Matahari belum muncul, tapi kami sudah siap
menyambut kedatangannya. Satu-dua kendaraan melintas, melewati jalanan sepi
tempat mobilku berhenti. Kurang dari sepuluh menit, jalanan mulai ramai. Mereka
yang baru turun dari bus atau kendaraan lain yang terparkir, langsung berjalan
santai menuju arah terbitnya hari.
"Ayo, guys, cepat! Loe mau ketinggalan
momen paling berharga sepanjang hidup loe?" lontar temanku
penuh semangat. Orang-orang yang tak kami kenal—yang berjalan persis di sebelah
mobilku—serempak menoleh dan bisik-bisik ke sesama mereka, saling tertawa. Kami
mengangguk. Memang dasar si Damar lebay. Langit 'kan masih gelap? Masih
ada waktu untuk bisa menikmati sunrise. Tapi karena pembawaannya memang
begitu, apa boleh buat.
Akhirnya kami bangkit dari tempat duduk. Bukan,
kami bukan tengah duduk di bangku taman. Di pinggir jalan ini tak ada bangku.
Tadi, begitu turun dari mobil, kami langsung menghirup udara pagi di depan
gerbang sebuah hotel, dekat patung besar berwajah seram. Nah, karena tak ada
tempat, duduklah kami di trotoar setinggi belasan senti. Maklum, kami butuh
meluruskan kaki dan merenggangkan otot tubuh yang lelah usai perjalanan jauh.
Segera kami tinggalkan mobil, berjalan santai
mengikuti arah orang-orang tadi. Tempat ini, meski masih gelap, ternyata banyak
juga yang menjadikannya tempat tujuan pertama (dan mungkin akan selalu begitu).
Konon, beberapa teman pernah bilang, bila berkunjung ke pulau ini tanpa mampir
ke pantai yang sedang kami tuju, rasanya kurang lengkap. Wajib bagi siapa pun
menjadikan tempat ini sebagai destinasi pertama.
"Dan harus datang subuh-subuh," kata
seorang teman mengingatkan.
Aku sih setuju-setuju saja. Kuikuti
sarannya karena baru pertama kali aku datang ke pulau ini; belum tahu seluk
beluknya, belum tahu segala yang menarik.
Yang menarik bagiku cuma hadirnya dia di
tengah-tengah kami; dia yang selama ini diam-diam kuperhatikan, dia yang tak
banyak bicara, dan dia yang selalu membuatku mati kutu. Siapa lagi kalau bukan
gadis itu? Nanti akan kuceritakan padamu. Sekarang aku masih mengusap wajahku,
mengusir kantuk yang belum mau pergi.
Melihatku menguap berkali-kali, Damar mendekatiku.
Niko yang berjalan di sampingku tak terlalu memedulikannya. Kami memang hafal
betul kebiasaan ganjil Damar yang senang memotret apa saja. Tempat sampah
dipotret, batu dipotret, sandal jepit dipotret, bahkan tak ketinggalan: gigi
palsu kakeknya juga dipotret. Di tangannya, satu unit gadget bertengger
manja, gadget baru yang dibelinya dua hari lalu. Nampaknya ia hendak
memfoto kami.
"Loe ini mau liburan apa mau perang, sih?
Tampang kok sedih mulu. Semangat dong, Bro,
semangat!" lantangnya seraya menarik bahuku, hendak mengambil gambar
wajahku yang awut-awutan. Kutepis tangannya. Damar tak tahu aku masih
mengantuk.
"Ssstt! Foto diri loe aja
sono! Gue entar kalau udah di pantai!" sahutku kesal.
"Bener tuh. Nanti ajalah di
pantai. Gak seru foto di sini. Lagian dari tadi 'kan loe udah puas
fotoin kita?" sela Ajeng disambut tawa Roby yang memeluknya. Betapa
mesra mereka. Pasangan yang serasi.
