Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi,
sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit—sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir
bak cabang di tengah perjalanan—maka
saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam
sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati.
Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang
kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang
kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita.
Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa
depan.
Pernahkah kita menghadapi situasi ini? Ketika
sedang bersemangat mengejar sesuatu, mendadak ada pilihan lain yang membuat
jalan kita terhenti; sekadar berpikir kira-kira jalan mana yang harus diambil,
atau mungkin tersesat hanya karena tak bisa menentukan pilihan; alias keluar
dari jalan yang tersedia, melompat entah kemana.
Yang pertama mesti kita pikirkan bukanlah apa yang
kita inginkan. Sebab yang diinginkan belum tentu baik. Yang pertama kita
pikirkan adalah apa yang ada dalam diri kita. Kita memang tidak bisa mengukur
setinggi apa tubuh atau seberat apa badan kita seorang diri. Kita butuh bantuan
orang lain untuk itu. Seperti ketika kita ingin berdandan; kita butuh cermin.
Kita tidak bisa melihat diri sendiri. Kita tidak tahu rahasia di bagian
belakang batok kepala kita. Maka, kita perlu bercermin, melihat potensi yang
kita miliki. Ya, "melihat" lebih baik daripada "merasa".
Sebab "merasa" adalah bentuk kepercayaan diri berlebih, alias sudah
yakin atas penilaian sendiri tanpa perlu meminta pendapat orang lain.
Setelah proses itu dilakukan, kita tahu dan
setidaknya menjadi "sedikit" sadar, siapa sih diri kita ini? Juga
sejauh mana tingkat kemampuan kita sebagai calon manusia masa depan? Dengan
begitu, jalan bercabang tadi, sebanyak apa pun jumlahnya, bisa dikerucutkan—atau malah tinggal satu saja, sehingga
kita tinggal melangkah melanjutkan pengejaran mimpi.
Lalu, bagaimana jika di masa depan kita malah
gagal? Apa kita harus menyesal karena salah memilih jalan? Sebenarnya ini soal
keyakinan saja. Tidak perlu ada yang disesali sepanjang kita sudah melakukan
yang terbaik selama memilih—dengan
lebih dulu memandang bahwa diri kita juga makhluk yang tidak tahu bentuk kepala
sendiri dari samping tanpa bantuan cermin.
Penyesalan ada selayaknya ketika kita merasa
paling benar, sehingga tanpa koreksi diri, maju begitu saja menerjang banyak
risiko. Sah-sah saja itu dilakukan, bahkan bisa dibilang sangat keren jika
memang pelakunya siap menerima apa pun tanpa pernah mengeluh.
Ya, keyakinan. Itulah kuncinya. Bukankah memilih
jalan itu perkara yang tidak asal diambil begitu saja, yang perlu pertimbangan,
perlu kesiapan? Artinya, memilih jalan menuju masa depan sudah pasti didasari
oleh keinginan: bahwa aku harus menjadi orang sukses. Sebab, hanya orang
tidak waras saja yang menginginkan masa depannya rusak.
Nah, kalau sudah begitu, andai kita gagal—padahal sejak awal sudah yakin bahwa
pilihan kita yang terbaik—yang
perlu kita lakukan adalah tetap "melihat", bukan "merasa".
"Melihat" apa yang terjadi di masa lalu; apa kita sudah cukup
benar menjalankan tugas yang diemban setelah jalan itu kita lalui? Apa kita
sudah cukup rela menjalani itu tanpa merasa terbebani oleh pilihan di cabang
lain yang tidak mungkin kita rasai? Dengan begitu, kita pasti tahu cepat
atau lambat, kira-kira di mana saja letak kesalahan kita. Jika kita sudah berbuat
benar, itu artinya takdir. Tapi bukan lantas kita harus pasrah. Boleh jadi ada
hal lain di luar teknis yang membuat kita perlu "ditegur" olehNya.
Memperbaiki diri adalah obatnya.
Sedangkan "merasa" justru membuat kita
makin jatuh. Misal kita merasa bahwa apa yang kita lakukan selama ini sia-sia,
dan bahwa kita adalah manusia pintar bernasib sial. Padahal, tidak ada yang
bisa melihat—sekali
lagi—batok kepalanya dari
belakang tanpa cermin. Apakah kegagalan masih saja membuat kita
"merasa" lebih? Itu sangat buruk. Lebih buruk lagi bila kegagalan
membuat kita "merasa" terbuang. Tindakan semacam ini cenderung
berkaitan dengan suasana hati berlebihan—entah itu bangga berlebihan atau sedih berlebihan.
Keduanya sama-sama buruk, bukan?
Maka, "melihat" akan membuat kita tahu,
meski dengan bantuan mata orang lain. Ada banyak hal bisa kita tahu, yang tanpa
kita sadari akan banyak membantu perbaikan kualitas diri. Sementara,
"merasa" hanyalah berputar dalam kepala kita saja, tanpa perlu orang
lain mengambil peran serta di dalamnya. Padahal manusia adalah makhluk sosial.
Dia tidak selalu tahu mana yang benar-benar baik untuknya, selain dengan
menerima masukan dari sesama manusia dan petunjuk dariNya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
-15 September 2014-
Comments
Post a Comment