Skip to main content

Seratus Dua Puluh Tiga Anak Tangga


        Malam itu, mataku sulit terpejam. Tak ada kebisingan apa pun yang mengusikku. Mungkin karena pertama kali menginap di rumah Paman, butuh sedikit penyesuaian agar mata ini patuh pada rasa kantuk yang mulai datang. Hawa sejuk harusnya membantu, tapi tidak saat itu. Anganku melayang ke sebuah tempat yang belum pernah seumur hidup kudatangi; Bali.


Beberapa saat sebelumnya, aku mengobrol dengan Bibi sembari menonton sebuah film. Adik perempuan dari Ibu itu sama denganku, seorang penggemar film--terutama film action dan komedi. Tapi bukan soal film yang akan kuceritakan kali ini. Kala itu, kutunjukan satu tulisanku pada beliau. Judulnya "Jakarta Bulan Desember". Beliau senang melihatku bersemangat menulis. Kukatakan bahwa aku sangat ingin suatu saat nanti menulis bukuku sendiri.

"Banyak-banyaklah membaca. Seorang penulis sejati berawal dari mereka yang gemar membaca," begitu Bibi berujar.

Aku setuju tanpa syarat. Pembicaraan kami kini beralih pada segala sesuatu yang erat dengan dunia pena. Entah itu soal ide dadakan yang lebih sering terlupakan karena tidak segera 'kutangkap'. Atau soal suka-duka mengayuh sepeda. Atau mungkin soal perlombaan yang selama ini kuikuti. Semua orang telah lelap dibuai mimpi, hanya kami berdua dengan televisi yang masih terjaga. Tak terasa waktu menyelinap terlalu jauh. Kami segera tidur agar besoknya tak terlambat bangun.

Keesokan harinya. Saat matahari bertengger di titik tertinggi, kudapati tubuhku berada dalam sebuah bus. Menit demi menit yang menyusun perjalanan kami telah dimulai. Kuingat waktu itu Bibi mengatakan, "Tulislah apa saja yang kau lihat."

Aku pun berpikir demikian sejak awal. Berkunjung ke Bali untuk pertama kali adalah sesuatu yang berkesan. Aku harus mendapatkan sesuatu di sana. Bukan suvenir, makanan, baju baru, atau foto bersama turis-turis asing dari berbagai belahan bumi--bukan itu. Sangatlah rugi jika yang kudapat hanya berbungkus kenang-kenangan. Aku ingin sepulang dari sana, 'membawa' sebuah buku yang selama ini hanya ada dalam mimpi. Sepanjang perjalanan, kusimpan semua itu rapi di antara lamunan.

Matahari belum bangun, bus yang kami naiki sudah tiba di sana. Benar apa yang orang bilang. Tempat ini sangatlah indah. Usai shalat Subuh, aku melangkah ke sebuah pantai. Ada undakan batu serupa tanjung kecil yang menarik perhatianku. Siapa pun yang pernah ke Bali, pasti mengenal Pantai Sanur. Pemandangan matahari terbit di sana, memberi pengalaman tersendiri bagiku. Pada akhirnya, semua yang kutangkap kala pagi menyihir tempat itu--menjelma dari secuil bayangan, menjadi sosok misterius. Terbentuklah ide dasar penulisan buku "Dermaga Batu".

Lalu apa saja yang kutulis di sana?

Puisi-puisi yang ada dalam buku ini tak hanya tentang cinta, tetapi juga keindahan alam, Indonesia, perjuangan hidup, koruptor, benda, tokoh dunia, legenda, sejarah, tempat-tempat terkenal, beberapa momen unik dalam hidupku, serta masih banyak lagi. Aku menulis semua itu dari ide yang kudapat setiap saat.

Anehnya, tiap hari selalu ada saja 'sesuatu' yang datang. Misal, ketika mengendarai motor. Tak hanya sekali waktu kualami ini, tapi berulang kali. Di tepi jalan raya, di sebuah pertigaan, atau di mana pun itu yang dapat kulihat ketika motor tengah melaju--kutemukan apa yang benar-benar ingin kutulis. Atau saat sedang duduk santai di ruang tamu, tiba-tiba ada 'sesuatu' yang lewat di jalanan depan rumah. Ini nyata, bukan imajinasi atau sejenisnya. Maksudku, 'sesuatu' itu adalah orang yang benar-benar ada di kehidupan nyata.

Hal yang serupa juga kualami ketika membuka-buka sebuah majalah, membaca buku, menonton televisi, mengerjakan apa pun, atau bahkan ketika mata hampir menutup karena mengantuk. Pernah kulihat sebuah gambar salah satu keajaiban dunia; Tembok Besar Cina. Sedikit pengetahuan tentang bangunan itu pun memberi 'masukan' untuk satu atau bahkan beberapa judul puisi. Sesekali kukenang masa kecil yang indah untuk kujadikan puisi. Kadang imajinasiku pun bermain, merekayasa sebuah jalan cerita dalam kepala dengan tokoh-tokoh seperti dalam adegan sebuah film. Lagi-lagi, terciptalah sebuah puisi.

Maka tak heran jika di sebagian besar puisi-puisi yang ada dalam buku ini, para pembaca akan menemui 'keanehan'. Kenapa bisa demikian? Keanehan macam apa?

Coba bayangkan, apa jadinya jika seorang Che Guevara yang berjuang membebaskan Kuba dari kediktatoran di masa kepemimpinan Batista pada tahun 1957, bertemu dengan Luis Figo--mantan pesepakbola dari Portugal yang pernah membela Real Madrid? Mereka saling mendukung satu sama lain. Apa yang tengah mereka saksikan?