Mendengar itu, Damar menggerutu. Tapi aku tahu itu
cuma ekspresi yang dibuat-buat. Nanti juga pasti membuat ulah lagi, lebih dari
sekadar memotret wajah bangun tidurku.
Lima menit, tibalah kami di pantai. Kulihat langit
masih sama, masih gelap. Benar, 'kan, kami tak akan ketinggalan momen berharga.
Sementara teman-teman asyik ngobrol, kuamati pengunjung lain yang mulai
memasuki pintu pagar. Ya, benar-benar pagar. Baru kali ini aku melihat ada
pantai yang dipagari. Di sekitarnya ada patung yang tak bisa kulihat dengan
jelas bentuknya. Betapa tidak? Tempat ini redup. Bahkan, untuk memastikan raut
wajah seseorang dari dekat saja sulit, karena seperti yang sudah kubilang:
matahari belum mau datang. Cahaya yang ada cuma berasal dari benda-benda
elektronik milik pengunjung dan beberapa lampu yang menyala di kejauhan. Tak
banyak membantu penglihatan.
Diam-diam, entah apa yang menyihirku, mendadak
dengan berani kubisikkan sesuatu ke telinganya. Dia tak menyahut, cuma memberi
isyarat lewat gerakan mata yang ditujukan pada Ajeng dan Risti, seolah
memberiku kalimat: "Teman-teman gimana? Apa gak marah
kita tinggal?" Dan, dengan pasti kujawab pula lewat tatapan mataku: "Sudah,
gak usah khawatir. 'Kan gak jauh, cuma ke sana."
Ya Tuhan! Seketika jantungku berdebar. Dalam
situasi segelap ini, aku menjadi seberani ini? Apa karena gelap, aku jadi tak
takut dia tahu wajah gugupku? Bukankah seharusnya aku lebih berani? Kuharap
seseorang tak mendengar gemuruh dadaku. "Kita sembunyi. Biar mereka nyariin
kita gitu," kataku. Alasan yang aneh...dan konyol. Tapi kali
ini dia tersenyum, sebuah senyum yang jarang diberinya untukku, walau tak
merespons lewat suara.
"Hei, mau ke mana kalian? Kok gak ajak-ajak?"
panggil Niko, ketika disadarinya aku dan Kinan menjauh dari rombongan. Kami
melintasi beberapa anak tangga kecil di pintu pagar itu, turun, menyisir pasir
halus yang dingin bercampur embun.
Aku menoleh ke belakang. Teman-teman melompat
seraya melambaikan tangan, hendak menyusul. Kualihkan mataku pada Kinan. Dia
mengangkat bahu, tersenyum, menyerahkan keputusan padaku. "Kita langsung
ke sana," ajakku, tak peduli Damar mulai bertingkah, berceloteh,
menggodaku dengan cara-cara memalukan. Kurang ajar memang. Tapi kepalang
tanggung. Semua sudah tahu.
Aku dan Kinan terus berjalan. Kini kami melintasi
jalan bebatuan memanjang. Di kiri-kanannya, beberapa meter di bawah sana,
samar-samar riak kecil air pantai terwujud meneduhkan mata. Di timur, langit
redup menyuguhkan sedikit cahaya. Kami tahu, tak lama lagi matahari akan
datang.
Di ujung jalan batu kami berhenti. Tempat ini
unik. Kumpulan batu yang entah sejak kapan berada di sini, menumpuk dan
membentuk pola seperti dua tangan menadah. Maka, bila telah sampai di timur,
jalanan itu melebar dan membuat kami dengan bebas memilih sudut terbaik untuk
duduk menikmati matahari terbit. Dan kami, kami memilih bagian tengah sebagai
tempat terbaik di sini, di dermaga batu ini.
"Masih sepi, ya?" ucapnya lirih.
Aku mengangguk. Entah dia melihatku atau tidak.
