*Ini cerpen pertamaku. Dibuat beberapa tahun yang lalu. Jadi harap maklum bila ada kesalahan di sana-sini. Yang penting, nikmati saja ceritanya. :)
Kudengar
dari tempatku berdiri suara Bu Ida bertalu-talu terdengar ke seluruh sudut sekolah,
mempersilakan para orangtua murid untuk segera memasuki ruangan rapat karena
acara akan segera dimulai.
Hari
pembagian rapor.
Aku
haus dan mengantuk setelah menunggu hampir tiga jam acara dimulai. Aku bahÂkan
tak peduli lagi dengan rambutku yang berantakan mirip sapu ijuk. Padahal aku selalu
memperhatikan tatanan rambutku yang mirip almarÂhum Stephen Gately itu—untuk
tetap menjaga citra keren seperti anak SMU kebanyakan.
Sembari
menunggu acara rapat pembagian rapor sekaligus kenaikan kelas terseÂbut, aku
pergi ke kantin. Biasanya di sana
sepi. Dan benar, waktu aku ke sana
kanÂtin benar-benar sepi. Aku menyendiri dengan maksud menghilangkan sakit kepalaku
gara-gara belum sembuh total dari sakit demamku kemarin. Lalu datang dua orang
siswi yang dari suaranya saja aku tahu mereka tak mengenalku, aku juga tak
mengenal mereka. Aku duÂduk membelakangi mereka. Aku memesan teh hangat ke
penjaga kantin. Kurang pas, karena matahari saat itu berada di atas kepala,
namun aku tak bisa memesan es teh karena malah akan menambah pusing kepalaku.
Dilema!
Aku
mencoba mengira-ngira bagaimana nanti nilai raporku. Memuaskankah? Atau seperti
yang sudah-sudah—mengecewakan. Aku selalu ingin menjadi anak IPA. Sejak awal
kelas sepuluh, aku selalu terkagum-kagum pada kakak-kakak kelasku yang berada
di kelas IPA. Entah kenapa. Mungkin karena aku tak terlalu mahir di mata
pelajaran Geografi, jadi aku memilih IPA saja. Dan hari ini cukup menegangkan.
Selain hari pembagian rapor sekaligus hari kenaikan kelas, hari ini juga hari
yang menentukan apakah seorang murid kelas sepuluh dinaikkan ke kelas IPA atau
IPS. Di tengah lamunanku, dua orang siswi yang tak kukenal tadi saling bercanda.
Suara mereka terdengar begitu keras di telinga. Udara panas dan lelah
membuatku semakin kesal. Ingin kuteriaki
mereka, ingin kubentak mereka karena telah berisik dan menggangguku! Namun saat
menoleh, sekejap hilang amaÂrahku. Betapa tidak. Di sana, di depanku, sesosok perempuan cantik
berkerudung dengan seÂnyum indahnya tak
sengaja bertatap mata denganku! Sontak aku kaget dan salah tingkah. Begitu juga
Si Wanita Berkerudung itu. Dalam hati kuberkata, Malaikatkah dia? Apa aku tak salah lihat? Baru kali ini aku melihatnya.
Siapakah namanya? Namun mungkin karena shock
aku tak sempat menegurnya, dia pun berlalu.
***
Dulu
mungkin aku menganggap aneh orang-orang yang sedang jatuh cinta bisa menÂjadi
demikian bahagia sampai dunia seperti miliknya sendiri, serta menjadi
berlarut-larut daÂlam kepedihan saat ditinggal cinta. Aku merasa heran hingga
mengerti alasan berbagai peraÂsaan tentang cinta setelah aku mengalaminya
sendiri.
Pagi
itu aku bersiap berangkat ke sekolah. Tentu saja dengan semangat baru—naik ke kelas
sebelas! Hari pertama di tahun ajaran baru selalu membuatku senang. Teman baru,
guru baru, pelajaran baru, semuanya serba baru! Dan rupanya tahun ini cukup
spesial. Karena selain aku dinaikkan ke kelas IPA, tak kuÂsangka cinta yang
baru juga menyergapku tanpa ampun di hari yang hebat itu.
Saat
memasuki kelas, kulihat beberapa siswi berkumpul di tengah ruangan, mengoÂbrol
tentang suasana baru yang menyenangkan, dan di sana, rasanya aku kenal seseoÂrang. Ah! Itu perempuan berkerudung yang
sempat membuatku salah tingkah, dan kini aku benar-benar dikepung oleh dua
macam perasaan: senang karena satu kelas dengannya dan cemas kalau-kalau dia
pacar orang lain. Tapi kubuang jauh-jauh pikiran negatif. Yang pasti aku merasa
suatu keajaiban datang menghadangku.