Juga soal tikus-tikus nakal nun di selokan kota besar. Mereka lapar hingga lupa diri. Gara-gara mereka, sekelompok kelinci di tengah hutan harus bertarung dengan maut. Semua itu demi masa depan bangsa ini. Apa sebenarnya yang terjadi?

Sementara itu, aku tersenyum mendengar cerita tentang orang yang berganti-ganti pekerjaan. Hari ini ia jadi dokter. Besoknya ia tiba-tiba mengatur pengambilan gambar di sebuah lokasi pembuatan film. Besok lusanya, dia seorang pilot. Bagaimana bisa begitu? Lucunya, di hari keempat dia berdiri di perempatan jalan... mengatur lalu lintas! Lha? Bagaimana bisa?!

Apa pula kaitannya sepasang kekasih Romeo-Juliette dengan kapal Titanic dan seorang penggembala kambing? Apakah Romeo hendak membeli seekor kambing untuk melamar Juliette? Atau mungkin penggembala kambing itu menjual tiket palsu kapal pesiar Titanic kepada mereka berdua? Kembang desa yang berdiri di kejauhan, hanya diam menyaksikan mereka saling bertemu di ujung jalan. Bagaimana mereka bisa saling berhubungan?!

Ada juga kisah secangkir kopi. Tiba-tiba saja berita politik dibawa-bawa. Meski tak ada urusan, acara gosip para selebritis ibukota pun turut dilibatkan. Mereka yang ada di sana sedang membahas sesuatu. Di antara mereka, ada yang duitnya banyak, ada pula yang tak punya duit. Wajah dan baju mereka berupa-rupa. Bagaimana mungkin mereka duduk di satu tempat tanpa pembatas? Apa yang mereka bicarakan? Apakah mereka saling berdebat lalu mengejek? Atau apakah mereka membuat perjanjian agar tak lagi mengangkat senjata?

Juga tentang tukang patri tradisional. Secara kurang ajar, robot yang berkelana lewat dimensi waktu tiba-tiba merebut segepok uang receh dari tangannya. Apa maksudnya?! Tak punya perasaan! Bisa-bisanya robot itu berbuat jahat?! Apakah robot mulai bisa merasakan lapar? Padahal, ia sendiri hidup di zaman serba canggih!

Lalu apa yang membuat gadis miskin Ma Yan sanggup menahan lapar selama dua minggu hanya demi sebuah pena?! Ya, sebuah pena! Suatu hari ia melihatnya di pasar dan ia sungguh menginginkannya. Mungkinkah dia jelmaan malaikat yang menyihir jalanan kota berdebu di negeri yang jauh di Pulau Jawa? Padahal ia sendiri menangis bersama semangkuk nasi kering tanpa lauk di sebuah tempat bernama Zhangjiashu, di Cina.

Ada juga kisah menarik seorang manusia hijau setengah matang. Hobinya nonton pertunjukan dari negeri yang jauh. Entah itu film, konser, tarian, dan lain sebagainya. Sampai-sampai ia lupa lirik lagu daerah ciptaan saudara kandungnya. Siapakah wujud asli manusia hijau ini? Apa jangan-jangan bumi telah dikuasai oleh makhluk luar angkasa?

Kapitan Pattimura tiba-tiba terdiam. Apa yang membuatnya melamun? Apakah ada sesuatu yang indah hingga ia terpukau? Apakah saat itu ia tengah merenung di tengah panorama bingkai lukisan dua pulau: Maitara dan Tidore? Mungkin di sana ia membayangkan bahwa ternyata keadaan masa depan bangsa ini tidaklah jauh berbeda dengan zaman di mana ia berjuang.

Seorang guru musik dan muridnya datang ke sebuah taman yang terletak tak jauh dari pusat kota Jakarta abad ke-20. Mereka sendiri berasal dari masa lampau. Dua orang itu adalah Johann Sebastian Bach dan Wolgang Amadeus Mozart. Lho?! Bukankah masa hidup mereka berdua sekitar abad ke-18? Bagaimana mereka bisa datang? Apa seseorang telah berhasil membuat mesin waktu? Penuh sesaklah sudut-sudut Taman Suropati di sore hari.

Lampu merah pun menyimpan pelajaran. Ada bocah perempuan yang tak pernah tahu rasanya upacara hari Senin, apalagi seragam pramuka. Padahal ia sendiri rajin membaca bahkan sebelum orang-orang berangkat kerja. Juga seorang kakek yang meringkuk kedinginan dengan pakaian ala kadarnya. Mata tuanya menatap burung-burung pelintas pulau di ujung tiang. Apa yang memaksa mereka berdua berhubungan dengan titik pemberhentian itu? Apa di antara mereka terjadi sebuah ikatan batin hingga waktu pun sulit melepas?

Iwan Fals terus bernyanyi. Lagunya tentang wakil rakyat. Kumisnya hitam dan tebal. Tampaknya ia tak lagi takut pada duri. Mungkin ia sedikit kesal lantaran kereta datang terlambat, juga soal tawar menawar di jalan raya! Beruntung jendela kelasnya punya kisah manis. Hingga ia pun tersenyum kembali. Apa yang membuatku begitu mengerti segala hal tentang beliau?

Dan masih banyak lagi pertanyaan dari 'keanehan-keanehan' lainnya. Semua itu kusimpan di sela pijakan tangga yang kubangun dari potongan-potongan bait sederhana. Terbentuklah seratus dua puluh tiga judul puisi, usai matahari terbit mengetuk hati. Buku ini saksinya.

Sahabat FAM, segera pesan buku "Dermaga Batu" untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga buku ini memberi manfaat dan warna tersendiri bagi dunia literasi kita, mampu menyampaikan pesan-pesan di setiap judulnya, sekaligus menghibur ketika kita membacanya. :)

Salam santun, salam karya!
Ken H, FAM801M-Sby

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri