Aku punya mimpi yang cukup lama mendekam dalam
hati dan pikiran. Namun mimpi itu, seperti sesuatu yang baru dan masih belum
benar-benar sanggup berdiri kokoh dengan sendirinya tanpa penopang. Mimpi itu
adalah menerbitkan tulisanku agar bisa dibaca banyak orang.
Baiklah. Begini... Akan kumulai dari hobi masa
kecilku.
Sudah tak asing di mata orang-orang terdekat kalau hobi pertamaku adalah menggambar. Aku mulai menggambar saat berumur dua tahun. Memang gambarku tidaklah terlalu bagus dan nyaman untuk dilihat, tapi kata 'mereka' lumayan bagus untuk anak seumuranku. Selain menggambar, aku punya hobi lain, yaitu membaca. Hobi ini menjamur dalam benak dan alam bawah sadarku saat aku mulai berumur tiga atau empat tahunan. Terdengar aneh bukan? Bocah sekecil itu sudah bisa membaca? Tak mungkin! Tapi memang itu nyatanya, jadi kuceritakan apa adanya.
Sudah tak asing di mata orang-orang terdekat kalau hobi pertamaku adalah menggambar. Aku mulai menggambar saat berumur dua tahun. Memang gambarku tidaklah terlalu bagus dan nyaman untuk dilihat, tapi kata 'mereka' lumayan bagus untuk anak seumuranku. Selain menggambar, aku punya hobi lain, yaitu membaca. Hobi ini menjamur dalam benak dan alam bawah sadarku saat aku mulai berumur tiga atau empat tahunan. Terdengar aneh bukan? Bocah sekecil itu sudah bisa membaca? Tak mungkin! Tapi memang itu nyatanya, jadi kuceritakan apa adanya.
Hobi membaca berawal saat kulihat kakakku yang
berumur dua tahun lebih tua memegang sebuah buku. Aku tak tahu benda macam apa
itu. Bentuknya sederhana dan penuh warna yang menghiasi bagian luarnya. Apakah
itu mainan? Atau semacam benda yang hanya orang dewasa saja yang boleh
menggunakannya? Aku tak tahu. Kupikir kakakku itu sudah cukup dewasa meski
usianya tak jauh beda denganku--sama-sama bau kencur.
Setiap sore kuperhatikan apa yang kakakku itu
lakukan dengan buku. Dengan ditemani Ibuku, lembar-lembar kertas itu
dibolak-baliknya. Kadang di bagian tertentu ia berhenti. Lalu alisnya mengerut
sejenak, seolah sedang berpikir. Ibuku dengan sabar menemani kakakku sementara
aku hanya melongo seperti ikan koi karena tak tahu apa-apa.
Lama-lama aku mulai tertarik dengan buku. Suatu
saat kutangkap sebuah garis di salah satu bagian buku milik kakak. Garis itu
melengkung di beberapa sudut, berbelok-belok, lalu berputar sesuka hatinya
hingga menyatu menjadi sebuah gambar. Luar biasa! Di dalam buku ada sebuah
gambar yang sangat bagus! Aku tak ingat gambar apa yang ada di sana, yang jelas
gambar itu menyihirku untuk berbuat lebih banyak demi mengetahui siapa
dan apa buku itu sebenarnya.
Jadilah aku merengek tak karuan, minta diajari
cara bermain dengan buku kepada Ibu. Ibu yang tak sanggup lagi meredam rasa
ingin tahuku, akhirnya bersedia mengenalkanku pada dua puluh enam simbol asing yang
dipakai jutaan umat manusia untuk berkomunikasi, yaitu huruf.
Dari situlah hobi membaca dimulai. Buku cerita
bergambar habis kulahap. Terus berlanjut hingga aku masuk sekolah dasar.
Pelajaran membaca amat kugemari. Bahkan saat SMP aku rela menabung selama dua
atau tiga minggu demi membeli sebuah buku berjudul "Berapakah Berat
Bumi?". Saat itu aku benar-benar tergila-gila dengan buku yang berisi
ilmu pengetahuan, terutama ensiklopedia--selain komik koleksiku tentu saja.
