Malam itu, mataku sulit terpejam. Tak ada kebisingan apa pun yang mengusikku. Mungkin karena pertama kali menginap di rumah Paman, butuh sedikit penyesuaian agar mata ini patuh pada rasa kantuk yang mulai datang. Hawa sejuk harusnya membantu, tapi tidak saat itu. Anganku melayang ke sebuah tempat yang belum pernah seumur hidup kudatangi; Bali.
Beberapa saat sebelumnya, aku mengobrol dengan
Bibi sembari menonton sebuah film. Adik perempuan dari Ibu itu sama denganku,
seorang penggemar film--terutama film action dan komedi. Tapi bukan soal film
yang akan kuceritakan kali ini. Kala itu, kutunjukan satu tulisanku pada
beliau. Judulnya "Jakarta Bulan Desember". Beliau senang melihatku
bersemangat menulis. Kukatakan bahwa aku sangat ingin suatu saat nanti menulis
bukuku sendiri.
"Banyak-banyaklah membaca. Seorang penulis
sejati berawal dari mereka yang gemar membaca," begitu Bibi berujar.
Aku setuju tanpa syarat. Pembicaraan kami kini
beralih pada segala sesuatu yang erat dengan dunia pena. Entah itu soal ide
dadakan yang lebih sering terlupakan karena tidak segera 'kutangkap'. Atau soal
suka-duka mengayuh sepeda. Atau mungkin soal perlombaan yang selama ini
kuikuti. Semua orang telah lelap dibuai mimpi, hanya kami berdua dengan
televisi yang masih terjaga. Tak terasa waktu menyelinap terlalu jauh. Kami
segera tidur agar besoknya tak terlambat bangun.
Keesokan harinya. Saat matahari bertengger di
titik tertinggi, kudapati tubuhku berada dalam sebuah bus. Menit demi menit
yang menyusun perjalanan kami telah dimulai. Kuingat waktu itu Bibi mengatakan,
"Tulislah apa saja yang kau lihat."
Aku pun berpikir demikian sejak awal. Berkunjung
ke Bali untuk pertama kali adalah sesuatu yang berkesan. Aku harus mendapatkan
sesuatu di sana. Bukan suvenir, makanan, baju baru, atau foto bersama
turis-turis asing dari berbagai belahan bumi--bukan itu. Sangatlah rugi jika
yang kudapat hanya berbungkus kenang-kenangan. Aku ingin sepulang dari sana,
'membawa' sebuah buku yang selama ini hanya ada dalam mimpi. Sepanjang
perjalanan, kusimpan semua itu rapi di antara lamunan.
Matahari belum bangun, bus yang kami naiki sudah
tiba di sana. Benar apa yang orang bilang. Tempat ini sangatlah indah. Usai
shalat Subuh, aku melangkah ke sebuah pantai. Ada undakan batu serupa tanjung
kecil yang menarik perhatianku. Siapa pun yang pernah ke Bali, pasti mengenal
Pantai Sanur. Pemandangan matahari terbit di sana, memberi pengalaman
tersendiri bagiku. Pada akhirnya, semua yang kutangkap kala pagi menyihir
tempat itu--menjelma dari secuil bayangan, menjadi sosok misterius.
Terbentuklah ide dasar penulisan buku "Dermaga Batu".
Lalu apa saja yang kutulis di sana?
Puisi-puisi yang ada dalam buku ini tak hanya
tentang cinta, tetapi juga keindahan alam, Indonesia, perjuangan hidup,
koruptor, benda, tokoh dunia, legenda, sejarah, tempat-tempat terkenal,
beberapa momen unik dalam hidupku, serta masih banyak lagi. Aku menulis semua
itu dari ide yang kudapat setiap saat.
