke sanalah teman-teman saya dibawa. Dan nasib mereka sama sekali jauh
dari bayangan kami.
Sebagai satu-satunya saksi yang tersisa dalam
cerita ini, saya mohon kepada Anda sebelum melanjutkan, agar tidak merasa risih
sebab kami hanyalah anjing dan babi. Kami sadar kami kotor, tapi kami juga
hidup. Sekiranya, bila jauh di luar harapan, saya mohon maaf. Sebab, saya pun
tidak mengharapkan ini. Saya melihat dengan terang manusia menangkapi
anjing-anjing itu, memasukkan mereka ke dalam karung, dan memukul kepala mereka
sampai kejang. Lalu tubuh-tubuh anjing itu diseret dan mereka menggantungnya
dengan kawat. Kalau Anda cukup berani, maka saya jauh lebih berani ketika
melihat isi tubuh mereka terburai sebab itulah gunanya pisau yang selama ini—baik
saya maupun Yus—kurang tahu apa fungsinya.
Jangan tanyakan nasib babi-babi itu. Mereka jauh
lebih buruk dan sekiranya Anda lebih memaafkan sebab saya tak bisa
menggambarkannya secara detail. Yus babi yang bodoh, sebab otaknya terbuat dari
cacing. Dia babi paling bau yang pernah saya tahu, tapi dia teman saya.
Bukankah sudah saya bilang? Saya tak tega mengatakan bagaimana mereka memisah
bagian-bagian tertentu dari babi itu untuk bisa dimakan. Ya, dimakan.
Anda pernah makan babi? Lebih-lebih, pernahkah
Anda memakan anjing? Saya tak tahu dan saya berharap jawaban Anda adalah tidak.
Mereka menaruh potongan tubuh dengan tangis dan darah itu dalam wajan besar,
merebusnya, memberinya air bergayung-gayung agar empuk, lalu mengolahnya
menjadi berbagai jenis masakan. Bumbu-bumbu dituang. Perayaan besar entah untuk
apa dipersiapkan. Spanduk-spanduk, umbul-umbul, lampion, dan
entah Lani menyebutnya apa lagi. Pemandangan kematian bagi saya, tapi
kebahagiaan bagi manusia. Sejak hari itu saya tahu, manusia memberi makan,
menyayangi, merawat kami sampai gemuk agar dapat bersenang-senang di atas
derita.
Pada hari yang lain, berbulan-bulan kemudian, saat
koreng tumbuh, beranak-pinak, dan merambat rata di hampir setiap bagian
kulit saya, saat tubuh saya mengurus, saya melihat kenyataan. Yus ada dalam
barisan itu. Saya harus mencegahnya. Tapi saya cuma bisa menggonggong sebelum
bocah yang dulu rutin memberi saya makan, memandikan saya, menggendong saya,
mengandangkan saya, manusia kecil yang kini barangkali tidak lagi seumuran saya—andai
saya manusia—memukul kepala saya dengan tongkat dan rasa jijik; kepala dengan
tubuh penuh kurap dan hampir tidak bisa dikenali. Saya terkapar. Hari itu saya
mengintip bagaimana mereka membawa sisa-sisa Yus. Babi bodoh yang saya kira
akan saya ajak terbang melihat Dewa Langit menyampaikan makanan untuk penduduk
bumi.
Dulu saya tak sadar. Manusia berbahagia di atas
penderitaan, tapi kami tak boleh memilih jalan. Baiklah, saya terima kematian
Yus dengan lapang. Saya curi kepala babi itu dan saya simpan di kolong tempat
sampah. Berharap kelak, jika bertemu dewa, saya minta kepala itu dihidupkan
kembali. Barangkali, kalau tanpa badan, Yus tidak akan rakus. Tapi belum sempat
Lani memanggilkan dewa, sebab saya tidak bisa terbang, kepala Yus busuk.
Cacing-cacing keluar dari lubang hidung dan mulutnya, membuat saya tahu bahwa otak
babi terbuat dari cacing. Tapi saya juga tahu, semua perkataan Lani benar.
Tidak ada yang salah dan suara-suara itu terus bersambung hingga para penerus
kami bertanya-tanya; apa kalau kami sudah besar, kami dibawa ke tempat yang
lebih luas? Bisa bermain sepuasnya, tanpa harus berharap suatu saat menemukan
jalan keluar dari dinding-dinding ini?
Sampai hari ini saya masih di sini, dengan kurap
yang paling kurap. Lani telah mati. Tidak ada teman. Tapi saya ingat kata-kata
terakhirnya: "Manusia selalu menyalahkan setan atas pembantaian pada
mereka. Tapi untuk siapa kesalahan itu, jika yang dibantai adalah kami?"
Lalu saya berpikir, apa saya pantas menyebut
mereka, "Hei, kalian semua adalah asu[1]!"
Sementara saya sendiri asu. Atau apa saya layak memanggil mereka:
"Dasar babi berotak cacing!", sebab saya pun tak bisa melupakan Yus?
Saya tak tahu julukan apa yang pantas bagi manusia-manusia ini. Mereka
menyayangi tapi membunuh.
Sampai suatu waktu saya terdesak, hampir mati oleh
rasa lapar. Dan saya diliputi dendam. Barangkali saya dapat mengembalikan nilai
yang dulu tumbuh di tengah empat tembok bersisian setinggi langit; nilai
persahabatan dan harapan-harapan, sebuah nilai yang kini tidak ada artinya
lagi.
Seseorang meninggalkan sesuatu di teras depan.
Saya mengendap-endap. Darah dalam tubuh
bergejolak. Hari yang baik!
Seseorang berotak cacing, barangkali. Tidak cuma
babi yang berotak cacing, sebab bagaimanapun, walau bukan diri sendiri, seorang
bayi adalah nyawa. Dan nyawa itu ada di depan saya!
Mohon maaf, siapa pun Anda, saya tidak bermaksud
menyinggung perasaan ketika, misalnya, saya katakan saya ambil bayi itu, lalu
saya bawa pergi ke tempat yang jauh. Di sana saya menjagalnya dengan cara saya
sendiri, dengan taring-taring tajam saya. Memakan tanpa memasak, dengan cara
seekor anjing. Berpesta ria dengan cara binatang. Sebab saya bukan manusia.
Sejak itu saya merasa hidup dan tak terpikir untuk
berhenti, meski harus lari, tidak membangun tembok setinggi langit. Sebab saya
bukan manusia.
Perkenalkan, nama saya Numa. Anjing kurap yang
paling kurap. Dan saya pemangsa, bukan dimangsa.***
[ Pasuruan, 21-22 Oktober 2014 ]
Comments
Post a Comment