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama!
Meski
sudah saling kenal, aku merasa begitu bodoh karena tak juga berani mengungkapkan
perasaanku pada perempuan itu. Mungkin karena saat itu aku dikuasai oleh rasa
gelisah tanpa sebab, dan mulai kusadari dia bukanlah seorang perempuan biasa.
Namanya Indah—mencerminkan elok penampilan dan kepribadiannya. Beberapa minggu
sekelas dengannya, aku tahu bahwa Indah seorang siswi yang cerdas, punya banyak
teman, rajin beribadah, dan selalu menjaga jarak dengan siswa mana pun yang
mencoba akrab dengannya lebih dari sekedar sahabat.
Nah, sekarang harus bagaimana?
Aku
bingung. Jujur sekarang aku menyukainya bukan dari penampilan luarnya saja. Aku
semakin kagum padanya sebagai pribadi. Ia jujur, berpendirian kuat, dan yang
paling membuatku susah tidur adalah kenyataan bahwa dia salah satu ahli
matematika di kelas kami! Dia pandai di hampir semua mata pelajaran, tapi yang
paling menonjol mateÂmatikanya. SeÂmentara aku, sama sekali tak pandai
matematika. Hanya sedikit terampil dalam bahasa JeÂpang. Itu pun hanya menulis
rangkai indah huruf Hiragana. Tapi
semua kenyataan itu, serta kabar bahwa dia tak pernah peduli pada tiap siswa
yang mendekatinya, tak membuatku meÂnyerah.
***
Hari-hari
berikutnya kujalani dengan semangat sampai akhirnya aku merasa mengalami sebuah
mimpi yang seakan tak mungkin terjadi di dunia nyata. Biasanya saat perayaan
hari kemerdekaan 17 Agustus, di sekolah kami diadakan berbagai kegiatan lomba.
Tahun ini ada sekitar dua puluh macam lomba. Mulai dari olahraga beregu seperti
basket, sepak bola—sampai lomba-lomba seperti membaca puisi, azan, fashion show, balap karung, dan sebagainya.
Tiap-tiap kelas diwajibkan mengirim wakil untuk berpartisipasi dalam tiap lomba
yang diadakan oleh panitia. Biasanya lomba diadakan selama empat hari berturut-turut.
Pagi
itu, benar-benar santai. Saat aku menonton teman-temanku bertanding basket. Ilham,
ketua kelasku, menghampiriku. Tiba-tiba dengan ekspresi datar ia mengatakan
telah mendaftarkanku di salah satu lomba, dan jika aku tak menurut, aku akan
dikenakan denda mentraktir seluruh teman sekelas makan bakso. Berhubung aku
sama sekali tak berminat mengikuti lomba apa pun, Ilham mendaftarkanku tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu. Kurang
ajar sekali!
“Memangnya
lomba apa, Ham? Aku nggak mau ikut
kalau yang kau maksud itu lomba fashion
show!”
“Kenapa
kalau fashion show?”
“Pokoknya
nggak mau! Titik! Kalau lomba lari
aku mau. Jangan fashion show!”
Ilham
diam tak menjawab, kupikir ia paham aku tak mau ikut lomba peragaan busana itu
karena aku tak terlalu percaya diri jika harus bergaya di depan ratusan pasang
mata. Kupikir ia mendaftarkanku di lomba lari, atau paling tidak lomba azan.
***
Esoknya,
beberapa teman mendatangiku yang sedang asyik duduk di kantin.
“Ayo,
Teman. Saatnya lomba. Kamu wakil kita, jangan mengecewakan!”
Ha? Bukankah lomba azan nanti siang? Kalau lomba lari
besok…
Nah,
inilah yang kumaksud sebagai mimpi yang seakan tak mungkin terwujud. Ternyata
pasanganku berjalan di catwalk nanti
tak lain dan tak bukan adalah si wanita berkerudung itu—Indah! Diam-diam Ilham
mendaftarkanku di lomba fashion show
yang kubenci itu. Alasannya karena posturku jangkung, dan pas dengan kostum
yang kami punya. Meski yang diperagakan dalam lomba kali ini busana muslim, aku
tetap saja nervous, namun tak dapat
kusembunyikan perasaan senangku.