Anehnya, tiap hari selalu ada saja 'sesuatu' yang
datang. Misal, ketika mengendarai motor. Tak hanya sekali waktu kualami ini,
tapi berulang kali. Di tepi jalan raya, di sebuah pertigaan, atau di mana pun
itu yang dapat kulihat ketika motor tengah melaju--kutemukan apa yang benar-benar
ingin kutulis. Atau saat sedang duduk santai di ruang tamu, tiba-tiba ada
'sesuatu' yang lewat di jalanan depan rumah. Ini nyata, bukan imajinasi atau
sejenisnya. Maksudku, 'sesuatu' itu adalah orang yang benar-benar ada di
kehidupan nyata.
Hal yang serupa juga kualami ketika membuka-buka
sebuah majalah, membaca buku, menonton televisi, mengerjakan apa pun, atau
bahkan ketika mata hampir menutup karena mengantuk. Pernah kulihat sebuah
gambar salah satu keajaiban dunia; Tembok Besar Cina. Sedikit pengetahuan
tentang bangunan itu pun memberi 'masukan' untuk satu atau bahkan beberapa
judul puisi. Sesekali kukenang masa kecil yang indah untuk kujadikan puisi.
Kadang imajinasiku pun bermain, merekayasa sebuah jalan cerita dalam kepala
dengan tokoh-tokoh seperti dalam adegan sebuah film. Lagi-lagi, terciptalah
sebuah puisi.
Maka tak heran jika di sebagian besar puisi-puisi
yang ada dalam buku ini, para pembaca akan menemui 'keanehan'. Kenapa bisa
demikian? Keanehan macam apa?
Coba bayangkan, apa jadinya jika seorang Che
Guevara yang berjuang membebaskan Kuba dari kediktatoran di masa kepemimpinan
Batista pada tahun 1957, bertemu dengan Luis Figo--mantan pesepakbola dari
Portugal yang pernah membela Real Madrid? Mereka saling mendukung satu sama
lain. Apa yang tengah mereka saksikan?
Juga soal tikus-tikus nakal nun di selokan kota
besar. Mereka lapar hingga lupa diri. Gara-gara mereka, sekelompok kelinci di
tengah hutan harus bertarung dengan maut. Semua itu demi masa depan bangsa ini.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Sementara itu, aku tersenyum mendengar cerita
tentang orang yang berganti-ganti pekerjaan. Hari ini ia jadi dokter. Besoknya
ia tiba-tiba mengatur pengambilan gambar di sebuah lokasi pembuatan film. Besok
lusanya, dia seorang pilot. Bagaimana bisa begitu? Lucunya, di hari keempat dia
berdiri di perempatan jalan... mengatur lalu lintas! Lha? Bagaimana bisa?!
Apa pula kaitannya sepasang kekasih Romeo-Juliette
dengan kapal Titanic dan seorang penggembala kambing? Apakah Romeo hendak
membeli seekor kambing untuk melamar Juliette? Atau mungkin penggembala kambing
itu menjual tiket palsu kapal pesiar Titanic kepada mereka berdua? Kembang desa
yang berdiri di kejauhan, hanya diam menyaksikan mereka saling bertemu di ujung
jalan. Bagaimana mereka bisa saling berhubungan?!
Ada juga kisah secangkir kopi. Tiba-tiba saja
berita politik dibawa-bawa. Meski tak ada urusan, acara gosip para selebritis
ibukota pun turut dilibatkan. Mereka yang ada di sana sedang membahas sesuatu.
Di antara mereka, ada yang duitnya banyak, ada pula yang tak punya duit. Wajah
dan baju mereka berupa-rupa. Bagaimana mungkin mereka duduk di satu tempat
tanpa pembatas? Apa yang mereka bicarakan? Apakah mereka saling berdebat lalu
mengejek? Atau apakah mereka membuat perjanjian agar tak lagi mengangkat
senjata?
Juga tentang tukang patri tradisional. Secara
kurang ajar, robot yang berkelana lewat dimensi waktu tiba-tiba merebut segepok
uang receh dari tangannya. Apa maksudnya?! Tak punya perasaan! Bisa-bisanya
robot itu berbuat jahat?! Apakah robot mulai bisa merasakan lapar? Padahal, ia
sendiri hidup di zaman serba canggih!
