Skip to main content

Posts

Secuil Kisah Penulis Cerita di Koran

Papa saya bertanya, setelah membaca cerpen saya di Republika kemarin, "Pak Kodir itu apa sosok dari dunia nyata?" Saya jawab tidak, kalau yang dimaksud individu tertentu. Tetapi saya yakin di luar sana ada banyak sosok seperti Pak Kodir. Lalu obrolan berlanjut ke soal cerita dan dunia literasi yang saya tekuni. Di keluarga kami, papa sayalah yang biasa mengapresiasi tulisan saya, sependek apa pun komentarnya, sesingkat apa pun ulasannya. Di rumah memang tidak banyak yang suka membaca karya fiksi. Bahkan saya pikir, saya dan Papalah yang paling banyak membaca di keluarga ini.

Masa Kecilku: Dari Bocah Nakal Hingga Anak Band

Saat SD, saya suka membuat gara-gara entah dengan siapa, hanya demi membuat orang itu jengkel. Asal umurnya tidak beda jauh dengan saya, boleh juga saya ganggu. Karena ini pula saya sering kena masalah, misal pertengkaran fisik dan bahkan kata-kata; dulu kami memakai nama orangtua lawan untuk menyerang, meski kedengarannya aneh. Jadi, anggap saja orangtua si A bernama Maman, maka musuhnya memanggil, "Man! Man!"  Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah saya sering terlibat masalah serupa. Bedanya, di rumah kami tak pernah memakai pertengkaran jenis kedua. Jadi, saya harus benar-benar tangguh untuk menang, sebab tubuh saya kecil dan pendek waktu itu.

Produktif Tapi Jangan Lupa Waktu

Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin, jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan, lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif. Maksud 'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop, misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan berinter aksi dengan manusia lain? Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu, piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?

Plagiarisme Harus Kita Lawan

Sebenarnya sekitar tiga atau empat minggu sebelum mencuatnya kasus plagiarisme oleh salah satu penulis "besar" itu, selama beberapa hari saya terpikir menulis cerita tentang plagiator. Sudah ada konsep kasarnya di kepala, sebagaimana biasa. Tapi entah kenapa ide-ide lain berasa lebih mendesak untuk ditulis, maka teruslah ditunda-tunda cerita yang satu ini. Suatu malam saat membuka Facebook, saya baca soal kasus tersebut dan saya jadi berpikir, "Ah, telat!" Maksudnya, kenapa tidak dari awal saja cerita plagiator yang baru berupa ide itu segera saya buat? Tapi saya tidak menyesal karena keterlambatan macam ini. Toh lain waktu cerita itu bisa saya tulis dengan lebih mematangkan konsep atau barangkali mencari serpihan-serpihan bahan dulu dari luar biar cerita yang dihasilkan bakal bagus. Sebenarnya saya pernah menulis cerita pendek tentang plagiator, tepatnya tahun lalu. Sayangnya cerita itu belum menemukan jodoh hingga hari ini.

Sebuah Awal: Memang Hidup Bukan Mie Instan

Tidak ada jalan mudah untuk sebuah mimpi yang besar. Saya mengangankan sesuatu yang belum pernah sekuat ini terangankan jika mampir ke pikiran. Seperti mendaki gunung yang butuh perjuangan, mimpi besar juga butuh berdarah-darah. Puncak tidak bisa dicapai dengan hanya selangkah dua langkah. Bermacam marabahaya menunggu, dan hanya soal waktu mereka bermunculan.  Begitu tubuh kita penuh luka, barulah puncak didapat. Kepala ini serasa penuh kelebat gambar-gambar tentang "dia", ten tang mimpi-mimpi lain, tentang suatu masa yang akan datang ketika seseorang mengingatkan saya minum susu dan membetulkan letak kemejaku--sekalipun saya bukan Soe Hok Gie. Membayangkan semua itu jantung ini berlompatan dibawa Spiderman ke sana kemari. Benar-benar tak terduga. Demikianlah. Sore ini terasa begitu dalam. Hidup memang bukan mie instan yang tinggal seduh 3 menit langsung matang, maka manusia harus berjuang.

[Cerpen]: "Sarmila dan Berita Kematian" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 17 April 2016) Sarmila tidak ingin ke mana-mana. Bangun tidur, tak mandi. Ke dapur mengaduk kopi, oh, nikmat. Lalu duduk manis di depan TV, ambil remote, pilih program apa saja. Mungkin kartun, mungkin acara musik, atau reality show. Ah, di hari libur barangkali acara gosip tidak libur. Baiklah, banyak pilihan. Ia juga tidak perlu masak. Di kulkas, telur mentah habis. Nasi semalam sudah dimakan. Cukup kirim SMS ke Pak Usman, penjual nasi di seberang jalan, juga sekalian titip sekotak susu cokelat plus beberapa camilan di mini market padanya. Beliau tak keberatan karena Sarmila sudah biasa. Ini hari libur dan ia butuh bermalas-malasan.

Masa Kecilku: Kenakalan Semasa Belajar Ngaji

Mama saya biasa mengajar ngaji di masjid dusun sebelah, di dekat rumah lama. Masjid ini pembangunannya dimulai saat saya masih SD dan selesai 2-3 tahun kemudian. Saya kira, masjid inilah yang sampai hari ini semakin ramai digunakan sebagai tempat anak-anak belajar mengaji sehabis ashar, apalagi setelah di sampingnya didirikan sebuah TPQ. Sementara itu, masjid tua di dekat rumah saya, yang ada sejak zaman layar tancap dulu, atau mungkin sudah dibangun sejak zaman Belanda, sudah lama tidak ditemukan anak-anak kecil berkumpul selepas ashar di terasnya. Pasalnya, generasi 90an seperti sayalah yang dulu menyebabkan masjid tua ini menjadi TPQ yang paling diminati. Ketika kami jadi remaja dan tidak lagi mengaji di sana, pelan dan pasti masjid itu tidak lagi dipakai untuk mengajar membaca Quran.