Saat
menaiki panggung, kami berjalan agak berjauhan. Temanku di kejauhan berteriak
menggodaku, menyuruh kami untuk lebih merapat. Aku tak peduli. Yang jelas
kurasakan panggung kayu jelek itu berubah menjadi bahtera semegah kapal pesiar
Titanic yang mewah. Sorakan ratusan penonton yang berisik, kurasa seperti suara
kecipak bayi-bayi katak sehabis hujan di pinggiran Danau Paniai. Sementara
hentakan lagu-lagu nge-beat pengiring
lomba itu, kudengar seperti simfoni nomor 41 milik Mozart.
Ah, cinta! Ternyata kau begitu indah…
***
Aku
memikirkan cara untuk mendekati Indah. Perempuan itu tak terlalu banyak bicara
jika dekat denganku. Entah kenapa. Akhirnya melalui bantuan seorang sahabat,
Nia, aku mengirim puisi-puisi hasil tulisan tanganku padanya. Tak pernah ditanggapi, aku tetap menulis puisi untuknya.
Selama tiga bulan aku menghasilkan berlembar-lembar puisi, dan aku takjub
karena selama ini tak sekali pun aku pernah bisa menulis puisi. Selama tiga bulan
itu pula Indah menjauh dariku. Kami berbicara hanya jika dimasukkan dalam satu
kelompok belajar itu pun sedikit. Tergantung apa yang sedang kucoba bicarakan
dengannya. Jika masalah sepele, dia hanya menjawab: ya atau tidak. Tapi jika
masalah pelajaran di sekolah, lain ceritanya. PendiÂdikan baginya adalah hal
penting di dunia ini setelah ibadah dan keluarga, dan aku setuju dengan prinsip
yang ia pegang teguh itu.
Perempuan
yang pandai mengaji itu pernah bilang bahwa diamnya selama ini karena ia takut
hubungan kami yang hanya sekedar teman—menjadi fitnah gara-gara ada gosip yang
mengatakan jika di antara kami berdua ada sesuatu yang speÂsial.
Ya, kita memang teman…
Aku
sebenarnya tak keberatan atas sikap diamnya. Yang membuatku kesal adalah baÂgaimana
teman yang lain tahu tentang aku yang menyukainya, serta pengiriman puisi
diam-diam itu? Padahal hanya sahabatku seorang saja yang tahu. Nia yang pendiam
tak mungkin menyebarkan semua ini. Ia sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
Mungkin ini terbongkar gara-gara terendus oleh salah seorang teman kami, Rudi.
Biasanya ia sering meminjam handphone-ku
tanpa alasan yang jelas. Memang puisi-puisi itu jarang kukirim lewat SMS, tapi
jelas siapapun yang membuka outbox-nya,
ibarat kata nenek-nenek sepuh sekalipun, asal tidak buta huruf, pasti langsung
mengetahui. Tapi aku tak ingin berprasangka buruk terhadap siapapun.
***
Hari
Senin pagi, Nia, sahabatku yang baik itu, memanggilku.
“Nanti
siang jangan langsung pulang,” ucapnya sambil mengerlingkan mata serta mengulum
senyum persahabatan. Belum sempat aku bertanya alasannya, ia langsung memotong.
“Jangan kebanyakan tanya. Pokoknya sudah
kuatur semua. Ini kesempatan. Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi agar dia tak
salah paham. Tentang gosip menyesatkan itu. Tentang perasaanmu juga… ”
Sekarang
aku paham, ia mengatur pertemuanku dengan Indah.
Tak perlu kau ajari juga akan kukatakan itu semua…
Aku
hanya tersenyum. Diam-diam aku merasa senang karena selama ini hampir tak ada
kesempatan sama sekali walau hanya untuk sekedar menyapanya. Indah selalu
menghindar. Nia sebagai seorang sahabat sekaligus partner in crime-ku, merasa harus segera berbuat sesuatu. Ia tak
ingin aku yang sudah mati langkah—bahkan hanya sekedar menyapa saja tak bisa
karena tiap kali bertemu denganku, Indah selalu memalingkan muka seakan tak
melihatku. Sahabat semacam Nia jarang kutemui di mana pun aku berada. Nia dapat
dengan mudah mengatur pertemuan kami karena dia juga sahabat dekat Indah.
***
Jam
pulang. Seisi kelas kosong, hanya kami berdua, meja, papan tulis, dan kalender
yang ada di sana.
Tak buang waktu, langsung kusampaikan segala yang ingin kusampaikan padanya.