Namun jangan salah. Hobi membaca yang telah lama terjaga dalam jiwaku ini,
ternyata tidaklah cukup menjadi modal untuk menjadi seorang pengarang cerita
yang baik. Aku hobi membaca, tapi selalu kesulitan saat guru menyuruhku untuk
membuat karangan, entah itu berupa cerpen atau puisi. Bahkan satu bait puisi
saja aku tak sanggup membuatnya. Aneh bukan?
Masa SMA perlahan membuat perubahan besar pada
diriku dan caraku memandang alam sebagai 'guru'. Aku menyukai seorang gadis
teman sekelasku. Sejak detik itu pula kemampuan berpuisiku tiba-tiba bergerak,
bereaksi, melompat-lompat riang, bahkan berlari sekencang-kencangnya demi
mengejar satu kalimat: ungkapan cinta lewat kata-kata puitis. Ya, aku mulai
menulis puisi saat cinta menyergapku di sebuah kelas di sudut sekolah yang
dingin dan sepi itu. Hobi menulis pun dimulai.
Seiring berjalannya waktu, sebuah tangan tak
tampak--invisible hand--membimbingku hingga berada di sebuah kota yang
jauh dari kampung halaman. Di sana aku bekerja, berjuang untuk meraih
mimpi-mimpi. Entah karena terlalu banyak masalah yang mendera, suatu malam aku
melamun, tak bisa tidur. Kuputuskan untuk segera bertindak. Selama ini sudah
puluhan, mungkin ratusan puisi yang kuhasilkan hanya dari inspirasi seorang
gadis saja, tapi tak pernah sekali pun kucoba mengirimkan tulisanku ke media.
Maka kukatakan dalam hati, "Ini saatnya. Jangan ditunda-tunda lagi. Aku
harus menerbitkan karyaku, apa pun yang terjadi!"
Dengan berbekal kartu memori handphone, aku
pergi ke warnet yang berjarak sekitar setengah kilometer dari rumah
kostku--dengan berjalan kaki. Itu kulakukan karena aku tak punya laptop mau pun
flashdisk. Kusimpan tulisan-tulisanku di sana.
Sayangnya, apa yang orang sebut mimpi memang tak
mudah untuk diraih. Aku terpuruk, jatuh. Berbagai macam cobaan kembali menguji
seberapa jauh daya tahanku, seberapa kuat tubuhku atas terjangan badai. Namun
mimpi untuk menerbitkan buku tak pernah lenyap sedetik pun. Uang tabungan untuk
membeli laptop yang selama ini kuimpikan pun, masih harus kupakai untuk
keperluan lain. Hidup di perantauan bukan hal mudah. Siapa pun yang pernah
mengalamminya pasti mengerti tanpa harus kujelaskan. Bahkan perutku terbiasa
dan mulai mengakrabkan diri dengan rasa lapar.
Suatu waktu, aku berhenti menulis. Kucoba mencari
hiburan lain di warnet, mencari lagu. Tiba-tiba kurasakan satu bisikan yang
menyuruhku mengambil satu langkah besar dalam hidupku. Bisikan itu
mengendalikan jari jemariku untuk mengetik sebuah kalimat yang bahkan tak
pernah terlintas sedikit pun di benakku selama lima tahun 'menjalani' hobi
menulis!
Kawan, aku mulai menulis puisi sejak duduk di
bangku SMA sekitar akhir tahun 2007. Tapi selama ini, tak pernah sekali pun
orang membaca tulisanku selain beberapa sahabat dan orang terdekat. Hingga tiba
di suatu sore yang tenang di bulan Mei 2012, berada di sebuah warnet berdebu
yang kotornya minta ampun, tanpa sadar kuketik di mesin pencarian internet:
"Lomba menulis tingkat Nasional".
Sejak itu aku mulai aktif mengikuti lomba
kepenulisan, mulai dari cerpen hingga puisi. Berulangkali gagal, berulangkali
kucoba mengoreksi tulisanku. Dalam seminggu pernah aku menghasilkan tiga judul
cerpen yang semuanya gagal saat kulempar ke meja perlombaan. Berbulan-bulan tak
satu pun karyaku yang lolos. Bahkan di sebuah perlombaan yang memperebutkan
hadiah sedikit uang dan bingkisan sepatu saja aku tak becus!