Tak penting. Yang penting kami sudah dapat tempat yang sepertinya bakal diincar
banyak orang. Siapa yang tak suka duduk di gazebo berdesain unik, dengan
gaya khas pulau yang sudah mendunia ini, sambil menikmati sunrise? Semua
pasti suka.
Kulihat teman-teman masih berfoto di jalanan batu
itu. Damar tak curiga, walau tadi sempat meledekku. Lega rasanya. Di sampingku,
Kinan memain-mainkan kakinya yang menggantung di udara. Kami duduk agak jauh,
tapi dadaku bergemuruh. Rencana yang kusiapkan mungkin telah dibaca, baik oleh
Ajeng, Risti, maupun Roby. Mereka bertiga tahu apa yang semestinya kulakukan
detik ini, di tempat ini. Dan kini, mereka bekerja dengan baik; memancing dua
kawan terusil kami agar tak menggangguku. Tapi, sesuatu membuatku beku. Garis
kuning matahari yang menyibak awan-awan di sekitarnya, menimbulkan kejelasan di
penglihatan. Dan itu, sungguh, bagiku adalah sesuatu yang menyulitkan.
"Hmm, baru sekarang lihat pemandangan
sebagus ini, ya? Benar kata mereka, tempat ini memang indah."
Kinan bersuara tanpa menoleh. Tapi senyumnya
terlihat jelas: senyum yang selalu kurindukan. Diambilnya sesuatu dari dalam
tas, sebuah kamera. Ditangkapnya gambar matahari yang nyaris keluar dari peraduannya. Sesekali ia meminta tolong untuk
memotret dirinya dengan latar belakang laut yang biru kekuning-kuningan.
Kuterima kamera itu dengan tangan berkeringat. Kuharap ia tak tahu betapa aku
merasa gugup.
Sungguh, kesempatan terbaik telah ada sejengkal di
depanku. Tinggal meraihnya saja. Tapi pengunjung lain terlanjur ramai
mendatangi tempat ini, duduk di gazebo tempat kami berdua, membuat
suasana indah versiku lenyap seketika. Aku tahu ketiga temanku nun di belakang
sana hanya bisa menatapku pasrah karena gagal. Seharusnya aku mengatakannya
sejak tadi. Tapi lidahku kelu. Untuk membalas ucapan Kinan saja, aku tak
sanggup.
Akhirnya, kami meninggalkan pantai dengan rasa
sesal meliputiku. Melihat foto-fotoku yang murung, Damar berkomentar bahwa tak
pernah ada orang yang sekaku aku dalam merespons keindahan sunrise. Mendengar
itu, Roby menepuk pundakku, menyemangatiku. Dan aku, cuma bisa menelan ludah,
jadi bulan-bulanan Niko dan Damar di depan Kinan yang tak tahu soal perasaanku.
Dua tahun kami berteman, dua tahun itu pula rasa
ini kusimpan. Begitulah.
Aku dan Kinan bagai bumi dan langit. Setidaknya
itu menurutku. Bukan karena kami berbeda, tapi karena sepertinya kami akan
selalu berjarak. Dalam banyak kesempatan, jarang sekali kami ngobrol,
apalagi bercanda. Meski aku selalu berharap itu terjadi, sepertinya tak
mungkin. Kami seperti orang yang baru saling kenal. Aku tak tahu bagaimana
mengakrabkan diri, atau sekadar mencairkan situasi di depannya. Padahal, selama
ini—entah kepada Ajeng ataupun Risti—masalah itu tak pernah ada.
"Itu artinya loe jatuh cinta,
Rano," sindir Risti suatu waktu.
Dari sinilah, akhirnya beberapa teman yang bisa
kupercaya kubiarkan tahu masalahku. Ya, sebagian teman dekatku kupikir ada yang
tak bisa dipercaya. Damar dan Niko tak pernah serius. Mereka duet abadi dalam
dunia perjahilan. Kemungkinan besar, kalau mereka tahu, bisa-bisa rusak semua
rencanaku. Walau kukatakan alasan ini sungguh tak sepenuhnya benar. Buktinya,
tanpa mereka tahu pun, sudah sering kutelan kegagalan yang sama.
