Skip to main content

Posts

Teman Baik Tak Harus Selalu Sering Bertatap Muka

Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali. Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama, berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya? Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru yang tak kalah mengesankan.

[Cerpen]: "Tentang Janji dan Kado Salah Alamat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Metro Riau, Minggu, 11 Oktober 2015) Janji itu merupa kado kecil. Kau membungkusnya dengan rapi, diberi kertas motif beruang Teddy berbagai kostum, warna dasar pink, dibaluti pita biru tua, dan terakhir, di satu sudut kubus, sebuah kertas karton wangi ukuran 5 x 10 cm digantung, bertuliskan: Buat yang terkasih, Asmara. Kadang-kadang kau berpikir dirimu adalah Teddy, beruang lucu yang amat kusukai. Kau selancar ke suatu pantai dengan tanpa kaus. Kau daki gunung dengan sarung tangan dan ransel. Kau pelesir ke luar negeri dan menatap tempat-tempat baru seperti menatap kekasih. Kau memesona dan mobilitasmu tak diragukan. Itu terjadi andai kau benar Teddy-ku.

[Cerpen]: "Doa si Gila" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 11 Oktober 2015) Aroma ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, "Anda butuh sabun mandi!" Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir. Mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah... Haruskah kuhitung? Aku mundur hingga jarak kami aman buatku tidak menghirup aroma memuakkan itu. Bau badan ibu-ibu yang tidak bisa dikenali sebagai bau manusia waras. Pantaslah ocehannya tanpa batas. Tak terbayang betapa orang menganggapku super sinting andai keburu melabraknya tanpa melihat penampilan itu lebih dulu. Amit-amit jabang bayi!

Cerpen:"Wajah-Wajah Gundu" karya Ken Hanggara

"Wajah-Wajah Gundu" Ilustrasi cerpen "Wajah-Wajah Gundu" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Solopos edisi Minggu, 11 Oktober 2015)   Ibu membukakan pintu belakang. Wajahnya yang penuh keriput itu menatapku tajam, seolah pertanda aku adalah sesuatu yang tidak patut ia pertahankan. "Lihat adikmu Yanti! Berapa kali kuperingatkan? Jangan sekali-kali berbuat macam-macam jika masih ingin menemuinya!" Akhirnya kudengar juga suaranya, suara yang dulu sewaktu aku kecil selalu memberi kenyamanan. Ya, dulu kami merasa nyaman meski pertanyaan-pertanyaan selalu tak menemui jawab. Pagi itu, di suatu hari yang lampau, tak ada asap mengalir di atap rumah. Benda kelabu yang melayang di udara dan menebar aroma sedap. Asap itu kurindukan setiap kali bangun tidur. Jika memasak, Ibu menyihirku sampai pada tahap tertentu, di mana aku tidak sanggup menolak permintaannya untuk melahap yang telah ia upayakan, meski perutku telah kenyang. "Buat apa aku masak kalau t

Cerpen: "Lelaki Puisi" karya Ken Hanggara

"Lelaki Puisi" Ilustrasi cerpen "Lelaki Puisi" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di Metro Riau, Minggu, 4 Oktober 2015) Sejak minggu kedua kepergianmu, aku sering menelan kertas-kertas itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengubur kenangan tentang kita sendiri. Dan itu hanya bisa kulakukan dengan menelannya habis. Apa kau kira aku kenyang? Tidak. Aku tidak kenyang, malah mual dan harus dibawa ke dokter. Ketika kukatakan selama dua minggu ini aku sering diam-diam menelan kertas-kertas itu, dokter kira aku sudah gila. Ia kira, andai aku sulit melupakanmu, ada baiknya kalau kubakar saja kertas itu. Kau tahu apa jawabanku? "Andalah yang gila, Dok. Mana mungkin saya bakar puisi-puisi itu? Itu artinya saya tidak menghargai jerih payah kekasih saya." "Tapi sekarang, 'kan, dia bukan pacarmu?" "Iya, memang sudah bukan pacar saya. Tapi jujur, Dok, saya masih cinta. Sebagian hati saya menyuruh menghapus, sementara sebagian lain me

Cerpen: "Sang Model" karya Ken Hanggara

"Sang Model" Ilustrasi cerpen "Sang Model" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di tamanfiksi.com, edisi 05, September 2015) Begitu Sanjaya berkemas pulang, Marlina—model yang sempat naik daun sepuluh tahun lalu, yang tenggelam, tak lagi muncul karena masalah narkoba—menarik lembut lengannya. Mata mereka beradu beberapa detik, dan berhenti karena ingat mereka tidak bisa bertemu lama di luar jam kerja. Sanjaya, atau biasa dipanggil San, atau cukup dengan Jay saja, beringsut dan mengambil perlengkapannya yang jatuh berguling di lantai semenit lalu. "Apa kamu datang lagi?" Wanita itu bertanya setengah cemas, tapi lebih terkesan pasrah. Tahun-tahun yang gemilang telah pudar. Barangkali tidak akan bisa kembali, meski ia berharap bisa memancing satu-dua kenangan lama menjadi suatu hal yang real . "Entah." San menjawab pendek. "Tidak bisa tidak. Aku belum dapat salinannya." Marlina tersenyum dan melirik penuh arti, menyimpulkan sendi

Cerpen: "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" karya Ken Hanggara

"Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" Ilustrasi cerpen "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 20 September 2015) Seonggok bayi berbaring di tumpukan sampah. Entah bayi siapa. Dia menangis karena pagi begitu dingin. Dia menjerit karena lapar. Dia bergetar karena ingin tahu siapa yang menaruhnya di situ sehingga kulitnya jadi gatal-gatal, atau ingin tahu siapa ibu-bapaknya yang dengan tega menelantarkannya. Bayi itu berbalut kain gorden warna krem. Dibungkus begitu saja bagaikan lemper, lalu diletakkan di atas kardus bekas wadah Indomie yang sudah ditata sedemikian rupa. Tak ada yang tahu ada bayi di situ, karena tumpukan sampah ada di tepi kampung, dekat rawa-rawa, dekat tanah kosong yang dirimbuni pepohonan bambu. Bayi itu menangis dan menangis, sehingga misal ada yang dengar dan orang itu membawa dendam, bisa sirna saking kuatnya getaran kemanusiaan yang terkandung dalam suara si bayi. Orang itu