Kalau orang melihat kami, mungkin mereka mengira aku sedang berusaha—dalam
istilah kerennya—menembak Indah.
Namun biar kuperjelas. Tujuanku di sini tak lain hanya ingin mengatakan agar ia
tak usah memperdulikan perihal gosip itu, dan jika ia terus mendiamkanku,
teman-teman yang lain malah berpikir yang tidak-tidak. Alangkah lebih baik kita
bersikap biasa saja agar tak timbul prasangka apapun. Soal perasaanku padanya?
Aku mengatakannya dengan jujur, dan tak meminta jawaban apa pun darinya.
Mungkin nanti jawaban itu kudapat…
Dia
mendengar dengan seksama. Aku semakin kagum dengannya saat melihat caranya
mendengar dan menanggapi.
Tiba-tiba
di siang bolong itu aku dikagetkan dengan suara cekiÂkikan di depan pintu
kelas. Seorang teman sedang merekam video pembicaraanku dengan InÂdah. Saat
kuperiksa… Rudi! Kurang ajar sekali!
Akhirnya kuakhiri pertemuan kami.
Aku
kesal pada Rudi, tapi senang sekaligus bingung karena di tengah pembiÂcaraan
singkat tadi, Indah, meski denÂgan agak canggung, mengatakan:
“Aku sebenarnya juga sempat suka sama kamu...”
Terdengar
ada sedikit harapan namun menggantung. Kalimat itu mengandung kejujuÂran yang
membuai sekaligus racun tidur yang menyengat. Kata sempat itu maksudnya apa,
pikirku. Berhari-hari aku memikirkannya sampai tak bisa tidur aku diÂbuatnya.
Aku coba kirim SMS padanya. Jawaban darinya membuat semua menjadi lebih jelas
di mataku.
“Orangtua dan pendidikan adalah prioriÂtas
utamaku. Aku percaya padamu. Aku juga sayang padamu. Tapi mohon mengertiÂlah,
jangan kau marah. Untuk saat ini biarlah kita berdua mengalir, biarlah waktu
yang menjawab. Kumohon, beri aku waktu. Percayalah. Aku juga sayang kamu…”
Kalimat
itu kurasakan bagai meriam yang ditembakkan ke dalam mulutku, masuk melalui
tenggorokan, lalu menusuk jantungku. Sebenarnya diam-diam selama ini dia juga
menyimpan perasaan yang sama padaku.
Biarlah waktu yang akan menjawab. Aku akan setia
menunggu hingga kau benar-benar yakin akan cintaku…
Aku
mencintai wanita itu atas segala kelebiÂhan dan kekurangannya. Sungguh, meski
sepanjang hidupku lebih sering kuhabiskan untuk hal yang tidak serius,aku
bukanlah seorang yang kurang ajar. Mungkin orang berpikir bahwa tujuanku mendapatkan
wanita ini tak lain hanyalah untuk kumanfaatkan dengan satu sikap culas. Namun
aku tak pernah berniat sejahat itu. Aku hanya ingin dia berada di sampingku,
sebagai orang yang lebih dekat daripada sahabat, karena aku merasa damai.
Bolehlah orang bilang ini cinta monyet, tapi bagiku cinta ini berbeda. Cinta
ini tak terbendung, diam, namun indah tak terperi. Biarlah kami menyimpan semua
ini. Biarlah, meski belum ada seorang pun yang tahu. Karena aku yakin cinta ini
tak terlepas oleh jarak antara kami berdua.
***
Hari
itu tanggal sebelas Januari. Hari di mana kami mengukir awal kisah cinta ini. SeÂkarang
aku menjadi pribadi positif. Prestasiku meÂningkat. Semua karena perempuan ini.
Ia sosok misteri terindah.
Kubuka
kembali berlemÂbar salinan puisiku, kuingat wajah perempuan itu, dengan keÂcerdasan
dan keteguhan hatinya. Kurasa dia tersenyum di sana. Mataku terpejam, mencoba berbicara dari
hati—menyentuh ruang terdalam di lubuk jiwa perempuan itu.
“Kami dua ekor merpati. Terbang dari dua arah
berlawanan. Menembus lapisan langit teratas. Menjelajah tujuh warna pelangi
yang hadir menyaksikan kami. Kami dua butir embun. Membasahi hijau padang rumput khayalan. Di
sana telah
kubangun istana. Hanya untuk kami berdua. Hanya untuk cinta ini…”
-SELESAI-
Comments
Post a Comment