"Sudah empat kali, Rano! Satu, dua, tiga ...
dan sekarang yang keempat! Heran deh. Apa sih masalah loe?
Padahal kesempatan udah kebuka. Kalo kelamaan, bisa-bisa dia
diambil orang, lho," kata Ajeng dengan muka menekuk. Kecewa dia
dengan sikapku yang lamban.
"Kinan itu pendiam tapi anaknya baik. Lihat
di kampus, betapa akrabnya dia sama teman-teman. Gak peduli laki, gak
peduli perempuan, semua jadi temannya. Loe musti cepet, deh. Keburu keduluan
orang!"
"Iya, iya. Sory, tadi gue mati
kutu."
"Nah, pasti itu tuh, alasan yang bakal
gue denger. Basi tahu gak! Pokoknya gue gak mau tahu.
Sebelum kita pulang, loe udah harus jadian sama Kinan.
Titik!"
Roby tertawa mendengar pacarnya mengancamku
sedemikian rupa. Tapi kami tahu, kata-kata Ajeng bukanlah berlebihan, karena
itu merupakan bentuk respect-nya dia kepadaku sebagai seorang sahabat.
Yang berikutnya kulakukan, cuma memperhatikan Kinan dan Risti bermain-main
pasir di kejauhan, menunggu antrean perahu untuk kami.
Siang ini, kami ada di bibir pantai yang lain.
Sebelumnya, kami check in di sebuah hotel sederhana di kota; menaruh
koper sekaligus mencari dua kamar untuk menginap selama tiga malam. Maklum,
uang saku kami terbatas. Jadi mesti hemat. Nah, tujuan kedua kami di hari
pertama liburan ini adalah wisata bahari, menikmati keindahan karang dan
ikan-ikan lucu di perairan dangkal, sekaligus menyeberang ke pulau kecil tempat
penangkaran satwa.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya kami
berangkat dengan perahu motor yang dikemudikan lelaki bertubuh tambun. Damar
yang berada dekat haluan, langsung berdiri dan berteriak-teriak tak jelas,
meniru salah satu adegan di film Titanic. Lelaki pemilik perahu geleng-geleng
kepala melihat ulahnya. Diperingatkannya agar teman kami itu duduk kembali,
tidak menggoyang-goyang perahu karena berbahaya. Namun, belum juga bibir lelaki
itu tertutup, Damar lebih dulu menjadi bahan tertawaan. Air laut terhempas
tepat di wajahnya, membuat baju dan gadget-nya basah kuyup.
Di waktu yang bersamaan kesempatan datang.
Sebenarnya bukan kesempatan sih. Kalau boleh kubilang: cuma spontan.
Kinan duduk tepat di sampingku. Oleh karena perahu kami tempat duduknya
didesain memanjang di bagian kiri-kanannya, maka perempuan ini—secara
teknis—duduk tepat di depanku. Berkali-kali cipratan air serupa, seperti yang
membungkam Damar, mengenai teman-teman lainnya. Dan, tepat saat air itu menuju
arahku, dengan sigap kubentangkan jaket, menutup punggung Kinan yang mendadak
membungkuk karena takut basah. Ajeng dan Risti pun serempak melontar kalimat
pamungkas: "Cie, cie ... Rano perhatian banget sih sama
Kinan? Jangan-jangan ... Ehm, ehm!" Dan Roby, melengkapinya dengan:
"Wah, geng kita bakal punya pasangan baru nih. Pulang liburan bakal
jadian. Pas banget tuh. Kita doain deh. Hehe."
Mendengar itu, Kinan melempar teman-temannya
dengan gumpalan tisu. Ia jengkel tapi tersenyum. Ganjil. Sedang aku, tak berkutik
oleh kalimat beruntun dari Damar tentang apa yang baru saja terjadi.