Lalu apa yang membuat gadis miskin Ma Yan sanggup
menahan lapar selama dua minggu hanya demi sebuah pena?! Ya, sebuah pena! Suatu
hari ia melihatnya di pasar dan ia sungguh menginginkannya. Mungkinkah dia
jelmaan malaikat yang menyihir jalanan kota berdebu di negeri yang jauh di
Pulau Jawa? Padahal ia sendiri menangis bersama semangkuk nasi kering tanpa
lauk di sebuah tempat bernama Zhangjiashu, di Cina.
Ada juga kisah menarik seorang manusia hijau
setengah matang. Hobinya nonton pertunjukan dari negeri yang jauh. Entah itu
film, konser, tarian, dan lain sebagainya. Sampai-sampai ia lupa lirik lagu
daerah ciptaan saudara kandungnya. Siapakah wujud asli manusia hijau ini? Apa
jangan-jangan bumi telah dikuasai oleh makhluk luar angkasa?
Kapitan Pattimura tiba-tiba terdiam. Apa yang
membuatnya melamun? Apakah ada sesuatu yang indah hingga ia terpukau? Apakah
saat itu ia tengah merenung di tengah panorama bingkai lukisan dua pulau:
Maitara dan Tidore? Mungkin di sana ia membayangkan bahwa ternyata keadaan masa
depan bangsa ini tidaklah jauh berbeda dengan zaman di mana ia berjuang.
Seorang guru musik dan muridnya datang ke sebuah
taman yang terletak tak jauh dari pusat kota Jakarta abad ke-20. Mereka sendiri
berasal dari masa lampau. Dua orang itu adalah Johann Sebastian Bach dan
Wolgang Amadeus Mozart. Lho?! Bukankah masa hidup mereka berdua sekitar abad
ke-18? Bagaimana mereka bisa datang? Apa seseorang telah berhasil membuat mesin
waktu? Penuh sesaklah sudut-sudut Taman Suropati di sore hari.
Lampu merah pun menyimpan pelajaran. Ada bocah
perempuan yang tak pernah tahu rasanya upacara hari Senin, apalagi seragam
pramuka. Padahal ia sendiri rajin membaca bahkan sebelum orang-orang berangkat
kerja. Juga seorang kakek yang meringkuk kedinginan dengan pakaian ala
kadarnya. Mata tuanya menatap burung-burung pelintas pulau di ujung tiang. Apa
yang memaksa mereka berdua berhubungan dengan titik pemberhentian itu? Apa di
antara mereka terjadi sebuah ikatan batin hingga waktu pun sulit melepas?
Iwan Fals terus bernyanyi. Lagunya tentang wakil
rakyat. Kumisnya hitam dan tebal. Tampaknya ia tak lagi takut pada duri.
Mungkin ia sedikit kesal lantaran kereta datang terlambat, juga soal tawar
menawar di jalan raya! Beruntung jendela kelasnya punya kisah manis. Hingga ia
pun tersenyum kembali. Apa yang membuatku begitu mengerti segala hal tentang
beliau?
Dan masih banyak lagi pertanyaan dari
'keanehan-keanehan' lainnya. Semua itu kusimpan di sela pijakan tangga yang
kubangun dari potongan-potongan bait sederhana. Terbentuklah seratus dua puluh
tiga judul puisi, usai matahari terbit mengetuk hati. Buku ini saksinya.
Sahabat FAM, segera pesan buku "Dermaga
Batu" untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga
buku ini memberi manfaat dan warna tersendiri bagi dunia literasi kita, mampu
menyampaikan pesan-pesan di setiap judulnya, sekaligus menghibur ketika kita
membacanya. :)
Salam santun, salam karya!
Ken H, FAM801M-Sby
Salam Bang KEN....
ReplyDeletewahhh kerenn, sukses selalu yah :)
Terima kasih. :)
ReplyDelete