Cerpen ini dibuat sekitar pertengahan tahun 2012. Saya berkolaborasi dengan dua sahabat pena; DP Anggi dan Yasin Abiru Sabil. Kami menamai persahabatan ini dengan sebutan KenSinNji. Saat ini, kami tengah mempersiapkan naskah buku kolaborasi.
Berikut cerpen kami kala itu. Mohon maaf apabila ada banyak kekurangan di sana-sini. Maklum, kami masih belajar. Hehe...
Selamat membaca. :)
“CINTA SANG
SIMPAI KERAMAT”
Sore nan syahdu, di satu sudut desa terpencil di
negeri ini. Di sini waktu seakan terÂpotret—diam membentuk sebuah gambar atau
lukisan. Di dalam gambar itu, tampak suasana khas pedesaan. Matahari sore
menebar cahayanya, meresap ke dalam bulir-bulir padi di sana—memberi satu
pemandangan menyejukkan. Samar terdengar suara percikan air dan siÂulan sumbang
tentang kedamaian. Rupanya seseorang sedang memandikan kerbaunya di sungai.
Sesekali tampak bayangan melambai-lambai—para ibu memanggil anak-anak mereka
yang masih keasyikan bermain. Sebentar lagi matahari turun ke peraduan. Desa
yang jauh dari hiÂruk pikuk perkotaan itu, seperti salju di tengah
Andes—sendiri, hilang tanpa ada yang peduli.
***
“Mud…
Ayahmu!”
Lelaki bernama Tohari itu
tampak terburu-buru berlari di pematang sawah. Pemuda itu, Mahmud namanya,
tengah duduk melamun di sebuah gubuk. Mahmud kaget saat tetangÂganya Tohari
memanggilnya. Lamunan tentang buku maÂtematika, papan tulis, dan seÂragam putih
merah, tiba-tiba buyar berserakan—pecah oleh suara Tohari yang besar dan berat
itu. Mahmud adalah seorang pemuda yang tak pernah lulus SD, puÂtus sekolah
karena tak ada biÂaya. Maklum, jika di usianya yang hampir menginjak tujuh belas musim ini, kenangan akan masa-masa
sekolah terus mendatanginya—bahkan saat ia seÂdang menggarap sawah milik salah
seorang tetangganya.
Mahmud bertanya-tanya dalam
hati, apa yang sedang terjadi. Melihat wajah Tohari yang gugup dan tegang,
pastilah sesuatu yang buruk menimpa Ayahnya. Segera ia berkemas. Karena hanyut
terlalu jauh oleh kerinduan yang membuncah akan bangku sekolah, ia tak saÂdar
kalau sebentar lagi azan maghrib akan berkumandang. Sore itu, Mahmud pulang
dengan rasa cemas yang tak sanggup ia redam. Sore itu, adalah awal dari satu
cobaan berat dalam hidupnya.
***
Keringat dingin membasahi
wajah keriput lelaki pendiam itu. Sebentar lagi anaknya pulang. Ia bangkit
dengan susah payah dari tempat tidurnya, berjalan tertatih, sambil berpeÂgang
pada dinding rumahnya yang rapuh dan terbuat dari bambu. Ia bermaksud pergi ke
daÂpur—menanggar air dan menyeduh segelas kopi untuk anak semata wayangnya itu.
Sudah menjadi kebiasaan,
sepulang dari sawah Mahmud mengaduk kopinya sendiri. Tapi sore ini, Ayahnya
yang sakit-sakitan itu, ingin memberi kejutan untuknya. Selama ini bapak tua
itu dirawat dengan sabar oleh Mahmud. Ia ingin setidaknya, sekali lagi dalam hiÂdupnya,
membuat anaknya itu tersenyum—sejenak melupakan pahit hidup yang mereka alami
berdua—dengan minum kopi bersama. Namun sayang, musibah tak dapat dicegah. Niat
tulus dari seorang ayah yang tua dan lemah itu, berujung pada kenyataan pahit.
Ia jatuh saat meÂlangkah ke dapur yang sempit itu. Kepalanya membentur tungku
api. Darah mengalir, mengÂgenangi lantai dapur yang gelap dan sepi itu. Ia
pingsan tanpa ada seorang pun yang tahu.
***
Mahmud berjalan setengah
berlari. Ia bergegas sambil bertanya kepada Tohari apa sebenarnya yang terjadi.
“Aku tadi nak meminjam
sabit ke rumah engkau untuk membersihkan
ladang. Namun ku panggil engkau tak menyahut, aku pergi ke pintu belakang rumah
dan melihat pintu tak terkunci, aku langsung masuk dan melihat ayahmu sudah
berlumuran darah. Karena itulah aku ke sawah mencari engkau”, ucap Tohari.
Mahmud hanya diam dan mempercepat langkah.
Setibanya di rumah, Mahmud
dan Tohari langsung masuk lewat pintu belakang. Mereka membopong ayah ke klinik terdekat. Mahmud menunggu di luar kamar pasien, sementara Tohari
berpamit pergi karena masih ada pekerjaan yang menunggunya. Setiap orang yang
melihat Mahmud menatap heran. Pakaian Mahmud yang putih sudah menjadi kelabu, celana
hitam Mahmud pun berdebu. Kaki Mahmud masih penuh lumpur dan tangannya berlumur darah.
***
“Keluarga bapak Imam!”,
seorang suster memanggil. Mahmud segera berdiri dan masuk ke ruangan pasien. Ia
melihat ada gurat letih di wajah sang ayah. Wajah tenang itu bernafas tersengal
karena berpacu dengan usia. Mahmud pergi sebentar ke kamar mandi—membersihkan
lumpur yang menempel di kaki dan darah yang berlumuran di tangan dan bajunya,
berwudhu dan melaksanakan sholat maghrib.