"Eh, emang loe suka Kinan? Wah, beneran
nih? Kok gak bilang-bilang? Hahaha. Pantesan tadi di Sanur ngebet
banget pengen berdua. Jadi ini toh penyebabnya? Hihihi. Kalian udah
tahu? Sejak kapan? Heh, malah diem semua! Hello ... Ada orang
di sana?"
Jadilah, saat perahu meredakan bunyi mesinnya, aku
betul-betul merasa canggung. Ajeng memberiku kode dengan lirikan sadis, agar
aku membantu Kinan turun dari perahu di tepi pantai dengan kedalaman air
sekitar empat puluh senti. Tapi, bukannya membantu, aku malah membatu.
Kubiarkan saja Kinan kesusahan turun hingga tasnya hampir jatuh.
"Loe gimana sih?! Jadi cowok tuh
kudu gentle! Apaan, kayak gitu tadi cuma diem? Tuntun dia kek,
ajak ngobrol apa gitu kek. Eh, ini malah bengong!"
serang Ajeng dengan suara yang nyaris tak bisa kudengar. Bukan lantaran ia
berbisik, tapi karena aku shock. Otakku dipenuhi rasa malu tentang apa
yang baru saja terjadi.
Sementara Ajeng terus mengomel, kutatap punggung Kinan
yang menjauh bersama Risti, Niko, dan Damar, masuk ke sebuah gerbang
bertuliskan Wellcome to Deluang Sari, dengan gambar dua ekor penyu di
kedua sisinya. Roby menasihatiku bahwa boleh saja seorang lelaki merasa gugup,
tapi inisiatif kadang diperlukan, dalam waktu paling mendesak sekalipun. Aku
tak paham maksudnya.
Di pulau
ini, kami melihat aneka satwa seperti penyu, burung, ayam aduan, iguana, ular,
dan kelelawar. Sistem ekologi yang utuh, dengan hutan bakau subur serta pantai
yang terjaga dari sampah, membuat pulau kecil ini makin menawan. Hanya saja
satwa yang paling mendominasi penyu. Maklum, tempat ini diutamakan untuk
melestarikan keberadaan hewan mirip kura-kura itu. Jadilah, kami memilih
berfoto bersama penyu-penyu muda. Damar dan Niko heboh di depan bule-bule
cantik berkulit pucat. Sepertinya bule Rusia, entahlah. Maksud hati cari-cari
perhatian, tapi justru membuat Risti murka. Dijewernya telinga Niko yang
notabene adalah pacarnya.
Kali ini, tanpa dorongan Ajeng, juga demi membayar
kebodohanku yang lalu-lalu, kuberanikan diri membantu Kinan menangkap penyu
yang dia inginkan untuk menjadi teman berfoto. Dia kesulitan. Berkali-kali
penyu yang ditangkapnya lolos. Tak kusangka, setelah berhasil membantunya
menangkap penyu dan mengambil gambar dengan kamera, dia menarik tanganku,
menjauh dari teman-teman yang masih sibuk di kolam penyu.
"Ada burung bagus di sana. Rano mau, ya, fotoin
Kinan?" pintanya.
Ya Tuhan, suaranya begitu lembut. Serasa kejatuhan
buah durian, aku iyakan saja, walau keringat dingin melaburi sekujur badan.
Sejenak aku menoleh. Tak ada yang tahu. Yes! Langsung kuambil langkah
seribu dan berganti kutarik tangan perempuan itu.
Sejak menit pertama memisahnya kami dari
rombongan, kurasakan ponselku terus bergetar. Aku tahu, kalau bukan
teman-teman, siapa lagi? Dan memang benar itu mereka. Tapi biarlah. Tampaknya
Kinan sendiri tak sadar. Ia terus mengarahkan kamera ke berbagai angle,
asyik memotret momen-momen menarik di pulau kecil ini. Kami berpindah dari spot
satu ke spot lain, berfoto ke sana kemari, saling bercanda, sampai
lupa betapa teman-teman bisa kebingungan menemukan kami. Pulau ini sedang ramai
pengunjung.