Tak surut semangatku, hingga akhirnya kutemukan
info menarik di sebuah forum kepenulisan tingkat nasional. Ada sebuah lomba!
Tak ingin ketinggalan, aku kembali berpartisipasi. Namun tema yang telah
ditentukan dewan juri, membuatku harus 'bertapa' selama beberapa hari untuk
mendapatkan sebuah ide cemerlang agar menghasilkan sebuah cerpen yang menarik.
Lama aku berpikir, tapi tak ada ide sama sekali---buntu. Akhirnya kucoba
melupakan lomba itu untuk sesaat. Toh, deadline pengumpulan naskah masih
jauh.
Pergi ke kamar, kubuka meja belajarku. Di sana
telah kusimpan berpuluh lembar kertas berisi tulisanku selama dua bulan
terakhir--dari bulan Mei hingga Juli 2012. Tiba-tiba aku merasa takjub akan
kekuatan semangat yang ada dalam diriku. Entah apa yang telah merasukiku.
Selama ini dua bulan aku pergi ke warnet untuk mengetik. Warnet yang kumaksud
ini bukan yang berjarak setengah kilometer dari tempat kostku itu. Melainkan
yang berada di kampung halamanku. Karena nenek jatuh sakit, aku memutuskan
untuk sering-sering menengoknya.
Warnet itu sendiri sebenarnya bukan tempat yang
nyaman untuk melakukan 'pekerjaan' ini. Selain pengap dan gelap, tempat berdebu
itu tak pernah sepi dari anak-anak SD yang bermain game online. Jadilah
aku mengetik di bawah tekanan yang tak sanggup kugambarkan. Suara bising dari
bocah-bocah nakal itu, juga yang berasal dari pemutar musik sang penjaga
warnet--membuat kepalaku hampir pecah. Tak jarang bulir-bulir keringat sebesar
biji jagung berjatuhan memenuhi wajah dan leherku. Panas, kotor,
berisik---itulah tempatku mengetik selama dua bulan terakhir ini.
Yang membuatku takjub adalah apa yang kuhasilkan
dari tempat semacam itu, mengetik di sebuah tempat yang benar-benar 'menguji'
mental, menguras keringat, dan air mata. Jarak warnet ini lebih jauh dari yang
sebelumnya, sekitar tiga kilometer. Untuk ke sana aku harus mengayuh sepeda di
tengah godaan panas matahari yang menghanguskan. Laptop masih belum terbeli
karena kebutuhan masih banyak yang harus terpenuhi. Tapi dengan semangat yang
tak kalah kobarannya ketimbang bola api di langit itu, kukayuh sepeda dengan
senang hati demi terwujudnya mimpi.
Sejak Mei hingga Juli 2012, kuhasilkan satu judul
artikel tentang internet sepanjang empat atau lima halaman penuh, tiga judul
surat terbuka yang isinya panjang lebar menceritakan tentang pengalaman
menulisku dan kritik negatif dari orang lain, tiga belas judul cerpen dengan
berbagai macam tema dengan kisaran empat sampai sepuluh halaman, serta belasan
judul puisi yang berserakan. Semua itu adalah naskah yang kutulis selama dua
bulan. Namun hanya dua dari sekian banyak naskah itu yang bernasib baik di mata
juri perlombaan menulis, yaitu surat terbuka berjudul "Bahtera Mimpi"
dan satu cerpen berjudul "Bingkai Merah Muda". Entah apa yang membuat
juri tertarik dengan kedua naskah itu. Yang lain? Jangan tanyakan.
Keringatku selama dua bulan ini terkumpul dalam
tumpukan kertas yang lumayan berat. Jika dijadikan buku yang tipis dan
sederhana, mungkin bisa. Tapi kurasa itu masih jauh. Aku hanya seorang pemula
yang masih perlu banyak belajar di bidang ini.
Di tengah lamunan itulah, tanpa sengaja semilir
angin membalik halaman naskah gagalku tadi, menuju ke halaman depan sebuah
judul cerpen. Detik itu juga ide cemerlang mandatangiku.