Hening. Mahmud menunggu
ayahnya siuman. Keheningan membuat Mahmud teringat akan masa lalu
pahit. Ia menyelam tenggelam jauh ke masa lalu—mencoba menyusun puzzle masa lalunya yang berantakan. Ia
masih ingat, kebahagiaan dulu pernah menyertainya. Hidup di keluarga sederhana
dengan kedua orang tuanya,
pergi ke sekolah di antar jemput
ibunya. Kebahagiaan tak henti mengalir walau hanya sedetik saja lewat senyuman kedua orang tuanya.
Ketika itu ia duduk di
kelas empat SD. Namun, semuanya berubah ketika ibunya meninggal karena
sebuah kecelakaan. Ibu berusaha menyelamatkan si semata wayang yang sedang
melintas,
saat menyebrang di hari yang na’as itu. Kejadian itu merenggut semua kebahagiaan hingga titik
terkecilnya.
Kejadian buruk serta merta
tak henti menghampirinya. Prestasinya menurun, ayahnya jatuh sakit karena
kehilangan istri yang sangat dicintai. Hal itu
membuat Mahmud kecil terpaksa berhenti dari sekolah—bekerja
serabutan sambil merawat ayah. Mahmud kecil tak dapat bermain seperti anak
seusianya. Ia hanya tertunduk malu bercampur sedih ketika melihat
teman-temannya berseragam putih merah lewat di depan rumahnya dengan tas ransel
di punggung mereka.
Hari dilaluinya sangat
bertolak belakang dengan apa yang diimpikannya semasa ibunya masih ada. Selama
itu pula ia bekerja tanpa henti dan berdo’a kepada Yang Maha Kuasa. Dengan hati
ikhlas semua itu dijalaninya hingga usia semakin bertambah. Terkadang, saat
membuka lemari baju ia melihat seragam putih merah itu dengan sedihnya. Ia
memeluk seragam itu hingga menitikkan air mata. Kepedihan hidup tak membuatnya
kalah dengan perjuangan yang harus ia dijalani.
***
Musibah
membasah di keringnya jiwa Mahmud yang semakin resah. Dalam buaian rindu pada
sosok seorang ibu, dia mengadu pada hening—jiwa hatinya bersuara mengharap Yang
Maha Kuasa, karena inilah yang bisa dia lakukan semata. Mahmud bercampur rasa.
Iba dan takut kehilangan sosok ayahnya yang tua renta, namun apalah daya
manusia ketika Dia berkehendak nyata.
“Mbok Min,
tahu dari siapa saya disini?”,
Mahmud melepas
tanya pada sosok wanita setengah abad itu. Dialah Minah, salah satu pengasuh di
Yayasan Cinta Nanda—yang mendidik dan menjadikan Mahmud kecil tumÂbuh remaja,
meskipun Mahmud tiap harinya hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja di tempat
yang penuh cinta kasih itu. Belum sempat si Mbok menjawab, Mahmud pun berucap
kedua,
“ Apakah mbok
Min tahu dari Tohari?”
“Iyah, Mud.
Tohari tergesa-gesa mendaratkan kakinya di depan yayasan, dan menceÂritakan
tentang musibah yang menimpa Pak Imam,” ucap si Mbok penuh kasih dan iba pada
Mahmud.
***
Isya
berkumandang—mengiringi perpisahan nyata antara dua anak manusia terpaut usia.
Saat terpahit bagi bakal Simpai Keramat
itu pun tiba.
“Mahmud! Lekaslah
kemari!”, teriak keras suster Ana di klinik tua itu. Mahmud berlari dari
Musholla sekuat tenaga, begitu juga dengan si Mbok. Tibanya Mahmud berlinang
air mata, takutnya pun berubah nyata. Imam, bapaknya yang tua renta itu—berada
di pengÂhujung helaan napas terakhirnya. Mahmud mendekapnya erat, membisikkan
dan membimÂbingnya mengucapkan indah kata namun berat terasa dilisannya.
“ Laa ilaaha illaulloh…”
Hatinya
menjerit memecah langit di penghujung senja. Yah, kalimat thoyyibah itulah pertanda
perpisahan nyata seorang ananda dengan ayahandanya yang tercinta. Mahmud peÂmuda
tak tamat SD itu, kini sebatang kara. Ia Simpai
Keramat—manusia terakhir dari satu garis keturunan ayah ibunya.
***
Lima tahun
setelah perpisahan pahit itu, Mahmud tumbuh lebih dewasa. Prestasinya meningkat
pesat sekalipun tak memakan bangku sekolah dasar sampai tamat. Mbok Min-lah yang
memotivasinya untuk tumbuh berlaut karisma—walau Mahmud tak mengenal wisuda—untuk
tumbuh menjadi sosok penyayang meski telah jauh darinya, cinta ayah dan bundanya.
Kini di usianya yang genap 22 tahun, Mahmud menjadi pengusaha muda dan mampu
membantu pendidikan adik-adiknya di Yayasan Cinta Nanda, hingga tak ada satu
pun wajah muram yang bernasib sama seperti dia semasa kecil dahulu. Mahmud kecil
yang dulu menangis, kini lebih dewasa memandang hidupnya—memaknai dengan syukur
pada-Nya atas beribu ujian, di bingkai kisah hidupnya yang lalu.
SELESAI
Pesan Cinta :
“ Dunia ini seperti roda berjalan, ia
selalu berubah. Orang yang bertahan bukanlah yang terkuat, tetapi yang paling
cepat beradaptasi dengan perubahan.”
( Ahli Hikmah )
Comments
Post a Comment