Sesudah puas dengan foto-foto yang didapat, Kinan
mengajakku mencari yang lain. Tapi aku mengingatkannya bahwa hari sudah terlalu
siang. Lebih baik kami kembali ke perahu yang sudah menunggu. "Lagian mereka
gak mungkin lama-lama di sini. Pasti bakal balik ke perahu,"
tambahku. Kinan setuju.
Sisa perjalanan hari ini jadi terasa lebih
menyenangkan. Ajeng memujiku yang sudah mulai berani "membawa" Kinan
ke mana-mana. Tapi, dia masih heran, kenapa tidak juga kuungkapkan perasaan
yang sudah dua tahun ini kupendam?
"Itu ada waktunya, Jeng. Sekarang bukan saat
yang tepat," jawabku pendek, ketika kami makan siang di sebuah resto di sekitar
Tanjung Benoa. Pembicaraan kami aman. Kinan dan Risti sedang ke toilet.
Sementara Damar dan Niko sibuk menggoda sekumpulan anak kecil berambut pirang
di ujung sana, meninggalkanku bersama Ajeng dan Roby.
"Padahal 'kan loe udah bantuin dia
naik perahu? Kenapa gak di situ aja? 'Kan bisa langsung loe tembak,
No?" Ajeng kesal. Dia tak tahu aku mulai menangkap maksud kata-kata Roby,
bahwa seorang lelaki kadang perlu mengambil inisiatif.
Ya, inisiatif itu kuambil sore ini, di sebuah pantai
tujuan ketiga kami hari ini, di pulau indah yang terkenal dengan sebutan Pulau
Dewata. Tak buang tempo, selagi teman-teman sibuk membeli souvenir, menunggu
waktu matahari terbenam, kutarik Kinan ke bibir pantai. Sunset menantiku
bersama kamera yang siap mengabadikan momen ini.
"Sekarang gantian kamu yang ambil gambarku," kataku.
"Kamu?"
tanya Kinan memandangku, bingung, malu-malu.
"Eh, maksudnya gantian loe yang fotoin
gue gitu."
"Oh, oke-oke. Pake kamera Kinan, ya?"
"Ini ... pake
punya gue aja."
Kusodorkan kameraku yang telah siap mengambil
gambar. Tapi, sejenak Kinan tampak heran. Aku sudah berlari menjauh, mendekat
ke batas air, sebelum akhirnya dia memanggilku, memastikan apakah kami sedang
merekam video?
"Ya. Gue mau bikin kejutan buat
seseorang. Rekam aja," sahutku.
Kinan mengangguk. Saat inilah, dengan jantung yang
tak kalah gemuruh di kala sunrise tadi, kulakukan gerakan takzim:
melukis kalimat di atas pasir. Huruf demi huruf kubentuk sedemikian rupa dengan
telapak tangan, hingga membuat perempuan itu mematung, menatapku haru dengan
mata beningnya.
"Rano. Ini ... ini apa maksudnya, ya?"
"Ini kejutan, Kinan. Kejutan buat kamu."
Sore itu, bersama sunset yang eksotik, kami
kembali ke penginapan dengan hati berbunga-bunga. Ajeng seperti ingin
memarahiku, tapi batal gara-gara dia temukan sebaris kalimat di pasir tempatku
berdiri: "I Love U, Kinan ...".
Kupandangi
punggung gadis itu menjauh, berlari-lari kecil di antara pengunjung Kuta. Aku
tahu dia tersenyum. Terima kasih, Tuhan. Antara sunrise dan sunset,
keberanianku tumbuh. [ ]
Comments
Post a Comment