Kubaca cerpenku yang gagal itu berulangkali,
sembari berusaha menggabungkannya dengan ide awal ketika membaca info lomba
kepenulisan yang saat ini sedang kurenungkan. Dengan mengerahkan segenap
tenaga, akhirnya aku berhasil mengolah kembali salah satu cerpen gagalku tadi
hingga menjadi sebuah tulisan yang lebih bermakna.
Tak buang waktu, aku pergi ke warnet, mengedit
ulang cerpen itu sesuai dengan ide segar yang baru saja mampir. Dengan menaruh
berjuta harap di sana, di antara jalinan kalimat sederhana cerpenku, jari
telunjuk kanan menekan bagian mouse, dan... naskah hasil
'bertapa' itu pun meloncat merebut nasibnya di antara sekian banyak naskah lain
di perlombaan tersebut.
Beberapa hari kemudian, dengan menggunakan handphone
kubuka e-mail tanpa menyadari bahwa kabar baik sedang menanti. Ya, di sana,
di kotak masuk itu, kubaca sebuah pesan bahwa naskahku lolos seleksi dan layak
terbit mengisi satu bangku kosong di buku yang akan direncanakan terbit untuk event
tersebut!
Mereka tak tahu, cerpen itu adalah hasil ketikan
komputer berdebu di sebuah warnet usang. Mereka tak tahu, bahwa untuk mengetik
cerpen itu aku harus pergi ke warnet yang berjarak cukup jauh dengan mengayuh
sepeda. Mereka tak tahu betapa besar semangatku meski tak ada sarana yang
mendukung. Mereka tak tahu bahwa di balik cerpen itu terdapat sebuah kisah
berarti antara aku dan Ibu. Mereka tak tahu...
Kini, mungkin mereka telah tahu, dan aku merasa
bahagia meski masih sangat jauh bagiku untuk menjadi seorang penulis besar. Aku
bahagia akan semangat yang mereka--orang-orang berarti dalam hidupku--suntikkan
pada hati dan pikiranku. Aku bahagia akan apa yang telah Tuhan beri untukku.
Aku bersyukur atas semua ini.
Bulan Oktober 2012, cerpen itu terbit mengisi satu
tempat di antara dua puluh lima bangku kosong yang tersedia di sana. Judul
cerpen itu adalah "Memori Sore Terindah", mengisi buku antologi
cerpen cinta bernilai dakwah terbitan FAM Publishing yang berjudul "Pesona
Odapus".
Bagus ^_^
ReplyDeleteSama,, aku juga dulu sering ke warnet waktu masih sekolah, untuk lomba blogger, tapi aku masih gaptek, jadi blogku nggak jadi2 setahun sampai deadlinenya lewat.
Alhamdulillah sekarang udah bisa beli laptop dari hasil tabungan gajian ^_^
Semangat kak Ken..!!
hehe.. Semangat! :)
ReplyDeleteSUMPAH ! >.< sedih baca ini :'( perjuangan ini baru yg namanya perjuangan :')
ReplyDelete#CurCol
aq jga ska nlis pas SMA, cma karna alasan A-Z jdi ga fokus. Tertarik sma tulisan tentang warnet itu :D mmang bnar wrnet itu tmpat terbising aplagi yg maen bocah2 t4nya ga nyaman,bau,aplgi kalo ga nyapu 1 hari T..T debu beudd. aq tau karna aq OP Net :D
tpi aq ga bakal idupin lagu, pas sedang OL karna ntr mo koment jadi susah keganggu smpe user marah "Kak, ko lagunya mati" "Kak, volumenya besarin".
ebuset ini user banyak bacot, kdang saking ngeselin aq diemin aja =='a
Bang Ken luar biasa :D ~Lanjutkan ^^/ SEMANGAT !!!
oh.. iya ini blog nya keren ^^b
ReplyDeleteaq sampe sekarang malah ga bisa buat blog. cma siap jadi-pas liat dalamnya kayak rumah ga jadi T..T ga ad ap2 cma atap sama tiangnya #apaini ?
ntr.. kalo blog aq finished boleh ya bang ken mampir :D aq juga mau post2 tulisan. aq mo belajar dulu, nyesek selalu di bilang OP GapTek
:) (y)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete